Senin, 12 April 2010

Ujang; Sang pencari Tuhan

SINOPSIS

UJANG MUHAMMAD

Bisakah ia bertemu Kyai Purnama yang tersembunyi? Atau akankah ia lebih memilih berhenti menjalankan tugas karena putus asa? Benarkah Kyai Purnama dengan sekian muridnya yang tersembunyi itu ada? Atau apakah memang hanya tokoh imajinasi yang diciptakan oleh gurunya sendiri untuk menyuruhnya belajar dengan metode siyahah(berkelana) hingga ia bisa bertemu Pak Karta, Lintang, Dokter Fuad dan orang-orang yang memberinya banyak pelajaran kehidupan nyata?

Ujang dengan segala keistimewaannya harus berkelana membuktikan semuanya, bahkan menjadi penghuni rumah sakit jiwa.

SATU

Rajagaluh, di desa inilah semenjak tiga tahun lalu, Suha mulai menjajaki kehidupan baru. Dia menikahi gadis cantik pilihan orang tuanya yang bernama Emi dan masih terbilang satu keturunan. Qodir, Ayah Emi adalah putra dari ibu Mariah. Sementara, Latifah, ibu Suha adalah putri dari Usman, kakaknya ibu Mariah.

Latar belakang pendidikan pesantren menjadikan kehidupan Suha tidak jauh dari dunia pendidikan agama. Kesehariannya dihiasi dengan pengajian dari surau ke surau, mengajar madrasah diniyah dan melayani masyarakat yang membutuhkan kesejukan wejangannya. Sementara, untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya, ia didampingi istrinya, menjalankan usaha dagang kecil-kecilan, jualan sembako.

Neng, upami lahir, bade di pasihan nami saha ”?[1] tanya Suha sambil mengusap perut istrinya yang semakin membesar berisi anak pertamanya. Dia sangat berharap anak yang terlahir kelak adalah seorang anak soleh yang akan menjadi kebanggaan keluarga, mengangkat derajat kedua orang tuanya di dunia dan akhirat. Bukan seorang anak yang hanya menjadi beban bahkan menjadi kesedihan orang tua. Dia melihat bahwa kesolehan orang tua tidak menjamin anak-anaknya menjadi soleh. Apalagi jika ketidaksolehan menjadi sifat dari orang tua.

“Upami pameget, namina Ujang. Upami istri, Neneng ”[2] jawab istrinya datar mengutarakan keinginannya. Dua buah nama khas orang pasundan. Ujang untuk anak laki-laki, Neneng untuk anak perempuan.

Nama yang sangat sederhana ini menunjukkan bahwa Emi, istrinya tidak terlalu mempersoalkan masalah ini. Memang, apalah arti sebuah nama. Namun, nama tetaplah bisa menjadi perlambang latar belakang pemiliknya.

“Sae, ngan ku Aa ditambihan. upami pameget, Ujang Muhammad. Upami istri, Neneng Khodijah.”[3] Suha memberi masukan setelah sejenak mengingat-ingat keterangan gurunya bahwa nama adalah doa bagi pemiliknya. Nama yang baik akan menjadi harapan akan adanya perilaku yang baik. Lebih jauh, gurunya mengatakan bahwa ada sebuah hadits yang menjelaskan, orang yang bernama Muhammad akan dikumpulkan untuk mendapatkan keistimewaan.

“Muhun. Mugi-mugi anak urang sing janten jalma soleh atawa solehah. Neng mah sieun, komo jaman ayeuna, ningali barudak tatangga oge.....”[4]

“ Hup!” potong Suha. “Teu kedah diteraskeun. Ulah ngagogoreng batur. Urang ngadu’a wae mugia anak urang masing diraksa[5] lanjutnya lalu menguraikan bahwa membicarakan kejelekan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan adalah sebuah kesalahan yang sering tidak disadari. Padahal, ghibah adalah salah satu dosa yang cukup rumit dalam pengampunannya. Orang yang melakukannya tidak cukup hanya meminta ampun pada Allah. Dia harus meminta maaf pada orang yang bersangkutan. Al-Qur’an mengibaratkan hal ini dengan memakan daging mayat saudaranya. Namun, dosa adalah dosa. Semakin dilarang akan semakin enak terasa.

“ Muhun, amin, “[6] jawab istrinya yang mengerti suaminya adalah seorang yang sangat memperhatikan ajaran-ajaran dari ilmu yang dimilikinya. Orang yang akan sangat tegas ketika melihat atau mendengar hal yang tidak disetujui agama.

“Ayeuna, Neng istirahat! Aa bade ka cai heula, wiridan Qur’an teu acan beres “,[7] ujar Suha seraya beranjak keluar kamar menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, berwudlu dengan sempurna untuk kemudian dengan khusyu’ membaca al-Qur’an.

Calon ayah yang masih berusia dua puluh delapan tahun ini sudah terbiasa dengan ritual-ritual khusus. Salah satunya amalan membaca al-Qur’an sepuluh juz setiap hari yang diperoleh ketika nyantri terakhir pada sang kyai panutan, Pak Ahmad. Kyai sepuh kota Tegal yang ketika menyimak santri-santrinya mengaji al-Qur’an selalu memejamkan mata seperti orang tidur. Namun, ketika ada yang kurang tepat dalam pembacaan, beliau tahu dan langsung berucap ‘eiit’. Beliau tidak pernah membentak marah pada santri santrinya dan sangat faham kondisi kejiwaan sekian santri yang diasuhnya. Karena hal ini, Suha pun beranggapan, inilah guru yang terpilih dari sekian banyak guru-gurunya. Sehingga, apapun yang beliau perintahkan akan segera dilaksanakan, termasuk amaliah ini.

Shodaqallahuladzim”, terdengar Suha mengakhiri bacaan Qur’annya setelah hampir tiga jam dia duduk bersila untuk menyelesaikan tugasnya. Setelah berdo’a, ia segera bangkit menuju kamar tidur. Terlihat istrinya sudah terlelap. Suha berganti pakaian lalu berbaring di samping istrinya. “Bismikallahumma ahya wa amuut” lirihnya berdoa sambil memejamkan mata.

Allah menjadikan malam sebagai sarana manusia melepaskan segala kepenatan dan kelelahan. Sepi, sunyi. Semua manusia hanyut dalam ketenangannya, terlelap dengan membawa angan dan cita masing-masing. Hanya mereka orang-orang pilihan yang mampu bangkit dan meramaikan kesepian dan keheningan, melawan rasa enggan yang membelenggu jiwa untuk segera bermunajah dengan-Nya bersama makhluk-makhluk malam yang lain.

DUA

“A...,teu kiat, A....”[8], teriak istrinya mengeluh seiring banjir keringat dan air mata di wajah pucatnya. “Tahan Neng! Sabar.., pasrah ka Allah! Sebut Allah, Allah, Allah. Terus...” berkali-kali Suha ucapkan kalimat ini untuk memotivasi istrinya yang sudah sangat kepayahan.

“Coba Neng, tarik nafas..tahan..dorong!” ucap Bidan Neni berkali-kali memberi arahan dengan tetap kelihatan tenang.

“A..., Neng tos teu kiat. A....”[9], kembali Emi memanggil suaminya. Jemarinya meremas apa yang bisa ia gapai untuk menahan sakit. Bibirnya tak terasa telah berdarah karena ia gigit demi menguatkan diri. Suha yang terlihat semakin cemas melangkah menghampiri deretan bangku di ruang tunggu. “Kasadayana, urang sasarengan maos sholawat Munjiat!! Mugi mugi Allah marinan kalancaran “[10] ucapnya memberi komando pada sanak keluarga yang tampak hadir.

Mereka pun menurut dan segera saja sholawat terdengar bergemuruh ketika dibacakan bersama-sama.“Allaahumma sholli wasallim ‘alaa sayyidinaa Muhammad, Sholaatan tunjiinaa bihaa min jami’il ahwaali wal aafaat, wataqdlii lanaa bihaa jamii’al haajaat, watuthohhirunaa bihaa min jamii ‘issayyiaat, watarfa’unaa bihaa a’laddarojaat, watuballighunaa bihaa aqshol ghoyaat, min jami’il khoiroot, fil hayaati waba’dal mamaat.[11]

Setengah jam kemudian, “Oa..oa..oa..”, terdengar tangisan kecil yang seolah ingin menyapa semua orang yang telah lama menunggu kehadirannya. Ia ibarat jawaban atas doa dan keringat sang ibu yang melahirkannya dengan susah payah.

Malam itu, bertepatan dengan Nishfu Sya’ban, rumah Ibu Bidan Neni terlihat ceria. Suara tangis bayi laki laki mungil mengiringi bacaan Yasin yang lazim dilantunkan muslimin malam itu. Semua merasa lega. Semua bersyukur kepada-Nya.

Suha segera menghampiri pembaringan istrinya. Didekatinya bayi yang terselimut handuk untuk dibacakan adzan dan iqomah di telinga kanan dan kirinya. Istrinya tersenyum kemudian berucap lirih, “Aa, tingali! Mani kasep, jiga Aa”. [12]

“Muhun. tapi lambeina mah jiga Neng”,[13]jawab Suha mengiyakan seraya mengusap sisa keringat yang ada di wajah istrinya. Kemudian, dikecupnya bayi kecil yang kini sedang disusui ibunya.

Kebahagiaan tak terhingga menghinggapi Suha. Proses kelahiran yang sangat menegangkannya telah berlalu atas pertolongan Allah. Aku akan mendidik anakku sebaik-baiknya dan tidak boleh menyia-nyiakan amanah ini, hatinya bertekad.

******

Asyroqol badru ‘alainaa

Fakhtaafat minhul buduur

Mitsla husnik maa roainaa

Qotthu yaa wajhassuruur

Yaa Nabii salaam ‘alaika

Yaa Rosuul salaam ‘alaika

Yaa Habiib salaam “alaika

Sholawaatullah ‘alaika

Anta syamsun Anta badrun

Anta nuurun fauqonnuur

Anta iksiirun wa ghooli

Anta misbaahussuduur

Yaa Nabii salaam ‘alaika

Yaa Rosuul salaam ‘alaika

Ya Habiib salaam ‘alaika

Sholawaatullah ‘alaika

Yaa Habiibii yaa Muhammad

Yaa ‘aruusal khoofiqoiin

Yaa Muayyad Yaa Mumajjad

Yaa imaamal qiblataiin

Yaa Nabii salaam ‘alaika

Yaa Rosuul salaam ‘alaika

Yaa Habiib salaam ‘alaika

Sholawaatullah ‘alaika[14]

Lantunan sholawat terdengar syahdu, menggema, menyentuh qolbu ketika bersama sama dibacakan sambil berdiri khidmat. Suha terlihat menitikan air mata saat memangku anaknya mengelilingi jamaah untuk meminta doa dari mereka.

Hari itu merupakan hari ketujuh kelahiran anaknya. Hari dimana seorang anak sunah di beri nama, dicukur rambut serta dilaksanakan ‘Aqiqah.

“Alhamdulillah, acara Marhaba parantos rengse. Mugi mugi Gusti Allah ngaluberkeun rohmat ka urang sadaya. Simkuring kapapancenan tugas ti pangersa sohibul bet kangge nguningakeun nami ieu murangkalih, sareng nyuhunkeun ka para kasepuhan kangge nyukur rambutna. Supados langkung enggal, ieu murangkalih teh dipasihan nami anu kacida saena, nyaeta Ujang Muhammad. Urang doakeun kusadayana mugi mugi ieu murangkalih sing tiasa napak kana pilampahna Kanjeng Nabi urang sadaya. Amiin.”[15]

Uraian panjang ustadz Aden mengakhiri acara Walimah Tasmiyah[16]. Kini, resmilah bayi kecil Suha dan Emi diberi nama singkat bermakna padat, Ujang Muhammad. Kebahagiaan benar-benar meliputi mereka berdua yang telah tiga tahun menunggu kehadirannya.

Anakku...

Untukmu kami curahkan segala

Untukmu air mata bahkan darah dan nyawa

Tak ada yang kami sayangkan

Untukmu

Anakku...

Jangan pernah enggan menangis

Itu adalah bahasamu pada kami

Jangan pernah berhenti tersenyum

Itu adalah obat kelelahan kami

Segeralah tumbuh dewasa

Bawalah nama kami terbang ke angkasa

bersama cita-cita yang kau bawa

Jangan salah melangkah

Jangan buat kami resah gelisah

Pergilah kemana kau suka

Berteman surya menggapai bintang memeluk rembulan

Anakku..

Doamu kami tunggu di hari nanti

setelah mati

TIGA

“Purnama..”

Labbaik ya Syekh”.

“Malam ini, saat yang kutunggu telah datang. Kau harus segera meninggalkan segalanya”.

“Maksud Syekh?”

“Tinggalkan pondok yang telah kau rintis ini”.

“Tapi Syekh..”

“Jangan membantah. Serahkan pondok ini pada murid pertamamu, Ahmad Arifin. Dialah yang akan membesarkan pondok ini. Sedangkan tempatmu adalah seluruh bumi”.

“Maksud Syekh saya harus mengembara?”

“Tepat sekali. Bawa serta bocah kecilmu yang telah ditinggalkan ibunya itu”.

“Baik Syekh ”.

“Tunggu. Ada beberapa hal yang harus kau patuhi dalam perjalanan ini. Bekalmu hanyalah tawakkal, tempat singgahmu hanyalah rumah-rumah Allah, tempat memintamu hanyalah yang Maha kaya, melangkahlah kemana pun sesuai petunjuk dari yang Maha pemberi petunjuk. ”.

Pak Pur, begitu ia akrab disapa oleh tujuh orang santrinya, segera beranjak dari tempat bersilanya lalu memanggil ketujuh muridnya. Arifin, Karta, Muiz, Tay Wong, Dosol, Busyro dan Halim.[17]

“Duduklah!” perintah Pak Pur pada tujuh muridnya yang segera baris bersila dihadapannya dengan wajah tertunduk.

“Dengarlah. Ini adalah pesan terakhirku untuk kalian”, ujar Pak Pur memandangi satu persatu muridnya. “Arifin kamu tinggallah di sini dan kembangkan pondok ini. Dan kalian berenam bantulah Arifin disini hingga aku datang pada kalian dan memberi perintah selanjutnya”, lanjutnya. “Pak Pur mau kemana?” tanya Dosol kemudian memberanikan diri.

“Aku mendapatkan tugas baru. Tapi percayalah kalian tetap akan kuawasi,” jawab Pak Pur tegas dan berwibawa lalu pergi menggendong anaknya menyisakan tanda tanya besar di kepala tujuh muridnya yang hanya bisa saling menatap.

EMPAT

Perputaran waktu berjalan begitu cepat. Enam tahun sudah Suha dan Emi mengasuh dan membesarkan putra tercinta mereka. Ujang tumbuh layaknya anak-anak yang lain. Wajahnya membuat gemas orang yang memandang. Mata bulat besar berhias halis hitam tebal menjadikan pandangannya terlihat tajam. Hidung kecil mancung menekuk, membentuk paruh burung, menggantung di atas bibir kecil..

“ Ujang, cita-citana hoyong jadi naon?”[18] tanya Emi sambil meyiramkan air pada tubuh anaknya.

Ujang tampak tak acuh sambil meniup-niupkan busa sabun yang ada di tangannya. “Hoyong janten doktel”,[19] jawabnya kemudian dengan kecadelannya.

“Dokter naon?”[20]

“Doktel manah”[21]

“Wah! Ujang mah ngaco. Dimana aya dokter manah?, aya oge dokter gigi, dokter jantung, dokter hewan “[22]

“Umi mah teu acan telang, Ujang mah tos telang.”[23]

“Terang naon ujang teh?, budak kamari sore oge”[24]

Emi termenung. Setiap hari selalu ada ucapan-ucapan anaknya yang dirasa belum layak diutarakan anak seusianya. Namun dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah bualan anak kecil biasa.

*****

“Assalaamualaikum” terdengar Ujang ucapkan salam saat pulang dari sekolah Taman Kanak-Kanak dengan diantar bibinya.

TK HARAPAN, sekolah yang menekankan anak didiknya untuk mengenal lebih dini tentang diri, lingkungan dan agamanya. Memang, anak-anak ibarat kertas putih yang siap menampung setiap warna yang menyinggahinya. Dia akan mudah menerima apapun yang dilihat dan didengarnya. Tak heran, Sang Nabi menjelaskan bahwa setiap anak yang dilahirkan berada dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.

“Wa’alaikum salaam” jawab seoran perempuan dari dalam rumah.

“Umi,” teriak Ujang melihat ibunya menyambut kedatangannya dengan tersenyum. “Tadi Ujang dipiwalang nyanyi ku Ibu Gulu..” [25]lanjutnya tak sabar ingin bercerita.

“ Nyanyi naon?”[26]

“Pilengkeun nya!![27] ujar Ujang lalu bernyanyi dengan semangat.

Tuhanku adalah Allah

Agamaku Islam

Nabiku Nabi Muhammad

Kitabku Al qul an

La...la...la...aku kan soleh

La...la...la...aku kan belbakti

“Duh!! Pinter anak umi”[28]

“Umi, tapi ujang teu ngaltos,”[29]gerutu Ujang.

“Teu ngartos kumaha?”[30]

“Ali Tuhan teh naon? Ali agama teh naon? Ali nabi teh naon? Ali kitab teh naon?” [31] Ujang memburu dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Ujang, engkin oge bakal terang. Yuk! Ayeuna mah emam heula”.[32]

Emi sengaja tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya. Dia tahu Ujang akan terus bertanya dengan pertanyaan lain jika satu pertanyaan telah di jawabnya.

*****

“Abi, ari si Ujang teh kumaha?”[33] tanya Emi saat duduk menemani suaminya.

“Kumaha naonna?”[34]

“Si Ujang ari keur nyarita teh, sok asa sanes si Ujang”[35].

“Maksadna?”[36] tanya suaminya sambil mengernyitkan dahi.

“Si Ujang pan budak satepak. Tapi ari ngobrol teh mani jiga jalma anu geus boga pangarti”[37]

“Wah! Umi, ari budak mah ngobrol teh sakapanggih, tara diemutan. Keun wae, si Ujang mah paling oge ngobrolkeun momobilan atawa Ksatria Baja Hitam.”[38]

“Ih, Abi mah teu percanten ka Umi. Puguh ari naros-naros ka Umi teh sok anu aneh-aneh”[39]

“Aneh kumaha?”[40]

Suha tampak penasaran melihat keseriusan istrinya.

“Cobi, ku Umi di taros hoyong janten naon upami tos ageung, ngawalerna hoyong janten dokter manah. Teras nyarios kieu, Umi mah teu acan terang, ujang mah tos terang. Teras kamari mah naroskeun naon ari Tuhan, agama, nabi, kitab. Bari narosna teh sakaligus, jiga wartawan”.[41]

Suha tampak diam merenungi cerita istrinya.

“Umi, ayeuna mah Umi ulah seueur saur. Ujang moal nanaon. Urang doakeun si Ujang janten jalmi soleh”[42] jawabnya kemudian tanpa menjelaskan apa yang terjadi pada anak mereka sebenarnya. Dia teringat sebuah ajaran yang mengatakan, berikanlah pengetahuan sesuai kemampuan orang yang menerimanya. Dan dia yakin, apa yang terjadi pada anaknya ini tak akan dimengerti oleh ibunya.

LIMA

Pernak-pernik kehidupan menghiasi Ujang dengan segala sikap istimewanya. Ia tumbuh sebagai anak yang cerdas, suka bertanya, perasa dan sikap-sikap yang lain. Di Madrasah Ibtidaiyah, dia selalu menjadi nomer satu. Guru-guru sekolah yang membimbingnya sudah tahu akan kekritisannya. Dia tidak pernah segan untuk terus bertanya mengenai hal yang belum difahaminya.

“Anak-anak, sekarang pelajaran Aqidah.” Ujar Pak Ade saat mulai mengajar di kelas enam. “Bukalah buku kalian halaman seratus dua belas,” lanjutnya memberi perintah. “Ujang, bacakan! Dan yang lain, dengarkan baik-baik!”

Semua murid terlihat menatap buku mereka masing-masing. Ujang yang diperintahkan membaca segera membuka suaranya.

Allah mempunyai sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz.

Jumlah sifat-sifat wajib bagi Allah ada duapuluh:

  1. Wujud
  2. Qidam
  3. Baqo’
  4. Mukholafatulil hawadits
  5. Qiyamuhu binafsihi
  6. Wahdaniyat
  7. Qudrot
  8. Irodat
  9. Ilmu
  10. Hayat
  11. Sama’
  12. Bashor
  13. Kalam
  14. Kaunuhu Qodiron
  15. Kaunuhu Muridan
  16. Kaunuhu ‘aliman
  17. Kaunuhu Hayyan
  18. Kaunuhu Sami’an
  19. Kaunuhu Bashiron
  20. kaunuhu Mutakalliman

Jumlah sifat-sifat mustahil bagi Allah ada dua puluh:

  1. ‘Adam
  2. Huduts
  3. Fana
  4. Mumatsalatulilhawadisi
  5. Ihtiyaaju lighoirihi
  6. Ta’addud
  7. ‘Ajzu
  8. Karohah
  9. Jahl
  10. Maut
  11. Shomam
  12. ‘Ama
  13. Bukmu
  14. Kaunuhu ‘Ajizan
  15. Kaunuhu karihan
  16. Kaunuhu jahilan
  17. Kaunuhu mayyitan
  18. Kaunuhu ashomma
  19. Kaunuhu a’ma
  20. Kaunuhu abkama

Sifat jaiz bagi Allah ada satu. Yaitu, Fa’lu kulli mumkinin aw tarkuhu.

“Ya, cukup,” seru Pak Ade menghentikan bacaaan muridnya. “Anak-anak.. Sekarang Bapak jelaskan. Allah adalah Dzat yang sempurna. Sempurna dengan segala kesempurnaaan yang dimiliki-Nya dan segala kekurangan yang terjauhkan dari Dzat-Nya. Salah satu keharusan dari keterangan tersebut adalah Allah mempunyai sifat wajib, mustahil dan jaiz.” Guru muda itu sejenak menghentikan penjelasannya untuk memberi kesempatan pada murid-muridnya bertanya.

“Pak, boleh tanya?” tanya Ujang meminta izin.

“Ya.”

“Apa maksudnya wajib, mustahil dan jaiz ? Dan apakah sifat-sifat Allah sama dengan sifat-sifat manusia?.”

“Pertanyaan yang bagus, Ujang. Baiklah, barangkali dari kalian ada yang tahu jawabannya? tanya Pak Ade menatap murid-murid yang lain.

Semua diam. Pak Ade pun mulai menjawab pertanyaan Ujang.

“Baiklah, karena waktunya sudah habis. Bapak cukupkan sekian dulu, jangan lupa belajar di rumah ya, Assallamu’alaikum warohmatullohi wabarakatuh”

“Wa’alaikum salaam warohmatullohi wabarakatuh” jawab siswa serempak. Pak ade segera meninggalkan ruangan kelas. Ujang terlihat kecewa karena pertanyaannya masih ada yang belum terselesaikan.

ENAM

Setelah acara kelulusan Sekolah Dasar, Ujang yang sejak kelas satu selalu memperoleh nilai terbaik, berencana melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah dan tinggal di pesantren sesuai keinginan ayahnya. “Ujang, engkin upami tos aya pengumuman ti sakola, Ujang angkat ka pasantren.”[43] ucap ayahnya saat itu.

“Kedah masantren kitu, Bi?[44] tanya Ujang.

“Ilmu agama harus dikuasai untuk menjaga diri dan ilmu itu sebaiknya di pelajari di pesantren,” jawab ayahnya.

“Masantren teh jiga kumaha?”[45]

“Di pasantren mah enak. Ujang ngan dipiwarang ngaos, artos kin di kintunkeun ku Abi. Pokona lamun Ujang teu betah di pasantren, Ujang pang bodo-bodona jalmi.”[46]

******

“Atos siap sadayana?”[47]

“Atos. Kantun angkat”[48]

Pagi itu, sesuai rencana, Ujang diantar rombongan keluarganya berangkat menuju Pesantren Babakan Ciwaringin, komplek pesantren pesantren berusia tua, terletak di wilayah perbatasan Cirebon dan Majalengka.

Komplek pesantren ini berawal dari perjuangan seorang Ulama yang dikenal bernama Kyai Jatira. Dia mendirikan pemukiman di kawasan yang saat itu masih berupa hutan belantara untuk membentengi orang-orang pribumi dari serangan penjajah Belanda. Seiring perjalanan sejarah, keturunan-keturunannya meneruskan perjuangan, sehingga daerah ini berkembang menjadi kawasan yang subur dengan ilmu.

Jarak pesantren ini tidak terlalu jauh dari Desa Rajagaluh. Hal inilah yang menjadi alasan ayahnya memilih pesantren ini, “untuk tahap pengenalan, Ujang tidak harus terlalu jauh”, fikirnya.

Dalam perjalanan, Ujang tampak agak tegang membayangkan bagaimana dia akan jauh dari ayah ibunya, bagaimana ia bergabung dengan situasi baru yang belum dikenalinya. Namun, hatinya bertekad, “Ujang kudu pinter. Ujang kudu masantren’.[49]Aku harus betah disana. Aku harus mengerti hal-hal yang selama ini menghantui pikiranku”

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, mobil rombongan tiba di lokasi pesantren. Terlihat tulisan SELAMAT DATANG DI PON-PES AL-MIFTAH yang terpampang di pintu gerbang pesantren yang di asuh oleh Kyai sepuh, KH. Ahmad Nur, putra dari KH. Nur Muhammad, pendiri pesantren.

Al-Miftah merupakan pesantren yang memadukan sistem salafi dan modern. Sang kyai menganggap ajaran-ajaran dan pemikiran ulama terdahulu tidak boleh ditinggalkan. Pemikiran mereka harus menjadi acuan untuk menyikapi kekinian agar tidak terlampau hanyut oleh kecenderungan material.

Al-Miftah dihuni oleh sekitar lima ratus santri putra dan tiga ratus santri putri. Asrama putra terbagi menjadi empat komplek berdasarkan klasifikasi pelajaran pesantren yang disampaikan. Santri yang termasuk kategori ula harus menempati komplek A, yang termasuk kategori wustho menempati komplek B, komplek C ditempati oleh santri-santri yang termasuk kategori ‘ulya dan komplek D dikhususkan untuk mereka yang sudah termasuk kategori musyaawirin. Sementara, asrama putri hanya berupa satu komplek besar dan dibagi layaknya asrama putra.

“Urang ka kantor heula, teras langsung sowan ka mama yai,”[50]ujar Suha lalu berjalan di depan menuju kantor pesantren. Ujang berjalan di samping ibunya sambil memperhatikan suasana asing yang akan menjadi tempat tinggal barunya.

*******

Setelah semua proses pendaftaran selesai, Ujang pun resmi menjadi santri Al-miftah. “Insyaallah, Ujang akan betah di sini, Pak,” Kang Syamsul, Kepala Bagian pendaftaran santri baru, mengakhiri percakapannya.

“Mudah mudahan. Apakah sekarang kami bisa langsung sowan ke Mama yai?”

“Bisa,silahkan!”

Suha sekeluarga pun segera bertolak menuju rumah pengasuh. Setelah menunggu agak lama, Mama Yai, panggilan santri-santri kepada Sang pengasuh, muncul dan menyambut penuh keramahan. Terakhir, Kyai yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun itu memberi wejangan dengan penuh kelembutan pada santri yang baru di terimanya.,“Cung, bocah mesantren iku kudu getol ngaji, kudu getol jamaah, kudu manut gurune. Lamun wis getol ngaji mengko bakale pinter. Lamun wis getol jamaah mengko bakale bener. Lamun wis manut gurune mengko lampahe ora keder.”[51]

Siapapun yang tak mau untuk sebentar mencicipi kehinaan menuntut ilmu

maka selama hidupnya dia akan mereguk gelas kebodohan

Sebuah keagungan tak akan di peroleh dengan kebodohan

Keagungan apapun hanyalah bagi mereka orang-orang yang berilmu

Bukankah Sang Nabi telah bersabda, siapa yang menghendaki dunia maka dia harus berilmu. Siapa yang menghendaki akherat maka dia harus berlmu. Siapa yang menghendaki keduanya maka diapun harus berilmu

Lautan ilmu tak akan bisa terselami tanpa perjuangan dan perlawanan hawa nafsu

Hanya mereka yang sanggup menahan segala penderitaan dan terpaan kencangnya angin yang akan mereguk manisnya keilmuan.

TUJUH

Hiruk-pikuk dunia pesantren benar-benar telah di rasakan Ujang. Antrian ketika hendak mengaji sorogan[52], kehangatan wejangan mama yai saat menyampaikan pengajian bandungan[53], rasa kebersamaan saat sholat berjamaah, jam’iyah marhaba, kemandirian yang terasah ketika harus memasak sendiri manakala perut telah terasa lapar. Tempaan keseharian yang seperti ini menjadikannya mengerti akan hal-hal yang tak bisa diperoleh dari pelajaran-pelajaran sekolah dan buku-buku.

Sudah hampir dua tahun Ujang berstatus santri al-Miftah. Dengan berbaur bersama sekian santri dari berbagai daerah dengan beragam karakter ia mulai belajar memahami bagaimana pluralnya kehidupan sesungguhnya. Ia mulai tahu bahwa watak orang jawa itu ulet, gigih. Watak orang sunda lebih cenderung jaga gengsi, lemah tekad. Orang seberang itu pemberani dan mudah tersinggung.

Kini, Ujang dengan kelebihan dirinya telah menginjak masa remaja, usia yang dipenuhi rasa ingin tahu segala, rasa penasaran pada hal-hal baru yang di temuinya. Kecerdasan, kritis, ulet yang menjadi karakter kepribadiannya membuat prestasi di sekolah dan pesantrennya termasuk menonjol.

Namun, Ujang tetaplah Ujang. Dia bukan malaikat yang tanpa nafsu, bukan pula nabi yang tanpa kesalahan. Dia hanya remaja yang bersisi lebih yang tak lepas dari sisi kurang. Ia dengan segudang prestasinya seringkali berhadapan dengan Staf Keamanan Pesantren dan akrab dengan berbagai ta’ziran [54].

Hal ini menjadikan Staf Keamanan Pesantren geleng-geleng kepala, “Ujang, kamu ini kenapa? Tingkah laku kamu tidak secerah prestasi kamu”.

Jika sudah begitu, Ujang hanya tertunduk dengan menjawab, “Kang, tolong ta’zir saya. Mudah-mudahan saya jadi kapok.” Ia memang tidak pernah menolak untuk di ta’zir dan merasa bahwa kesalahan yang diperbuatnya haruslah dipertanggungjawabkan.

Remaja santri satu ini seolah-olah kehilangan kendali. Aturan pesantren yang bersifat mengekang seakan tidak berlaku untuknya. Bioskop, hiburan jalanan seperti misbar [55], pasar malam, menjadi tempat kunjungan rutin mengisi kepenatannya. Pelanggaran yang sudah berulang kali dilakukannya menjadikan Staf Keamanan kesal dan memanggil orang tuanya.

“Tolong berikan anak saya kesempatan. Saya yakin Ujang masih bisa di arahkan”, ucap ayahnya sewaktu memenuhi panggilan pengurus pesantren.

“Insya Allah, Pak. Kami pun yakin, satu saat Ujang akan menyadari. Kami hanya menduga, kenakalannya hanya sebatas melepaskan rasa ingin tahu. Hal ini kami sadari, karena kami melihat prestasinya yang tetap stabil.”

“Jang, Abi malu mendengar tingkah laku kamu,” tegur ayahnya bersikap sabar.

Abi, Ujang minta maaf. Percayalah suatu saat Ujang akan berubah. Ujang tahu apa yang Ujang lakukan salah. Tapi, Ujang seperti sulit untuk menghindar,” pelan Ujang coba membela diri, tertunduk dihadapan ayahnya.

“Anak seusia kamu memang inginnya berontak. Kamu merasa ingin bebas melakukan segala keinginan kamu. Tapi itu tak akan berguna. Waktumu untuk belajar banyak tersita.”

Ujang mengangguk. Namun, jauh dalam batinnya nafsu busuk berbisik meronta, “Ya. Orang tua memang tidak tahu keinginan anak muda.”

Semua manusia mempunyai empat potensi yang harus di maksimalkan. Ruh, qolbu, akal dan nafsu. Keempat potensi ini harus diolah sesuai kapasitasnya, sehingga terlahirlah manusia yang sempurna. Manusia yang akalnya tunduk pada aturan agama. Nafsunya tunduk pada komando akal. Qolbunya bersinar oleh cahaya Tuhan. Ruhnya merasakan ketentraman Itulah manusia yang tidak dikuasai syetan. Manusia yang tidak di setir keliaran nafsu. Manusia yang tidak di jajah akal. Merekalah orang-orang yang qolbunya telah benar-benar menjadi raja.

DELAPAN

“Jang, PR matematikamu sudah selesai?”

“Beres,” jawab Ujang singkat sambil menyimpan tas dan duduk di samping Doni.

“Gimana perkembangannya?” agak berbisik Ujang bertanya pada sobat kentalnya.

“Tenang, baru tujuh puluh persen. Tunggu sepuluh persen lagi, baru itu anak kamu tembak. Dijamin nggak meleset”, jelas Doni yang sudah seminggu menjalankan permintaaan sobatnya untuk mengorek informasi tentang siswi baru pindahan dari jakarta yang masuk kelas 3A, kelas yang khusus diisi oleh murid perempuan, disamping dua kelas yang lain, 3B dan 3C. Sementara, lima kelas yang lain, 3D sampai 3H, diisi murid laki-laki.

Sebenarnya, baru kali ini Ujang merasakan ada hal lain dalam dirinya. Semenjak kelas satu hingga akhir kelas dua, siswa yang terkenal bengal walaupun berprestasi ini tidak pernah berurusan dengan perempuan. Bahkan, karena hal ini, dia disebut sadis [56] oleh teman temannya.

“Don, sekarang begini. Nanti jam istirahat, Kamu datangin Eli. Kamu bilang sama dia, ada salam dari maskot 3D, UM... dan bilang, kamu menarik.”

“Terus, kamu kapan mau nemuin si Eli?” cecar Doni kemudian.

“Ntar, tunggu waktu yang tepat. Aku pasang kuda-kuda dulu.”

“Huh, kaya mau tarung aja....”

“Iya lah! Aku tiupin dulu ni badan, biar ketika dia ngeliat si Ujang kaya ngeliat Nabi Yusuf.”

“Wah! Ujang, Ujang. Kamu masih percaya bener sama yang begituan. Kalo aku sih yang penting kita tahu cara komunikasi yang bisa menarik, udah cukup. Nggak usah pake acara tiup-tiupan segala, kaya dukun aja,” Doni bersungut.

“Eh,” Ujang berdiri serius. “Ente jangan menafikan itu. Kalo menurut Ane, faktor komunikasi memang harus. Tapi faktor yang tadi Ane sebutin tidak bisa di sepelekan,” serunya tinggi tidak cocok dengan pendapat sobatnya.

Doni terdiam. Dia tahu siapa ujang. Siswa dengan segala potensi. Siswa cerdas, pandai bicara, tukang wirid malam, tukang nonton, ngeband dan tidak mau kalah. “Ya. Sekarang nggak usah banyak teori, buktiin bahwa teori kamu bisa menaklukannya. Aku tunggu sepuluh hari dari sekarang. Jika nihil, julukan kamu tambah satu, N A T O [57].” Tantangnya kemudian.

“Siap!” timpal Ujang tak mau kalah. “Ente lihat. Ujang yang dulu disebut Sadis, akan berubah menjadi Sudis. Ha..ha..ha.. “

“Apaan Sudis?” tanya Doni tidak mengerti.

“Siswa uberan gadis-gadis. Dan gadis pertama adalah Eli Mardliyyatul Maula. Bintang baru 3A.”

Masa remaja sangatlah indah

Semua terlihat cerah

Tiada waktu untuk merasakan susah

Apalagi ketika kumbang bertemu kembang yang sedang merekah

Itulah cinta remaja

Remaja mengenal cinta

Cinta yang hanya terdorong nafsu

Cinta yang hanya menjadikan kematian hati

Cinta yang ditiupkan setan agar menjauh dari tujuan ilmu

Sampai kapan pun musuh manusia tak akan berhenti menggoda mencari kelengahan agar manusia bisa terbawa.

********

“Eli, kamu kenapa? Aku perhatiin, kamu kaya lagi ada masalah.”

“Ya,” jawab Eli singkat pada Aan, sobat satu kamar pesantrennya yang kini duduk di sampingnya.

“Masalah apa? Mungkin aku bisa bantu”

“Kayaknya...” Eli ragu untuk bercerita

“Ya udah. Kalau kamu tidak mau cerita, terpaksa aku nggak bisa bantuin kamu.”

Eli terdiam agak lama. “Kamu mau bantuin aku?” tanyanya kemudian.

“Masalahnya apa? pasti aku usahain”, timpal Aan yakin.

“Dalam seminggu ini, udah tiga kali si Doni, anak kelas 3D ngedatengin aku. Kemarin dia bilang ada titipan salam dari maskot 3D, si UM. dan katanya, aku menarik”

“Terus...?”

“Ya itulah masalahnya”

“Yah, kirain apaan. itu mah bukan masalah namanya” seru Aan enteng setengah menggoda sobatnya.

“Mungkin bagi kamu itu hal biasa. Tapi bagi aku ini masalah besar..”

“Maksud kamu?”

“Ya, aku bingung harus jawab apa. kata si Doni, besok si maskot itu mau nemuin aku”.

“Kenapa bingung, sih? Kamu tinggal jawab ya atau tidak, beres”.

Eli sejenak diam, “Besok kamu temenin aku ya! Ntar kamu aja yang ngobrol sama dia,” pintanya kemudian.

“Lho, kok jadi aku sih? Kan dia pengen ketemunya ama kamu”

“Ya. Tapi, aku nggak biasa”.

“Ya udah”, ujar Aan setelah tampak berfikir. “Besok aku temenin kamu nemuin dia”

“Makasih”, seru Eli memeluk sobatnya. “Kamu memang baik,” ucapnya sambil tersen

***********

Siang itu, warung bakso Mang Dul tampak sepi. Hanya meja pojok kanan yang terlihat diisi dua orang siswi dan seorang siswa yang tampak sedang serius berbincang.

“Kok, dari tadi kamu diam terus?” Ujang sengaja mengarahkan pertanyaannya pada Eli yang sejak awal pembicaraan hanya membisu.

Eli melirik sobatnya berharap ia kembali mau menjawab seperti yang tadi dilakukannya. Tapi kali ini Aan terdiam karena merasa bersalah telah menghalangi tujuan Ujang untuk mendekati Eli. Padahal, sudah di rencanakan sebelumnya, Aan berjanji untuk menjadi jubir dan menjawab setiap pertanyaan yang di lemparkan Ujang pada sobatnya.

Eli menjadi tidak tenang dan terus menunduk. Pertanyaan Ujang kali ini sulit untuk dihindari. Jauh di lubuk hatinya ia berbisik, “Tampan juga si maskot.”

“Ehm. Maaf saya tinggal dulu,” ujar Aan seraya berlalu keluar warung membuat Eli terkejut campur kesal. “Kenapa Aan ninggalin aku sih?” gerutunya.

Ujang tersenyum senang. “Syukurlah, Aan pengertian sama aku.” gumamnya sendiri.

Eli berusaha untuk tetap tenang. Disedotnya gelas yang masih penuh di hadapannya. Ujang pun ikut meneguk gelasnya untuk menutupi hatinya yang tiba-tiba jadi berdebar-debar.

“Kamu nggak suka kenalan sama aku?” tanya Ujang setelah agak lama saling diam, mulai memasang jeratannya.

“Gimana ya?” tanya Eli yang memang sangat tertutup untuk berurusan dengan laki-laki dengan gugup.

“Ya, jawab aja..” desak Ujang.

“Mungkin kamu akan tertawa mendengar jawaban dari aku.” Eli berusaha untuk berbicara tenang.

“Kenapa?”

Sebentar Eli menarik nafas, “Boleh aku panggil kamu kakak?” tanyanya kemudian.

“Dengan senang hati,” jawab Ujang memandangi keelokan wajah dihadapannya dan mulai merasa optimis bisa mendapatkan kedekatan dengan Eli.

“Kak,” Eli mulai terlihat tenang. “Eli sudah sering mendengar hal-hal tentang Kakak. Dan Eli kagum sama Kakak. Namun, seminggu ini kekaguman Eli seolah hilang. Kakak tahu kenapa?”

Ujang terkesima dan hanya menggeleng. sementara fikirannya menerawang jauh seperti sedang membaca alur pembicaraan siswi cantik di hadapnya.

“Semenjak Doni mendatangi Eli dan menyampaikan pesan-pesan dari Kakak, Eli berfikir bahwa kecerdasan kakak, prestasi kakak, tidak di topang oleh kejernihan hati. Kakak goyah oleh nafsu dan keinginan kakak,” lanjut Eli tanpa keraguan.

Ujang sejenak tertegun tidak menyangka gadis dihadapannya akan mengatakan hal ini. “Maaf. Boleh Kakak bertanya?” ucapnya kemudian penuh hati-hati.

“Ya,” jawab Eli singkat sambil tetap menunduk.

“Kamu serius dengan ucapan kamu?”

“Kenapa? Kakak nggak suka ?”

Kali ini Eli memandang tajam wajah Ujang yang semakin terkesima. Dua bola mata bundar penuh ketenangan benar-benar menyihir pandangannya.

“Bukan begitu,” jawab Ujang setelah agak lama saling menatap.

“Kak,” Eli kembali terlihat tegas. “Eli senang bisa kenal sama orang yang menjadi buah bibir di sekolah ini. Tapi, Kakak jangan salah faham. Eli senang, karena Eli berfikir ketika kenal sama Kakak, Eli akan mudah bertanya. Eli akan lebih giat belajar.”

“Maksud kamu?” tanya Ujang pura-pura tak mengerti.

“Eli yakin Kakak sudah faham kemana arah pembicaraan Eli. Jika Kakak ingin dekat dengan Eli hanya karena rasa suka yang terdorong oleh nafsu Kakak, maka Kakak tidak akan pernah mendapatkan itu.”

Ujang terdiam. Dia tidak menyangka gadis cantik dihadapannya bisa berfikir sejauh itu. Ia tersadar dan merasakan seperti ada siraman air menyentuh hatinya. Namun, nafsunya tetap berontak. Otaknya berputar, “Gadis seperti ini tidak akan tunduk oleh rayuan dan sanjungan. Aku harus mendekatinya pelan-pelan”.

“El,” timpal Ujang tak mau kalah dan mulai melancarkan jurus kedua. “Aku nggak nyangka kamu punya pemikiran seperti ini. Kamu hebat, aku makin kagum sama kamu. Ternyata ada hal yang lebih menarik dalam diri kamu. Keelokan kamu bukan hanya sebatas baju luar yang gampang kotor. Terimakasih, kamu udah bikin aku sadar akan kesalahan aku.”

“Kakak nggak salah. Kakak hanya kurang waspada dengan apa yang sedang terjadi dalam diri Kakak”

“Apapun anggapan kamu, aku patut berterimakasih karena kamu telah mengingatkan ketidakwaspadaan ini,” kembali Ujang memuji merayu dengan halus.

Keduanya agak lama terdiam dengan alam fikirannya. Ujang berfikir jernih, inilah siswi yang bisa menjadi teman sekaligus guru. Namun, terdengar suara halus lain yang membisik, “kamu fikir semudah itu menolakku. lihat saja, aku tak akan menyerah.” Sementara itu, Eli merasakan kelegaan hati telah menjelaskan isi hatinya. Namun, dia pun tidak mampu berbohong. Dia tahu, jauh di dalam sana ada perasaan suka yang berontak dan berbisik manakala melihat ketampanan siswa dihadapannya.

Tak semua keinginan harus diikuti dan dipenuhi. Masing masing punya saat dan waktu yang tepat. Manusia di beri aturan untuk mencapai keinginannya dan harus tunduk pada aturan itu. Kadang-kadang satu keinginan akan menjadi sandungan untuk menggapai keinginan yang lain. Itulah, kita harus tahu mana yang harus kita kejar terlebih dahulu, agar semua keinginan kita mungkin untuk terlaksana.

SEMBILAN

Tanpa terasa waktu berlalu sedemikian cepat. Ujian akhir sudah di depan mata. Semua siswa-siswi kelas tiga sibuk mempersiapkan diri agar memperoleh nilai yang tidak mengecewakan.

Demikian halnya dengan Ujang. Semenjak perkenalannya dengan Eli, Ujang seperti menemukan semangat baru. Banyak nasehat yang dia terima dari siswi cantik ini.

“Ya, Eli tahu. Tapi, kayaknya kita belum pantas untuk mengenal istilah pacaran. Toh walau nggak jadi pacar Kakak, Eli nggak ngejauhin Kakak.”

“Huh!! kata mereka, Kakak jago dalam segala hal. Nyatanya, dalam hal seperti ini, Kakak seperti orang dungu. Eli kan udah bilang berkali-kali sama Kakak, kita jadi teman dekat, tapi bukan dalam arti kita pacaran. Kita dekat untuk saling beri nasehat. Kita dekat untuk belajar lebih giat”.

Ucapan seperti inilah yang selalu terdengar ketika Ujang berkali-kali mengutarakan isi hatinya. Akhirnya, Ujang benar benar merasa tidak mampu untuk memaksakan keinginannya. Namun, dia tetap yakin gadis itu punya perasaan yang sama padanya.

Mereka pun semakin akrab dan dekat berhias nasehat dan saling berteman yang penuh dengan wejangan.

“El, gimana? Udah siap dengan ujiannya?” sapa Ujang saat berpapasan memasuki gerbang sekolah.

“Mudah-mudahan, Kak. Eli udah belajar serius. Semoga saja di beri kemudahan oleh Allah. Kakak sendiri?” tanya Eli lembut.

“Ya, mudah mudahan juga,” jawab Ujang singkat sambil tersenyum lalu berpisah menuju kelas masing masing.

**********

Suka-cita menghinggapi hati seluruh siswa-siswi Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciwaringin setelah mendengar pengumuman hasil ujian dari bapak kepala sekolah.

Semua siswa kelas akhir dinyatakan lulus. Bapak kepala sekolah tampak antusias dan puas dengan apa yang di umumkannya.

Siswa-siswi kelas akhir pun larut dalam rasa bahagia dengan ekspresi mereka yang beragam. Ada yang melakukan aksi corat-coret seragam, saling membubuhkan nama dan tanda tangan. Sebagian yang lain berkumpul dengan sepeda motor masing-masing untuk mengadakan konvoi.

Entah apa yang ada dalam benak mereka. Namun, itulah tradisi yang terjadi hampir di setiap sekolah. Padahal, masih banyak cara lain yang lebih positif dan bermanfaat untuk menyatakan rasa suka dan bahagia.

Sementara itu, diujung timur lapangan basket sekolah, tampak terlihat dua orang, siswa dan siswi yang sedang asyik berbincang. Rupanya, selepas acara pelepasan kelas akhir tadi, Eli sengaja segera menemui Ujang dan mengajaknya ke tempat itu.

“Eli, ada apa sih? Serius banget,” Ujang membuka percakapan setelah agak lama keduanya terdiam.

“Ada sesuatu yang ingin Eli utarakan,” jawab Eli agak ragu-ragu.

“Kamu nggak apa-apa, kan?” Ujang bertanya menyelidik melihat ketidaksemangatan sobat sekaligus penasehatnya.

Eli tak segera menjawab.

“Kamu nggak ikut temen-temen lain yang lagi pada seneng?” Ujang kembali bertanya sambil menggeser duduknya.

Eli terlihat menundukkan kepala dan tidak menjawab sepatah kata pun. Dua titik bening seperti memaksa untuk keluar dari dua bola indah matanya.

“Kenapa kamu menangis?” tanya Ujang heran melihat pemandangan tak lazim ini.

Eli tetap membisu. Mulutnya serasa terkunci.

“Kalau kamu tidak mau bicara,” Ujang yang mulai merasa kesal mengancam, “aku pergi gabung temen-temen dulu”, lanjutnya seraya hendak berdiri.

“Tunggu, Kak”, buru Eli seraya mengangkat wajahnya.

Dua pasang mata kembali saling beradu. Ujang merasakan ada hal aneh dalam tatapan sobat yang pernah membuatnya tergila-gila ini.

“Kak...” Eli berusaha membuka mulut. Ujang hanya diam memperhatikan. “Kalau Eli bicara sesuatu, apakah Kakak akan marah?” tanya Eli kemudian dengan agak ragu-ragu.

“Kamu ini aneh. Kapan saya pernah marah sama kamu? Lagi pula bagaimana siapa yang bisa marah pada gadis cantik seperti kamu?” goda Ujang coba mencairkan suasana.

“Eli serius, Kak” tegas Eli lalu kembali tertunduk.

Ujang terlihat menggeser duduknya. Kali ini, keduanya saling berhadapan.

“Ok”, sahut Ujang. “Aku serius”, lanjutnya meyakinkan.

Setelah sejenak terdiam, Eli berucap dengan penuh hati-hati, “Kak, Eli suka sama ...” Eli tidak kuasa meneruskan ucapannya dan kedua tangannya yang seakan mengerti apa yang sedang dirasakan hatinya segera menghampiri wajah yang memerah.

Ujang tersentak mendengar perkataan gadis cantik dihadapannya. Gadis yang dulu penuh kukuh itu kini luluh dan menyatakan kejujuran perasaannya. Lama ia termenung bagaimana menjawab perasaan gadis ini. Akal, nafsu dan hatinya saling berdebat. “Kamu tatap mata Kakak!” ujarnya kemudian sambil mendongakkan wajah Eli yang seolah terbebani sesuatu yang sangat berat.

Eli menurut. Dua sorot mata kembali beradu.

“Meskipun kamu tidak mengatakannya,” dengan lembut Ujang mencoba untuk menjelaskan isi hatinya. “Kakak sudah tahu dan merasakan hal itu. Kakak sangat berterima kasih pada kamu yang telah membuat kakak tersadar sehingga Kakak bisa menganggap kamu lebih dari pacar yang hanya mengatakan suka atas dasar nafsu.” Sejenak Ujang menarik nafas. “Kamu masih ingat,” lanjutnya, “kamu beri kakak nasehat bahwa Kakak harus berhati-hati dengan cinta karena cinta terkadang akan mengubur cita-cita. kamu berpesan sama kakak bahwa Kakak harus berhati-hati dengan wanita karena ditangan wanitalah seorang jawara tangguh pun akan menjadi luluh.”

Eli terisak dan merasa seperti sedang dihujani kerikil-kerikil yang telah dia lemparkan sendiri.

“Kamu tidak usah menangis”, lanjut Ujang membuat Eli semakin tertunduk karena perasaan malu dan bersalah benar-benar membebaninya.

“Sejak kapan kamu jadi gadis cengeng? Sekarang hapus air mata kamu. Pandang kembali mata kakak baik-baik! Lihatlah betapa mata ini telah di penuhi oleh ketulusan mencintaimu”, ujar Ujang kemudian berusaha menenangkan gadis yang tetap tidak berani mengangkat wajahnya.

Eli menurut. Diusapnya air mata dengan ujung jilbab putihnya, lalu ditatapnya dalam-dalam mata pemuda yang benar-benar telah merobek hatinya.

“Kamu jangan punya fikiran negatif sama Kakak. Kakak tidak berniat balas dendam. Kakak hanya ingin kita melangkah di jalan terbaik.” Ujang kembali berusaha mengobati perasaan Eli.

“Jadi..”.

“Tidak,” potong Ujang melihat wajah Eli yang tampak putus asa . “Kakak tetap suka sama kamu. Sampai kapan pun rasa itu akan tetap ada,” ucap Ujang yakin membuat wajah putih di hadapannya kembai terlihat berbunga.

“Tapi tolong,” lanjut Ujang, “kecintaan Kakak pada kamu sudah bersih dan sudah sangat meresap dalam hati. Kakak mohon, kamu jangan mengotorinya kembali. kamu jangan membuat cinta Kakak jadi keruh kembali..”

“Maksud kakak?”

“Ya, kita saling mencinta tapi tidak usah jadi pacar. Kita saling sayang tapi tidak usah jadi buta mata hati. Kita harus sadar dengan keadaan kita. Kita masih akan gapai cita-cita kita. Dan itu sangat berat. Kita akan sama berhasil jika cinta kita adalah saling memberi semangat, saling memberi nasehat.”

Ujang sengaja menghentikan ucapannya untuk melihat reaksi gadis di hadapannya. Eli tampak termenung berfikir jernih. Ia mencoba bangun dari keterpurukan logika karena emosi yang menguat. Perlahan wajah layu itu mulai pulih semangat.

“Kak,” ucap Eli setelah lama saling terdiam, “maafkan Eli,” lanjutnya. “Eli hanya ingin menumpahkan perasaan agar merasa lega. Sekarang, kita jalani seperti dulu walau mungkin kita akan berjauhan”.

Ujang tersenyum senang. “Nah..! gitu dong. Ini baru namanya Eli.”

“Oh iya, Kak. Eli ada dua permintaan yang harus dipenuhi oleh Kakak.”

“Ok”, jawab ujang yakin tanpa berfikir panjang.

Eli mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya. “Ini kak,” ujarnya menyodorkan kerudung putih berenda kembang mawar merah. “Tolong kakak tuliskan apapun yang Kakak mau. Tulisan di kerudung ini akan menjadi obat buat Eli,” sambungnya menjelaskan permintaan pertama.

“Yang kedua?” tanya Ujang sambil menerima lipatan kerudung putih dan spidol berwarna emas dengan tersenyum.

“Setelah tuliskan itu, izinkan Eli cium tangan Kakak,” jawab Eli tanpa ragu.

“Ya udah, sekarang aku tulis ini dulu.. ” timpal Ujang berusaha menutupi kekagetannya.

Ujang terlihat mulai menggoreskan spidol warna emasnya di atas kerudung putih yang dia pegang. Sementara, Eli hanya terpaku memperhatikan tulisan sambil sesekali memandangi wajah tampan penuh aura dan wibawa.

CITA CINTA

Hei...kenapa harus menangis? Tersenyumlah....Berbahagialah....

Cita cinta kita telah bertemu

Cinta cita kita telah beradu

Cinta hati kita telah bersemi

Hati cinta kita telah berpadu

Jangan kau kotori dengan perasaanmu

Jangan kau najisi dengan nafsumu

Cinta hati adalah bersih

Hati cinta adalah suci

Inilah cinta

Cinta yang tak sisakan luka

Cinta yang tak torehkan duka

Kotorlah cintaku

jika setelah berpisah aku menjadi luka

Kotorlah cintamu

jika setelah berpisah kau menjadi duka

Cinta kita penuh tulus

Cinta kita takkan hilang walau jauh

Cinta tulus tak perlu dekat

Cinta bersih tak perlu sua

Cinta suci tak butuh adu

Hargailah.. Hargai anugrah ini pada kita

Jadikanlah cita cinta

tuk wujudkan cinta cita kita

Hari ini....Tersaksikan alam

Kupadukan cita cintaku dan cita cintamu

Tapi bukan untuk nafsuku dan nafsumu

Bukan untuk setanku dan setanmu

Itu untuk hatiku dan hatimu

Tuk gapai cinta citaku dan cinta citamu

Percayalah wahai gadis penuh pesona

Aku yakin jika bukan dirimu

‘kan kutemukan sepertimu

Aku yakin Dia kuasa membuat jelmaanmu untukku

Ujang Muhammad

“Terimakasih,” ucap Eli menerima kerudung putih yang kini berhias tulisan warna emas dengan tersenyum. Dibacanya tulisan itu dan tanpa terasa dua butir air mata menitik. “Demi cinta cita-cita kita korbankan cita-cita cinta”, gumamnya lirih sambil mengecup tulisan yang selesai dibacanya.

Ujang hanya diam memperhatikan. “El..” tegurnya setelah agak lama sambil mengulurkan tangan kanannya.

Eli segera tersadar dan langsung menyambut tangan lelaki itu. Ditundukkannya kepala, dan... Ujang tidak berani menarik tangannya hingga Eli mengangkat wajahnya sendiri yang kini basah oleh air mata.

Ujang tersenyum. Dia mengangkat tangan Eli yang masih di jabatnya. Dikecupnya perlahan lalu diturunkannya kembali. “Terimakasih,” untuk kedua kali ucapan itu keluar dari bibir merah Eli.

“Sekarang kita pulang!” ajak Ujang sambil mengangkat tubuhnya lalu disusul Eli dengan wajah terlihat cerah.

Siapapun punya rasa cinta. Tak bisa disalahkan. Cuma, manusia harus tahu bagaimana cinta menjadi bersih, bukan menjadi kendaraan nafsu dan tumpangan setan. Jika tidak, itulah cinta buta. Cinta yang akan menyakitkan. Cinta yang akan menjadikan lupa diri dan lupa daratan. Cinta yang akan jadikan manusia kesetanan dan melupakan aturan serta larangan Tuhan.

SEPULUH

Pagi itu tampak seorang yang sudah agak tua bertubuh tinggi kurus sedang mengemasi barang-barang bekas yang telah dikumpulkannya berhari-hari. Dia bernama Pak Karta.[58] Masyarakat Desa Cinangsi menganggapnya sebagai seorang pemulung yang nyeleneh. Dia hidup sebatangkara. Rumahnya hanya terdiri dari bambu dan jauh terpencil di ujung desa.

“Ujang, Ujang, Ujang”, berkali-kali bibir hitamnya menyebut sebuah nama yang disebutkan guru spiritualnya semalam.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, dia kembali masuk ke gubuk tuanya dan mengganti pakaiannya. Kini, dia bersarung lusuh, berkampret hitam penuh tambalan, berpeci hitam kemerah-merahan dan berdiri tegak di atas sebuah dipan bambu. “Allaahu akbar” terdengar Pak Karta ucapkan takbirotulihrom dan dengan khidmat dia melaksanakan sholat dluha delapan roka’at.

Setelah selesai, dia mengganti pakaiannya kembali dengan pakaian semula. Lalu pergi dengan langkah gontai untuk kembali mencari sampah-sampah yang masih bisa di manfaatkan.

Tidak banyak yang tahu siapa orang ini sebenarnya. Dia adalah salah satu dari tujuh murid pertama Kyai Purnama.

“Tugas ini berakhir saat kamu kedatangan seorang anak muda bernama Ujang Muhammad. Tunggulah!.”

Itulah kalimat terakhir yang di ucapkan Pak Kyai Purnama saat datang kedua kali dan memberikan tugas yang sangat berat, menanggalkan jabatan lurahnya dan hidup ngere menjadi pemulung yang berpindah-pindah, setelah kedatangan pertamanya sewaktu masih mendampingi Mas Ahmad Arifin dua puluh lima tahun silam.

*******

“Lintang, kau akan kedatangan calon muridku yang terakhir dan akan menggantikan kedudukanku”

“Siapa, Pak Kyai?”

“Ujang Muhammad”

Lintang terbangun. Dia mengingat-ingat mimpi yang di alaminya. Mimpi yang sama dan telah terulang tiga kali. Sang Guru, Kyai Purnama mendatangi dan memberi berita akan adanya murid terakhir yang akan mendatanginya. Dilihatnya jam di dinding kamarnya.

“Jam tiga.” Lintang berucap lirih lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan melaksanakan wirid malamnya.

Lintang seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Dia menjadi Direktur utama Hotel Angkasa dan memiliki beberapa restaurant. Dia mengemban tugas itu dan boleh menikah ketika menginjak usia empat puluh tahun.

SEBELAS

Perjalanan untuk menuju sebuah keagungan sangatlah jauh dan terjal. Banyak orang yang enggan untuk melewatinya. Banyak orang yang melewatinya terjatuh, tersesat. Hanya mereka orang orang terpilih yang sanggup merengkuhnya.

Setelah hampir satu setengah bulan menghabiskan masa liburan panjangnya, Ujang yang berencana untuk menuntut ilmu ke daerah jawa timur mulai mempersiapkan segala kebutuhan untuk pengembaraan baru.

“Ngalihe arep mendi, Cung?”[59] tanya Mama Yai saat Ujang berkesempatan sowan untuk matur tentang rencana kepindahannya.

“Ke jawa timur,” jawab Ujang tanpa menjelaskan lebih rinci dan menyerahkan ketentuan pada gurunya. Dia yakin bahwa petunjuk dan keputusan dari gurunya lebih matang dari keputusannya sendiri.

“Ya wis, ngendi bae bagus. Tapi baka sirae gelem, Mama duwe batur ning jawa timur. Wonge alim sanget. Sira sowan mana,. Kih alamate..”[60]

Ujang menerima secarik kartu nama yang diberikan gurunya. Dibacanya sekilas lalu di masukkannya kedalam saku.

“Ma,” hatur Ujang kemudian, “besok insya Allah, keluarga mau sowan. Sekarang saya pamit, mau pulang dulu ke rumah.”

Ya. Salame kanggo keluarga sira” [61]jawab Sang Kyai singkat.

Ujang pun sembah sungkem lalu beranjak mundur dari hadapan gurunya.

*****

Malam ini, Ujang merasa sulit memejamkan mata. Bayangan masa lalu dan lamunan masa depan mengganggu alam fikirannya. Dia kembali teringat kenangan-kenangan bersama teman teman al-Miftahnya, kenangan kenangan bersama teman-teman sekolahnya, wejangan-wejangan Mama Yai terlebih saat kemarin minta doa restu bersama keluarga.

“Pak Kyai,” terlintas kembali ucapan ayahnya memintakan doa untuknya. “Saya selaku orang tua Ujang hanya bisa mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya atas didikan yang telah diberikan kepada anak saya. Dan, saya mohon keikhlasan Pak Kyai untuk memaafkan kesalahan-kesalahannya selama belajar disini.”

Terngiang pula jawaban penuh kesejukan dari kerendahan hati gurunya saat itu,“Al-hamdulillah. Saya juga berterimakasih telah dipercaya mendidik Ujang. Namun, saya tahu siapa diri saya. Saya tidak bisa memberikan didikan yang maksimal. Tentang kesalahan-kesalahan Ujang selama disini, Bapak harus percaya bahwa hati setiap guru terhadap murid-muridnya selalu terbuka. Saya tidak pernah merasa tersakiti oleh murid-murid saya. Saya berdoa semoga Ujang bisa belajar lebih giat dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.”

Diam-diam hatinya bertekad, aku harus memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kulakukan. Biarlah Kenangan hitam dan putih itu menjadi pelajaranku dimasa kini agar tergapai cita-cita dimasa depan. Aku akan menapaki lembaran baru yang harus terus tertulis kebaikan agar tidak melahirkan penyesalan. Banyak waktu yang telah terbuang sia-sia selama ini. Waktu yang seharusnya terisi goresan-goresan ilmu telah hilang akibat ulahku sendiri. Ya. Aku harus bisa menahan keinginan-keinginanku yang tak penting.”

Bayangan bagaimana keberangkatan esok hari menuju daerah yang sangat asing dalam hidupnya tiba-tiba terlintas. Dibacanya kembali kartu nama yang di berikan Mama Yai.

KH. Ahmad Arifin

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muhib

Jl. KH. Besari NO 27

Ds. Tambakrejo Kec. Jombang

Kab. Jombang

JAWA TIMUR

“Alamatnya cukup jelas. Mudah-mudahan aku mudah mencarinya”, bisiknya dalam hati lalu menyimpannya kembali dan kembali berusaha memejamkan mata.

*******

“Jang,gugah..tos subuh,”[62]

Ujang menggeliat bangun, “Alhamdulillaahilldzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wailaihinnusyuur.” lirih ia berdoa kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk segera menyiram tubuhnya dengan air pagi yang menyegarkan serta menyirami ruhnya dengan sholat subuh berjama’ah bersama abi dan uminya.

Hari itu merupakan hari terakhirnya bercengkerama bersama kedua orang tua tercinta. Demi cita cita Ujang muda harus kembali meninggalkan mereka.

“Jang, tos siap sadayana?”[63] tanya ayahnya membuka percakapan sambil menikmati sarapan pagi

“Atos,Bi,”[64] jawab Ujang singkat lalu kembali menyuapkan nasi gorengnya.

Ker wengi Abi ngadamel seratan. Engkin pikeun jimat Ujang diditu..”[65]

“Jimat?”

“Muhun. Engkin bilih Ujang emut ka Umi, ka Abi, kantun buka wae seratan eta.”[66]

Ayahnya menjelaskan sambil berlalu mengambil tulisan yang dibicarakan. Ujang hanya memandangi ayahnya sambil tersenyum sendiri mengingat kata jimat yang diucapkannya. Dia teringat orang pintar yang didatanginya bersama Doni, sahabatnya di sekolah Tsanawiyah yang ikut terpengaruh oleh teorinya tentang memikat wanita.

“Jang, kemarin aku nembak Sinta. Tapi, dia malah memakiku habis-habisan,” ujar Doni kesal.

“Don, cewek kaya Sinta nggak cukup modal wajah, apalagi pas-pasan,” jawab Ujang setengah meledek.

“Temen lagi susah malah diledekin. Bantuin atuh!” gerutu Doni.

“Siap. Asal kamu percaya.”

“Gimana?”

“Kita pergi ke Pak Sumarno.”

“Siapa Pak Sumarno?”

“Dia spesialis pemikat wanita.”

“Ide bagus. Kapan kita kesana?”

“Besok siang”

Esoknya, setelah pulang sekolah, Dua anak remaja itupun berangkat ke Desa Bantar, tempat tinggal Pak Sumarno.

“Ada apa?” tanya seorang yang belum terlalu tua dengan raut wajahnya yang masih menampakkan sisa ketampanan masa muda, punya istri empat bernama Pak Sumarno

“Anu, Pak. Teman saya mau minta bantuan”, agak ragu Ujang mengutarakan maksud kedatangannya.

“Bantuan apa?” tanya Pak Sumarno.

“Dia di tolak perempuan”, tunjukunya pada Doni.

“Ha..Ha..Ha..” Pak Sumarno terbahak.

Ujang dan Doni saling pandang entah dengan apa yang menjadikan dukun dihadapannya tertawa..

“Siapa nama kamu?”

“Doni,” jawab Doni singkat.

“Perempuan itu?”

‘Sinta”.

Pak Sumarno manggut-manggut lalu melangkah masuk kamar. Sebentar kemudian, dia kembali muncul dengan sebuah bungkusan.

“Ini”, ujarnya menyodorkan bungkusan itu. “Saya kasih kamu jimat.”.

“Apa ini, Pak?” tanya Doni penasaran.

“Kamu tidak perlu tahu.”

“Cara pakainya?”

“Kamu bawa saja saat akan mengutarakan perasaan kamu”

“Ya, Pak,” jawab Doni senang.

Seminggu kemudian.

“Jang, dukun penipu,” umpat Doni mengagetkan Ujang yang sedang mengerjakan tugas Fisika.

“Heh, ada apa?”

“Katanya Spesialis. Tahunya, gadungan..”

“Kamu tenang dulu. Ceritakan masalahnya!”

“Kemarin aku nemuin Sinta membawa jimat itu. ternyata..”

“Gimana?”

“Dia tetap menolakku.”

“Ha..Ha..Ha..” Ujang tertawa geli.

“Kenapa?” tanya doni dengan nada tinggi.

“Kamu ini aneh. Kemarin aku sakit kepala, badanku panas. Lalu, aku pergi ke warung obat. Setelah aku minum obat yang aku beli, ternyata kepalaku belum juga sembuh dan panasku tidak turun. Tapi, aku tidak memaki-maki tukang warung itu.” Ujang coba berdiplomasi.

“Maksud kamu?”

“Don, itu kan hanya satu bentuk usaha. Masalah hasil atau tidak siapa yang bisa menjamin?”

Doni terdiam.

“Sudahlah,” lanjut Ujang menghibur. “Jika masih penasaran, kamu dekati terus. Jika tidak, masih banyak yang lain.”

Doni hanya mengangguk dan memaki dalam hati, “Dasar, Ujang sinting. Tidak mau kalah.”

“Ieu Jang...[67]ayahnya muncul membawa selembar kertas dan memberikannya.

BISMILLAH

Ini beberapa pesan dari Abi dan Umi :

I Niatlah dengan berbagai niat yang baik ketika hendak berangkat

I Peganglah tiga hal niscaya kamu akan berhasil

· Sholat berjama’ah

· Rajin belajar dan mengaji

· Patuh pada guru / kyai

I Pandailah mengatur keuangan

I Do’akan Umi dan Abi. Do’a penuntut ilmu mudah di ijabah

I Tawakkal pada Allah

Ujang mengangguk-angguk lalu ditatapnya wajah Umi yang sejak tadi diam.

“Umi kunaon?”[68]tanya Ujang heran melihat Umi tampak bersedih.

“Eeh” ibunya tergagap kaget. “Henteu, Umi ngan ngemutan iraha tiasa kapendak deui sareng Ujang. Umi ngaraos sedih”[69] lanjutnya terisak.

“Ih, ari si Umi naha jadi kitu?. Budak rek nuntut elmu ulah dihalang halang”[70]tegur Abi.

Ujang terdiam memahami apa yang dirasakan Ibunya. Sebentuk kedekatan hubungan antara seorang anak dan ibu yang benar-benar lekat sehingga akan merasa khawatir ketika sang anak jauh.

Memang begitulah. Tapi, hal ini tetap harus dibatasi dan jangan sampai menjadi halangan untuk menggapai cita-cita. Jika tidak, maka itulah kasih sayang yang semu, kasih sayang yang hanya menjadikan sang anak terbuai manja

******

Dengan langkah pasti, Ujang ucapkan Bismillah menuju pengembaraannya yang kedua. Inilah jalanku, aku tidak peduli dengan mereka yang tidak sejalan, tekadnya melawan mayoritas kalangan sebayanya yang lebih memilih hanya melanjutkan sekolah atau bahkan memilih mencari uang ke kota.

Setelah menempuh satu setengah jam perjalanan dari rumah, Ujang tiba di Stasiun Kereta Api Cirebon yang sesak oleh tumpukan penumpang yang sedang antri membeli karcis ke tujuan mereka masing-masing. Ujang melirik jam di tangannya. “Masih setengah jam lagi, aku harus sholat Ashar dulu”, fikirnya lalu mencari-cari lokasi musholla stasiun.

Tepat pukul 16.30, KA. BANGUNKARTA jurusan Jakarta-Jombang tiba. Penumpang yang lelah menunggu segera berhambur memasuki gerbong masing-masing. Ujang segera mencari kursi No 9A setelah ia memasuki gerbong tiga.

Lalu lalang penumpang dan pedagang asongan yang menjadi pemandangan lazim terasa asing baginya yang baru kali pertama bepergian dengan menggunakan transportasi kereta. Dipandangi jendela kaca yang sudah kusam untuk melihat pemandangan stasiun yang ramai oleh hilir mudik para pedagang stasiun di antara para penumpang yang masih menunggu kedatangan kereta mereka.

Tiba-tiba, wajah uminya melintas. Terbayang kembali adegan penuh haru tadi siang saat ia pamit untuk berangkat, “Umi, Abi, do’akeun Ujang” ucap Ujang sambil memeluk erat ayah ibunya.

“Sabar Jang nya[71]pesan Abi seraya tersenyum melihat kesungguhan Ujang. Sementara Umi hanya terisak menahan rasa sedih melepas anak tercinta. Ujang segera membalikkan tubuhnya karena tak ingin kesedihan Umi menciutkan tekadnya.

“Ah, Umi doakan saja anakmu ini,” ucap Ujang setelah menyadarkan dirinya dari lamunan. Lima belas menit kemudian, kereta pun berangkat.

Allah mencipta makhluk berpasang-pasang

Ada malam, ada siang

Setelah gelap terbitlah terang

Dimana ada rasa sempit pastilah akan ada rasa lapang

Disini ada manusia rendah disana ada yang terpandang

Begitulah hidup ini menjadi seimbang

Semua makhluk tak bisa menentang

Manusia hanya bisa bersikap dengan segala ketentuan Tuhan yang sudah terpampang

Ujang belia tidak tahu bahwa dia sedang mulai membangun keluhuran. Dia sedang berjuang untuk menjadikan ruhnya terbang ke alam Tuhan. Dia harus menghadapi deraan ujian dan cobaan. Perjalanan panjang harus dia tempuh. Allahlah yang memberi petunjuk pada siapapun yang dikehendaki. Dia pulalah yang menyesatkan pada siapa pun yang dikehendaki.

DUA BELAS

Tiga tahun telah diisinya dengan berbagai tempaan pendidikan pesantren dan wejangan guru sehingga ia semakin matang di usia yang masih belia. Sikap kesehariannya menjadi teladan bagi santri-santri lain sekaligus menjadikan hati Romo, gurunya, ‘jatuh hati’.

Bakda subuh Ujang mengikuti pengajian Kifayatul Atqiya yang diisi oleh Gus Ical, putra tunggal Romo. Setelah itu ia harus berangkat ke Perak, tetangga desa lokasi pesantrennya, untuk mengajar di Madrasah Panti Asuhan milik Romo hingga tiba waktu dzuhur. Bakda dzuhur Ujang kembali ke al-Muhib dan beristirahat sejenak menunggu jadwa pengajian yang harus diisinya pukul setengah tiga hingga tiba waktu ashar. Selepas ashar, ia langsung menggendong ihyanya dan duduk maknani bersama santri-santri senior yang lain dibawah bimbingan Romo. Bakda maghrib ujang pergi ke Kampung Lor untuk mentashih bacaan al-Qurannya dihadapan Gus Pul, seorang hafidz muda yang tuna netra. Selepas isya hingga pukul sebelas Ujang aktif mengikuti diskusi fikih di FOBAMA, forum bahsul masail yang beranggotakan santri-santri Madrasah Takhassus Fiqh.

Kegiatan-kegiatannya ini dilakukannya setiap hari kecuali malam jumat yang ia khususkan untuk bersunyi diri dimaqbaroh-maqbaroh para sholihin yang dikunjunginya. Tak ada waktu yang tersisa untuk kesia-siaan, begitulah tekadnya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu, awal masa remajanya.

Tapi malam ini, tak seperti biasanya, Ujang merasakan kegelisahan tanpa tahu apa yang menjadi penyebabnya. Berkali-kali ia keluar masuk kamar seperti orang kebingungan atau mungin seperti orang yang sedang kehilangan sesuatu.

“Ya Allah, kenapa malam ini fikiranku tidak karuan,” ujarnya lalu kembali bangkit dari sajadah yang digunakannya sebagai alas meninggalkan teman-teman satu kamarnya yang telah tertidur pulas.

Diluar kamar, pemuda yang baru berusia kurang dari dua puluh itu menarik nafas dalam-dalam sambil memandangi kehitaman langit yang berpoles bintang-bintang. Lama ia diam termenung lalu kembali masuk kamar dan diambilnya buku catatan pribadi yang selalu dibawa ketika mengikuti pengajian Romo. Dibukanya lembar demi lembar untuk mengusir kegelisahan.

“Niati apik lakonmu sing apik”

Opo wae sing awakmu lakoni, asal iku barang apik, ojo lali niati nganggo niatan-niatan sing apik. Ben akeh ganjarane.[72]

“Petukno lakonmu karo karepe atimu”

Santri-santriku kabeh, ning jero awakmu iku ono nafsu, aqal, ati,ruh. Nek wis weruh iki, totoen lakonmu, sing iso petuk karo karepe atimu”[73]

Biasakno belajar dzikir

Awakmu sholat atimu dzikir. Awakmu moco quran atimu dzikir. Awakmu nulis atimu dzikir. Awakmu lunga nang pasar atimu panggah dzikir. Opo wae nek wis biasa iku ora abot[74]

Ojo tinggal jamaah

Santri-santriku kabeh! Aku seneng delok koe kabeh sregep jamaah. Sholat jamaah iku gedhe ganjarane yo gedhe godaane[75].

Belajaro ojo sombong

Awakmu weruh penyakit opo sing dadekno iblis diusir gusti Allah? Gak ono liyone,sombong. Ngeroso awake luwih hebat batan kanjeng nabi adam. Ati-atiyo, awakmu weruh yen awakmu bodho tapi kok gak gelem ngaji, iku arane sombong. Wong sombong iku musuhe pengeran.[76]

Ujang menutup buku hariannya. Dia berusaha memejamkan kedua matanya. Akhirnya, dia tertidur pulas hingga muadzin subuh membangunkannya.

******

“Abi, si Ujang tos aya nyeratan deui ?” [77].

“Teu acan. Kamari Abi nelpon, saurna ayeuna si Ujang di tunjuk jadi badal Romo”[78]

“Badal teh naon?.”[79]

“Upami Romo aya halangan ngawulang, Ujang anu ngagentosan”[80]

“Nembe oge tilu taun”[81]

“Duka atuh. Meureun mana kitu Ujang tos kapercanten ku Romo”[82]

TIGA BELAS

Malam semakin larut. Taburan bintang dilangit tiada mampu menghibur kesedihan hatinya. Wajah gadis itu tampak layu dan kusut. Dibukanya album photo yang menyimpan memori masa lalunya.

“Maafkan Eli, Kak Ujang. Eli yakin Kakak juga setuju dengan keputusan ini” , gumamnya seraya memasukkan surat yang telah selesai ditulisnya beserta tiga buah photo kemudian melangkah kembali memasuki kamarnya.

Di atas ranjang tampak suaminya terlentang pulas. Eli menghampirinya, di kecupnya dahi putih Ahmad Najib dengan lembut.

“Kamu dari mana?”

“Abang belum tidur?” tanya Eli agak kaget.

“Belum. Kamu kenapa?”

“Nggak apa-apa. Kita tidur, Bang. Besok Abang harus masuk kerja.”

“Kamu yakin?”

“Ya,” jawab Eli sambil meletakkan tangan diatas dada suaminya.

********

Akhir-akhir ini Ujang semakin kehilangan gairah. Dia merasa seperti ada beban berat yang sedang atau akan menderanya. Inilah kali pertama dia merasakan keresahan panjang selama tiga tahun belajar dibawah bimbingan Romo.

“Mas Ujang , sampeyan ditimbali Romo.[83] Yunus datang memecah kesendiriannya.

“Iyo Nus, aku tak rono,”[84] Jawab Ujang lalu bergegas merapikan penampilannya.

Dengan langkah agak tergesa, Ujang menuju ndalem gurunya. Dari kejauhan, terlihat Romo sedang duduk menunggunya diteras rumah. Setengah membungkuk, Ujang menghampiri dan sungkem hormat.

“Jang, lungguhe nang korsi kono,”[85]ujar Romo mempersilahkannya sambil menunjuk arah kursi yang bersebelahan dengan kursi yang ditempati gurunya. Ujang menurut dan tetap menunduk.

“Jang, awakmu gak usah kaken tako’”, ucap Romo kemudian tanpa berbasa-basi. “Awakmu sesuk muliho. Sampekno salamku neng wong tuomu. Terus, awakmu budhalo maraning daerah Cianjur sukabumi. Gole’ono Kyai sepuh, arane Kyai Purnama. Ciri-cirine wonge putih, gak ono brengose, gak ono jenggote, duwe anak siji isih enom arane Kyai Bentang. Wong iku sing bakal dadi gurumu,” [86] lanjutnya panjang lebar menjelaskan perintah.

Ujang tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya berusaha mengingat-ingat ucapan gurunya disertai pertanyaan hatinya sendiri, “Inikah yang membuatku akhir-akhir ini gelisah? Ya Allah, aku yakin Romo lebih tahu dengan apa yang harus aku lakukan”.

Setelah sang guru menyuruhnya undur diri, Ujang segera sungkem pamit dan meminta restu. Diapun segera kembali ke pondok untuk kemudian berangkat menjalankan amanat gurunya. Ujang berusaha menenangkan fikirannya. Semua barang-barang yang harus dibawa telah rapih terkemas.

Diluar kamar, teman-temannya terlihat sudah menunggu untuk melepas kepergian orang yang di anggap sebagai teladan mereka. Seorang yang dengan segala keluarbiasaannya telah mampu menyerap pendidikan dzohir bathin gurunya dalam waktu singkat dan dalam usia yang masih dianggap belia.

EMPAT BELAS

Perjalanan Jombang-Rajagaluh yang hampir memakan waktu tigabelas jam telah di tempuh. Kini, ujang telah berada di tanah kelahirannya kembali. Rasa rindu tiga tahun tidak bertemu hilang tak berbekas. Wajah berbinar terlihat dari raut kedua orang tuanya, terlebih ibu yang sudah sangat merindukannya. Namun, itu hanya sekejap karena Ujang harus kembali berangkat untuk memenuhi amanat gurunya.

Kedua orang tuanya tidak bisa menahan dan menghalanginya.

“Abi, Umi, aya sababaraha perkawis anu kedah Ujang haturkeun”[87] Ujang membuka percakapan saat selesai makan malam bersama.“Kahiji,” lanjut Ujang. “Ujang ngahaturkeun salam ti pangersa Romo Yai”.

“Alainaa waa’laihissalaam,” susul ayahnya menjawab salam yang disampaikan.

“Kadua,” sambung Ujang. “Ujang nuhunkeun widi ti Abi sareng Umi, keenjing bade angkat deui”[88]

Kening Abi dan Umi berkerut heran campur tak mengerti dengan apa yang dibicarakan anaknya, Piraku nembe sadinten teras bade angkat deui.[89]

“Abi, Umi, Ujang uih ayeuna teh dipiwarang ku Romo. Anjeuna ngaamanatan yen Ujang kedah milari pigurueun Ujang . Namina Kyai Purnama. Ujang kedah angkat ka daerah Cianjur Sukabumi”[90] ucap Ujang sedikit menjelaskan.

Ayahnya mengangguk seperti sudah mengerti dengan arah pembicaraan Ujang perihal amanat gurunya. Namun, ibunya yang merasa khawatir langsung memasang wajah tak setuju.

Setelah bermusyawarah alot, akhirnya ayah dan ibunya merasa yakin dan memberikan restu mereka.“ Ujang sing yakin tiasa nuhonan amanat Romo,”[91] ucap Abi memberi motivasi sebagai bentuk restu yang diberikannya.

“Ieu jang[92]”, Umi menyerahkan amplop besar yang sejak tadi di pangkunya “Dongkap minggon kamari,” [93]

Surat dari siapa? besar sekali amplopnya, gumam Ujang penasaran. Dari; Eli Mardliyyatul Maula, baru sampai sini Ujang membaca tulisan dibagian kiri atas amplop fikirannya segera menerawang ke memori tiga tahun silam. Ya, gadis dengan sebuah nama indah itu telah torehkan kenangan masa lalu dalam hidupnya, kenangan yang tak terlupakan bahkan takkan terlupakan. First Love yang merasuk jiwa. Bagaiamana tidak? Ia yang sedang tergila-gila malah dihujani nasehat-nasehat yang baginya, itu semakin membuatnya tergila-gila. Cintanya yang bermula dorongan nafsu berubah lembut setelah dipoles kelembutan ucap-ujar sang kekasih dan menjadi cinta bersih yang tak bertendensi kepentingan pribadi.

Ujang beranjak ke kamar meninggalkan Abi dan Uminya. Dikamarnya, sebentar ia tertegun membiarkan wajah gadis cantik itu bermain dibayangan pelupuk matanya sambil mendengarkan amplop ditangannya yang dibiarkan sejenak tertawa melihat kedunguannya memasuki masa lalu bercampur prasangka yang tak tentu, Masih ingatkah dia padaku? atau jangan-jangan surat ini... Ah, mudah-mudahan isinya tidak mengganggu perjalanan tugasku.

“Heh”, Ujang agak terkejut dengan tiga buah photo yang ada di lipatan selembar surat yang dibukanya. Dua gambar yang menjadikannya benar-benar kembali ke masa tiga tahun yang lalu. Tapi, satu gambar terakhir membuatnya tertegun. “Gadis ini bersanding dengan siapa?”

Ujang membaringkan tubuhnya yang tiba-tiba terasa lemas. Lembar surat masih ditangan dengan tatapan jauh menembus langit-langit kamar. “Dia sudah menikah? Tak terlalu mudakah? Kenapa harus dengan lelaki itu? Siapa dia? Bisakah dia membahagiakan Eliku?

Ujang bangkit perlahan menguatkan diri. Hati jernihnya ikut berbisik ,“Kenapa kamu harus bersedih? Ya, bukankah kau masih harus jauh melangkah?”

Ujang mulai membuka lipatan surat ditangannya. Dibacanya perlahan dan penuh perhatian kata per kata yang terukir oleh jari-jemari yang pernah singgah dibibirnya.

Untukmu

Wahai Penegar Hatiku

Semoga selalu ada dalam lindunganNya

Kak, Ingatkah perjalanan kita dahulu? Ingatkah kita saling memberi nasehat? Ingatkah kita saling memberi semangat? Ingatkah Eli cium tangan Kakak? Ingatkah kakak cium tangan Eli? Ingatkah tulisan terakhir kakak diatas putih kerudung Eli?

Kak, Tersenyumlah! Walau ketika Eli tuliskan ini, airmata menitik. Eli berusaha untuk kuat. Eli teringat nasehat-nasehat Kakak.

Kak, Mungkin inilah bukti dari do’a dalam tulisan Kakak. Kakak pernah berkata bahwa jika kita tidak bertemu maka Tuhan kita kuasa untuk membuat jelmaan kita.

Kak, Ketika orang tua Eli memutuskan untuk segera menikahkan Eli, Eli sempat shock. Eli masih terlalu berharap pada Kakak. Eli menangis membaca pesan terakhir kakak. Eli merasa kakak hadir menenangkan hati Eli.

Kak, Eli yakin, langkah Eli ini sangat direstui oleh Kakak. Eli tahu siapa dan bagaimana kakak. Eli sengaja mengembalikan photo Kakak, mengirimkan gambar kita berdua agar Eli bisa merasa tentram berbakti. Eli juga sengaja mengirimkan gambar Eli dengan Abang Najib, suami Eli. Eli yakin Kakak tidak akan salah memahami. Eli ingin kakak ikut bahagia melihat Eli telah menemukan jelmaan Kakak.

Kak, Cinta kita akan abadi. Cinta kita tidak butuh akad pernikahan. Cinta kita adalah cinta hati. Hati kita adalah hati cinta.

Kak, Do’akanlah! Suami Eli adalah lahan bakti Eli. Berilah kesemangatan untuk Eli. Berilah nasehat untuk Eli. Balaslah surat ini. Eli ingin dengar kabar kakak. Eli ingin dengar nasehat dan semangat kakak. Eli berdo’a

Semoga Kakak berhasil tuntaskan cinta cita dan gapai cita cinta.

Maafkanlah!

Pengagum pribadimu, Gadis lemah penuh dosa

Eli Mardliyyatulmaula

“Kamu memang gadis yang antik. Semoga aku bisa temukan pribadi itu walau bukan dalam dirimu.” Ujang melipat surat yang telah dibacanya lalu kembali termenung. Nafsunya ingin berontak, tapi hatinya lirih berbisik, semoga engkau menjadi istri salehah sehingga menjadikan suamimu orang yang saleh. Semoga suamimu adalah suami yang saleh sehingga bisa membawamu menjadi salehah.

Ujang beranjak mengambil alat tulisnya. diukirnya kata-kata terakhir untuk sang pesona hati.

Eli.. Al-hamdulillah Kakak dalam keadaan sentosa lahir bathin. Surat dari Eli Kakak terima setelah satu minggu disimpan oleh Abi. Saat itu Kakak baru tiba dari pesantren di Jawa Timur. Ya, Kakak sengaja tidak melanjutkan studi dengan jalur sekolah. Setelah tiga tahun disana, Kakak diperintahkan untuk pulang oleh guru Kakak, Romo Yai Arifin. Kakak di beri tugas untuk berguru pada seseorang yang ada di daerah Cianjur Sukabumi.

Dan setelah tiba dirumah, Abi menyodorkan surat yang katanya datang minggu kemarin.

Eli, ketika kakak membaca nama pengirim, Kakak merasa kaget. Setelah dibuka, kakak lebih kaget lagi. Namun Kakak yakin, Kamu adalah Eli yang sama seperti yang pernah Kakak kenal. Dan ternyata dugaan kakak tidak salah. Tersenyumlah, Eli! Pandanglah jauh kedepan! Berbaktilah pada suami! Dialah jalan surgamu. Tak usah kamu menengok masa lalu. Betapapun indah, betapapun penuh kenangan, hal itu tak akan berguna jika tidak menjadi pelajaran. Cinta kita cinta nasehat. Cinta kita cinta semangat. Cinta kita cinta hati. Hati kita hati cinta. Tak usah kau kotori denganperasaan setan. Bukankah itu komitmen kita dahulu?

Eli, Do’akanlah kakak! Perjalanan ini masih panjang dan sangat terjal. Dan, tak ada yang perlu kakak maafkan. Eli tidak salah langkah. Cinta kita abadi dan tidah butuh hal-hal lahir. Percayalah! Eli akan menemukan kebahagiaan.

Pengagum kecantikan lahir batinmu walau kau bukan untukku

Ujang Muhammad

Ujang melipat surat yang telah selesai ditulisnya, memasukkannya ke dalam amplop dan menyimpannya, lalu segera beranjak menuju pembaringan. “Besok perjalanan sesungguhnya akan dimulai, aku harus istirahat dulu,” Ujang bergumam sendiri lalu berusaha memejamkan kedua matanya.

LIMA BELAS

Kehidupan ini amatlah teratur, tertata penuh perhitungan. Kita manusia hanyalah mampu menjalani pengaturanNya. Tak ada yang mampu mengatur sedemikian cermat jika bukan Dia yang maha tahu, yang berkuasa, berkehendak, Sang Mudabbirb kehidupan, Allah subhaanahuuwata’aala yang sempurna dengan segala sifat kesempurnaan dan kesucian dari segala kekurangan.

Manusia hanya makhluk lemah yang tidak tahu mana yang ashlah bagi dirinya. Manusia hanya tahu secara lahir bahwa ini terbaik, baik atau kurang baik tanpa tahu mana yang lebih pantas dan layak baginya. Dari sinilah, mereka butuh tafwidl pada Dzat yang mengetahui segala. Manusia hanya bisa berdo’a semoga mendapat sesuatu yang terbaik sekaligus lebih layak tanpa mampu merobah dan memaksakan kehendakNya.

Ujang muda sudah bersiap untuk menunaikan amanat Romo. Satu motivasi dari abi yang ia simpan baik-baik dalam tekadnya, “ulah uih lamun teu acan kapendak, iwal ti aya parentah Romo. Abi yakin, engkin diperjalanan bakal aya hal-hal anu ngabantos kana tugas Ujang”.[94]

Letak daerah Cianjur Sukabumi telah dipelajarinya. Dia harus melewati tiga kota kabupaten, Majalengka, Sumedang dan Bandung. Abi menyarankan untuk menjelajahi daerah Cianjur terlebih dahulu.

Pagi itu, Ujang berangkat menuju tugas dari Romo, mencari orang yang asing di negeri asing. Satu perjalanan yang beresiko tinggi. Mungkin dia akan terlunta-lunta kehabisan bekal atau di palak preman-preman atu mungkin juga ia akan tak lagi diketahui dimana rimbanya.

Ibunya tak kuasa menahan tangis melepas anak semata wayangnya demi membayangkan semua kesulitan yang akan dialaminya. “Jang ulah hilap masihan kabar,”[95]ucapnya disela isak tangis. Ujang mengangguk. Air matanya yang sengaja ditahan pun memaksa keluar.

Setelah puas dipeluk dan diciumi Umi, Ujang berbalik menatap jalan yang terbentang menantang. Dengan tas ransel ukuran sedang dipunggungnya ia segera bertolak menuju terminal Rajagaluh untuk kemudian transit di Prapatan dan langsung menuju ‘Kota Kembang’.

Perjalanan ini merupakan tantangan tersendiri baginya yang belum pernah sekalipun menginjak daerah yang sekarang menjadi tempat tujuan. Ia menjadi sering bertanya pada penumpang yang kebetulan duduk disamping kursinya. Baginya ketika ini, Malu bertanya sesat dijalan harus digunakan sebaik-baiknya.

Perjalanannya menuju terminal Leuwipanjang akan memakan waktu kurang lebih tiga jam dengan menggunakan Bus Patas AC. Kemudian dari sini, masih sekitar dua jam lagi dia harus memanaskan pantatnya di jok bis untuk melanjutkan perjalanannya menuju terminal bus Rawabango Cianjur.

Dan dari terminal inilah, ia menduga segala keentahan akan menghantuinya. Mungkin ia harus bertanya pada setiap orang yang dijumpainya, Maaf, kenal Pak Kyai Purnama tidak? Dan jika ia bernasib baik, tiba-tiba saja ada orang yang mengaku tetangganya atau saudaranya atau bahkan anaknya sendiri yang bernama Kyai Bentang. Ah, aku bingung. Bagaimana nanti saja. Mudah-mudahan segalanya dimudahkan Allah, lirih Ujang berbisik pasrah bersama HIBA PUTRAnya yang melaju kencang.

“Aku harus sholat Dzuhur dulu,” pikir Ujang setelah tiba di terminal Rawabango lalu mencari musholla terminal.

Di musholla, tampak beberapa orang yang sedang sholat dan dua orang yang tengah tertidur. Ujang segera masuk dan meletakkan ranselnya. Dia terduduk memperhatikan suasana. Setelah agak lama, dia membuka ransel, mengambil kain sarung, koko putih dan peci istambulnya.

Kini, Ujang sudah berganti pakaian dengan basah air wudlu masih tersisa di dahinya. Ditariknya nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan konsentrasi, lalu Allahu akbar, ucapnya bertakbirotul ihrom membuka pintu keheningan bersama Tuhan.

Sementara itu, dari kejauhan terlihat seorang pemuda bergaya preman terus-menerus memperhatikan gerak-geriknya. Setelah Ujang mengucapkan salam penutup sholat, orang itu menghampirinya. “Mau kemana?” tanya si lelaki berambut gondrong dengan keramahan khas orang sunda priangan.

“Cianjur,” jawab Ujang singkat.

“Ya, Cianjur itu luas,” timpal Orang tak dikenal itu sambil membaringkan tubuhnya disamping Ujang.

“Sepertinya dia bukan orang baik-baik dan hendak bermaksud jahat padaku,” fikir Ujang menaruh curiga.

“Kenapa? Kamu curiga sama saya,” bentak si pemuda sambil melotot.

“Ti.. ti..tidak,” jawab Ujang gugup karena tak menyangka si pemuda akan membentaknya.

“Kamu,” ujar si pemuda dengan nada bicara yang diputus-putus persuku kata seraya bangkit duduk menghadapi Ujang, “bernama Ujang,” lanjutnya membuat Ujang tercengang “Asal kamu dari Rajagaluh Majalengka. Kamu sedang mendapat tugas dari Romo. Sekarang, kamu harus pergi ke Desa Cinangsi. Cari orang yang bernama Pak Karta. Dia akan menunjukkan dimana Kyai Purnama,” tutur si pemuda segera berlalu meninggalkan Ujang yang semakin bengong dalam ruangan heran.

“Dari mana dia tahu asal-usulku, tujuanku? Siapakah orang itu?” Ujang tersadar lalu bangkit mengejar. Sayang, orang itu telah menghilang.

Ujang kembali ke musholla, mengganti pakaian dan merapikan isi ranselnya sambil berusaha mengingat-ingat ucapan si pemuda tadi yang tak dikenalnya, Desa Cinangsi, Pak Karta.. Desa Cinangsi, Pak Karta.. Desa Cinangsi, Pak Karta...

Setelah merasa tak ada yang tertinggal, Ujang segera meneruskan perjalanan sesuai dengan apa yang ia anggap sebagai petunjuk yang diperolehnya tadi dari pemuda berambut gondrong.

Akhirnya, setelah lelah bertanya dan bertanya Ujang menemukan orang yang sedang dicari-carinya, Pak Karta.

“Benarkah orang ini yang disebut Pak Karta dan tahu tentang Kyai Purnama?” tanya hatinya sangsi melihat pemandangan dihadapannya hanyalah seorang yang sudah agak tua, bertubuh tinggi kurus dengan pakaian compang-camping penuh tambalan sedang membereskan sampah-sampah rongsokan di halaman depan gubuk reotnya.

Agak lama Ujang tertegun melihat keadaan ini hingga tiba-tiba satu pesan Romo terlintas dalam ingatannya, jangan pandang sisi hina dari seseorang, maka engkau bisa mengambil pelajaran darinya.

“Assalaamualaikum,” ucap Ujang setelah menepis segala keragu-raguan yang datang menyerang.

“Waalaikum,” jawab si orang tua itu ketus tanpa meninggalkan pekerjaannya.

“Pak, benarkah saya berhadapan dengan Bapak Karta?” tanya Ujang kemudian.

Orang tua itu tidak menjawab dan tetap asyik dengan pekerjaannya. Ujang tampak heran, mungkin dia tidak mengerti Bahasa Nasional, fikirnya. “Pak, leres ieu sareng Bapak Karta?”[96] sekali lagi ujang bertanya,kali ini dengan bahasa sunda. Namun si bapak tua tetap tak acuh.

Mungkin dia sedang mengujiku, Ujang bergumam dalam hati menahan kekesalannya. “Pak, saya Ujang”, ucapnya kemudian. “Saya dari Majalengka diperintahkan untuk datang kesini untuk menanyakan Kyai Purnama.”

Mendengar ini bapak tua menoleh lalu menatap wajah pemuda dihadapannya lekat-lekat. Dua pandang mata beradu. Inikah orang yang disebut-sebut bernama Ujang Muhammad?, tanya si bapak tua dalam hati, teringat pesan gurunya beberapa tahun silam. Berarti, tugasku akan segera berakhir, fikirnya. “Masuklah!” ucapnya kemudian memberi perintah. “Sholat asharlah dulu, matahari sebentar lagi terbenam.”

Ujang menurut lalu segera masuk ke gubuk tua. Di gubuk gedhek berlantai tanah, terlihat dua dipan dari bambu dan sumur disebelah belakang. Tak ada perabotan apapun kecuali dua buah piring dari seng dan satu buah gelas dari bambu yang tergeletak dibibir sumur.

Ujang segera mengambil air wudlu lalu berganti pakaian dan kemudian naik ke atas dipan dan berdiri takbirotulihrom. Hening.

Lima belas menit berselang, Bapak tua terlihat masuk dan menuju sumur lalu berwudlu dengan sangat sederhana namun sesuai aturan, kemudian ia menghadap kiblat sambil tengadahkan wajah dan kedua tangannya untuk berdoa, Asyhadu allaailaahaillallaah Waasyhadu Anna Muhammadarrouulullaah. Allahummaj’alnii minattawwaabiin. Waj’alnii minal mutathohhiriin. Waj’alnii min ‘ibaadikassholihiin.

Lalu, Bapak tua melangkah gontai menuju dipan yang ada di sebelah kiri dipan yang di tempati Ujang lalu naik dan duduk bersila dengan mata terpejam. Diam-diam, Ujang memperhatikannya yang terlihat berkomat-kamit, dengan penuh tanda tanya.

Setelah sekitar empat puluh menit suasana ruangan itu terasa sunyi, Pak Karta membuka kedua matanya, menatap ke arah Ujang yang sejak tadi hanya terdiam. “Kita sholat maghrib berjama’ah”, ucapnya sambil segera berdiri lalu ucapkan takbirotulihrom dan segera diikuti Ujang. Hening dan sunyi kembali.

Setelah selesai dengan segala ritualnya, Bapak tua turun dari atas dipannya dan melangkah menuju sumur. Diisinya gelas bambu dengan air lalu dibawa dan di suguhkannya kepada pemuda yang sejak tadi belum disapanya.

“Minumlah,” ucapnya dengan lembut disambut anggukan Ujang yang langsung meneguk habis air sumur segar untuk membasahi kerongkongannya yang sejak siang mengering.

“Dari mana kamu tahu Kyai Purnama?” tanya Pak Karta mengawali keramahan.

“Dari guru saya di jawa timur”.

“Siapa?”

“Romo Ahmad Arifin”

Mendengar ini, Pak Karta terdiam. “Mas Arifin,” bisiknya dalam hati mengiringi memoar yang kembali tergambar saat tujuh tahun bersama kakak satu gurunya untuk mengembangkan Pondok al-Muhib yang dirintis oleh Pak Pur, orang yang kini sedang dicari-cari pemuda di hadapannya.

“Kalau kamu sungguh-sungguh ingin bertemu Kyai Purnama, kamu harus sabar. Mulai sekarang kamu tinggal disini sampai ada perintah untuk pergi,” singkat Pak Karta menjelaskan.

Ujang hanya terdiam, padahal segudang pertanyaan menghantui fikirannya. Ya Allah, jangan sesatkan hambaMu, hatinya berdoa.

ENAM BELAS

Ujang termenung sendiri menikmati suasana malam yang begitu indah dengan purnama yang tersenyum sempurna menyapa bersama taburan redup bintang-bintang yang seakan malu akan kecantikan sang purnama.

Ditatapnya keindahan angkasa raya sambil sesekali melangkah perlahan mengitari gubuk tua, ditemani alunan musik dari orkestra binatang malam.

Dua minggu telah dilewatinya bersama arahan yang diberikan oleh Pak Karta. Ia harus berpuasa dan tidak boleh tidur dimalam hari. Ya Allah, berilah kekuatan agar aku bisa tunaikan amanat Romo, ucapnya manakala hatinya diliputi gundah dan bosan menjalankan hal yang belum difahaminya.

“Jang..” terdengar suara agak parau Pak Karta memanggil.

Ujang segera masuk, “Ada apa, Pak?”

“Duduklah!” ucap Pak Karta memberi perintah.

Ujang segera duduk bersila dihadapan pembimbingnya, sang pemulung.

“Dengar!” tegas Pak Karta berkata, “tugas kamu disini sudah selesai”, lanjutnya membuat tatapan Ujang terlihat berubah semangat. “Bersyukurlah pada Allah, karena pertemuanmu dengan Pak Kyai purnama semakin mendekat,” lanjut Pak Karta. “Besok, kamu segera pergi ke Kota Cipanas. Carilah Hotel Angkasa lalu tanyakan orang yang bernama Lintang. Dialah yang akan menemanimu selanjutnya.”

Penuh perhatian Ujang mendengarkan penjelasan Pak Karta. Namun, masih saja dia belum bisa memahami dan memecahkan keragu-raguannya. Logikanya yang telah terkontaminasi nafsu bergerak untuk berontak, aku tak mau melakukan sesuatu yang belum aku ketahui, pekiknya dan memaksa Ujang untuk kembali bertanya “Pak, selama ini saya mengikuti apa yang bapak sarankan. Sekali lagi, saya bertanya, Bapak ini siapa? Pak kyai Purnama itu siapa? Kenapa semuanya seperti di tutup-tutupi?”

Pak Karta tersenyum lalu menjawab singkat, “Jalanilah, maka kamu akan tahu.”

Ujang tak kuasa memaksa dan harus menderita rasa penasaran yang menjangkit dan menularkan kekecewaan.

“Sudahlah. Sekarang kamu jalani saja tugas yang biasa kamu jalankan”, hibur Pak Karta mengobati kekecewaan Ujang yang kemudian segera beranjak menuju sumur untuk mengambil air wudlu. Pak Karta kembali bersila dan asyik dengan putaran tasbehnya hingga ayam jantan terdengar bersahutan riang menyambut semangat fajar.

******

“Sekarang ini banyak orang yang berubah jadi macan yang siap menerkam. Banyak orang yang berubah jadi iblis yang selalu menggoda. Banyak orang yang jadi tikus dan menjijikkan”, ujar pak Karta sesaat sebelum Ujang berangkat. “Kamu jangan tertipu oleh keindahan baju”, lamjutnya. “Baju bisa berubah sesuai keinginan. Asahlah jiwamu sehingga mampu menjadi cermin untuk jiwa orang lain.”

“Terima kasih atas nasehat dan arahannya. Doakan agar saya bisa tunaikan tugas,” jawab Ujang setelah memahami betapa dalam apa yang diutarakan oleh gurunya ini.

Iringan doa pak karta menaungi perjalanan Ujang yang harus kembali berpetualang. Wajahnya yang tampak pucat, tubuh yang makin kurus tak ia perdulikan. Inilah jalanku, tekadnya.

Ketinggian derajat ibarat puncak gunung yang berdiri gagah menantang. Hanya orang-orang yang berani untuk mendakinya yang akan berdiri disana dan menancapkan bendera kebesaran. Keagungan tak berbeda dengan barang yang terpampang dengan label mahal. Hanya mereka yang mampu membayar yang akan memilikinya. Keagungan adalah permata indah yang terhalang kedalaman samudra dan keganasan ombaknya.

Ya, keagungan apapun, apalagi keagungan di mata Tuhan.

TUJUH BELAS

Senja mengajak manusia untuk mengendurkan ketegangan urat dan menyeka keringat. Pekerjaan siang hari yang menumpuk seakan terusir oleh kedatangannya. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi Hotel Angkasa yang seolah tak peduli pada rengekan senja. Tamu-tamu selalu datang silih berganti untuk menikmati suguhan nuansa religi yang menjadi merk tersendiri.

Semenjak berdiri sepuluh tahun silam, hotel ini terus mengalami perkembangan. Ini tak lepas dari tangan dingin sang direktur muda, Lintang Muhammad yang bukan hanya piawai mengatur manajemen lahir karena seluruh karyawannya terdidik untuk bekerja dengan kebersihan hati. Mas Lintang, begitu sang direktur akrab disapa adalah pemuda asli Surabaya yang terdampar di tanah pasundan oleh gelombang kehidupan.

“Halo! Maaf, Mas!”

“Ada apa, Sin?”

“Ada yang mencari Mas”

“Siapa?”

“Katanya saudaranya Mas”

“Ya udah. Suruh masuk keruang pribadi”

“Baik, Mas”, gadis berjilbab petugas penerima tamu itu meletakkan gagang teleponnya lalu kembali menemui tamu yang sudah menunggunya.

“Bagaimana? Bisa saya bertemu beliau?” tanya Ujang tak sabar untuk bertemu orang yang bernama Lintang.

“Mari ikut saya,” jawab gadis itu mengajak Ujang menuju ruang pribadi pimpinannya.

“Tok tok tok..”

“Masuk”, suara agak berat menyahut dari dalam ruangan.

“Assalamualikum, Mas” ucap Sinta lembut membuka pintu. “Ini orang yang ingin bertemu Mas”, lapornya kemudian segera pamit meninggalkan ruangan setelah diberi perintah oleh atasannya.

Ujang duduk berhadapan dengan orang yang tengah dicarinya.

“Apa kita pernah berjumpa sebelum ini?” sang direktur membuka percakapan dengan wajah penuh keramahan.

“Belum”, jawab Ujang singkat.

“Kalau boleh tahu, anda ini siapa dan ada perlu apa?”

“Maaf, pasti kedatangan saya mengganggu tugas-tugas Bapak”

“Ah, tidak, tidak. Tapi maaf, jangan panggil Bapak, panggil saja Mas Lintang, biar lebih enak,” ujar Lintang tersenyum akrab.

“Ya, Mas,” jawab Ujang bersimpati. “Nama saya Ujang. Lengkapnya Ujang Muhammad. Keperluan saya...”

“Sebentar...” potong Lintang mengingat-ingat nama yang disebutkan oleh pemuda di hadapannya. “Ujang, Ujang, apakah ini yang disebut-sebut oleh guruku sebagai calon murid terakhir dan akan menggantikan kedudukan beliau?” hati lintang bertanya-tanya.

“Mas, ada apa?” tanya Ujang heran melihat perubahan yang ditampakkan wajah orang dihadapannya.

“Kamu ujang Muhammad. Diperintahkan oleh Romo Ahmad Arifin untuk mencari Kyai Purnama,” Lintang coba menebak asal usul Ujang.

“Kok?” Ujang makin keheranan.

Lintang tersenyum. “Sekarang ikut saya. Nanti saya jelaskan” ujarnya kemudian lalu melangkah keluar diikuti Ujang.

Tiba diluar hotel, “Kamu tunggu disini. Saya ambil mobil dulu”, ucap Lintang yang dijawab anggukan pelan Ujang. Sebentar kemudian, datanglah sedan hitam. Ujang masuk dan duduk disamping Lintang, lalu sedan pun melaju.

“Kita mau kemana?” tanya Ujang coba memecah kebisuan.

“Ke rumah. Tapi kita mampir dulu, makan”, jawab Lintang menoleh kearah Ujang dan tersenyum.

“Boleh saya bertanya tentang masalah tadi?”

“Boleh”

Ujang tersenyum senang mendapat kesempatan untuk menghilangkan rasa penasarannya, “Saya ingin tahu mengenai sosok Pak Kyai Purnama”, ujarnya kemudian.

“Ya, itu kan sedang kamu jalani.”

“Maksud Mas?”

“Baiklah. Sekarang saya tanya, berapa lama kamu nyantri di pesantren Romo?”

“Sebentar. Cuma tiga tahun.”

“Hebat”

“Apanya yang hebat?”

“Dulu, saya mendapatkan tugas seperti itu setelah saya tujuh tahun mengaji pada beliau. Sedangkan kamu baru tiga tahun sudah dipercaya”.

“Saya tidak mengerti. Saya hanya tahu bahwa saya harus menjalankan tugas itu.”

“Ya, sama. Saya pun begitu. Saya baru mengerti setelah hampir lima tahun terombang-ambing dalam pencarian.”

“Boleh saya mengerti hal itu sekarang?”

“Ya. Itu tugas saya sekarang. Kamu tenang dan ikuti apa yang saya perintahkan. Disaat yang tepat nanti kamu akan mengerti semuanya.”

Sedan hitam itu berbelok masuk ke pelataran Restoran Sundawi. Dua orang yang baru bertemu namun tampak akrab turun dan memasuki restoran.

“Duduk, jang!” Lintang mempersilahkan lalu melangkah menuju para karyawan yang tampak berkumpul santai karena pengunjung tidak begitu ramai.

“Fa, buatkan dua porsi khusus,” ujar Lintang beri perintah.

“Siap, Bos” jawab gadis yang bernama Syifa sambil tersenyum. Syifa sudah bekerja selama tiga tahun di restoran ini. Dialah orang yang di anggap paling bisa mengerti selera Lintang, pemilik restoran ini. Lintang segera kembali menghampiri Ujang.

“Restoran ini milik Mas?” tanya Ujang memastikan melihat penghormatan dari karyawan yang terlihat berbeda.

“Begitulah. Restoran ini berdiri tujuh tahun lalu. Tiga tahun setelah saya merintis Hotel Angkasa.”

“Hebat”, puji Ujang pada pengusaha muda dihadapannya.

“Jang, inilah bentuk perintah dari Pak Kyai Purnama. Saya hanya menjalankan tugas dari beliau.”

“Boleh saya dengar perjalanan Anda dengan beliau?” tanya Ujang sengaja memancing keterangan.

Lintang tampak berfikir sejenak. “Baiklah”, ucapnya kemudian. “Saya ditemui Beliau hanya sepuluh menit. Saya diberi wejangan hidup dan tugas khusus.”

“Tugas apa, Mas?” tanya Ujang penasaran.

“Saya diperintahkan untuk tidak menikah sampai usia saya empat puluh tahun dan selama itu saya harus mengelola bisnis.”

“Sampai sekarang?”

“Ya, sampai sekarang saya masih membujang. Mereka yang tidak tahu mungkin akan menyangka bahwa saya tidak normal. Tapi, saya tidak peduli. Saya yakin dengan apa yang diperintahkan oleh beliau.”

“Sekarang usai Mas berapa?”

“Tiga puluh tujuh”

“Masih tiga tahun lagi?”

“Ya. Itu jatah untuk mengawal kamu.”

“Maksud Mas?”

“Saya diperintahkan untuk membimbing kamu menuju proses pertemuan dengan beliau”

“Jadi..”

“Ya. Sekarang kamu tinggal dengan saya. Ikuti apa yang saya perintahkan. Karena, apa yang saya perintahkan pada kamu adalah hasil perintah dari calon guru yang sedang kamu cari.”

Percakapan terhenti. Tiga orang karyawan membawa porsi khusus yang dipesan oleh bos mereka. Ujang tertegun melihat salah seorang pegawai yang membawakan pesanan, gadis berjilbab dengan seragam kerja berwarna biru yang dipadu dengan maksi hitam.

“Ayo” Lintang mempersilahkan.

Keduanya makan dengan lahap.

DELAPAN BELAS

“Abi, aya serat ti si Ujang.” [97] Sambil berlari masuk rumah, Emi berteriak memanggil suaminya yang tampak sedang berhadapan dengan kitab-kitabnya.

“Cobi diaos.” [98]

Emi membuka amplop surat dan membacanya.

Assalaamu’alaikum

Untuk Abi dan Umi tercinta

Semoga Abi, Umi dan semua keluarga dalam keadaan sehat dan tak kurang suatu apa.

Al-hamdulillah, Ujang dalam keadaan sehat. Sekarang Ujang tinggal bersama seorang pengusaha muda di Kota Cipanas. Beliau adalah orang hebat. Namanya Mas Lintang. Sekarang Mas Lintang ditugaskan oleh Pak Kyai Purnama untuk mendidik Ujang.

Abi, Umi, sebenarnya masih banyak yang ingin Ujang ceritakan. Tapi ujang berfikir, lebih baik nanti saja jika Ujang pulang dan berhasil tunaikan amanat Romo.

Abi, Umi, Ujang sertakan kartu nama Mas Lintang agar Abi dan Umi bisa mudah menghubungi Ujang.

Ujang cukupkan sekian.

Doakan selalu agar Ujang tabah menghadapi segala rintangan.

Anakmu

Ujang Muhammad

“Abi, naha si Ujang jadi ngahiji jeung pengusaha?” [99] Emi bertanya heran.

Suha sengaja tidak menjawab dan hanya menggeleng. Dibacanya kartu nama yang dikirimkan anaknya.

Suha termenung sejenak lalu beranjak menuju pesawat telepon yang baru seminggu terpasang. Ditekannya nomer yang tertera pada kartu nama.

“Halo. Assalaamu ‘alaikum..”

“Wa’alaikum salaam” terdengar jawaban suara seorang wanita separuh baya.

“Benarkah ini rumah Mas Lintang Muhammad?”

“Betul,Pak.”

“Bisa bicara dengan beliau?”

“Ya. Sebentar saya panggilkan dulu...”

Agak lama Suha menunggu. Dia mempersiapkan alat tulis yang mungkin dibutuhkannya.

“Halo”, suara penuh wibawa menyapa.

“Ya. Dengan Mas Lintang?”

“Betul. Siapa ini?”

“Saya Suha. Orang tuanya Ujang”

“Oh. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Begini,Mas. Saya baru dapat kabar bahwa Ujang tinggal bersama Anda. Apakah betul begitu?”

“Betul sekali. Tapi maaf, Pak. Saya tidak bisa bercerita banyak mengenai tugas yang yang sedang dijalani Ujang” ujar Lintang segera memotong alur pembicaraan..

“Tapi, Mas. Saya ayahnya.” Suha yang tampak kecewa coba menawar.

“Ya. Saya tahu itu. Mungkin untuk saat ini saya belum bisa menjelaskan. Tapi jika nanti ada hal yang memang berhubungan dengan bapak, saya akan menghubungi Bapak.” Lintang menjelaskan dengan tenang.

“Baiklah kalau begitu”

******

“Jang, sudah hampir satu tahun kamu tinggal bersama saya.” Lintang

membuka percakapan bersama pemuda yang sedang dibimbingnya.

“ya, Mas.” Ujang menjawab singkat. Kakinya berselonjor melepas rasa pegal setelah hampir dua jam bersila untuk melaksanakan kegiatan rutin yang harus dilakukan bersama pembimbingnya setelah berjam’ah sholat ‘isya.

“Kamu terlihat sangat akrab dengan Syifa”

“Ya, Mas. Cuma sebatas teman kerja.” Ujang coba menutupi. Tumben Mas Lintang menyentil kedekatanku dengan gadis belia yang bekerja di restoran Sundawinya, gumamnya dalam hati.

Kedekatannya dengan Syifa memang berjalan alami. Semenjak Ujang tinggal bersama Lintang, dia disuruh ikut bekerja di restoran tersebut. Hal ini menjadikan keduanya sering bertemu sehingga timbul kecocokan dan terjalinlah rasa satu sama lain.

“Kemarin malam Pak Kyai Purnama menemui saya,” ucap Lintang terlihat serius.

“Benarkah? Apakah saya bisa segera bertemu beliau?” tanya Ujang antusias sambil merubah posisi duduknya, bersila penuh perhatian.

“Ya. Tapi beliau memberi perintah yang saya rasa sangat berat,” Lintang menarik nafas.

“Perintah apa, Mas?” tanya ujang penasaran.

Lintang tidak segera menjawab. Dia merasa apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu yang amat membutuhkan kejernihan fikiran untuk bisa diterima. “Jang, perintah ini berkaitan dengan kita bertiga,” ujarnya kemudian mulai menjelaskan perintah sang guru.

“Maksudnya, Saya, Mas dan Syifa?” Ujang coba menebak.

“Ya. Kamu diperintahkan Pak Kyai untuk mendidik Syifa selama dua tahun dengan pelajaran yang kamu dapatkan dipesantren. Dan...” Lintang tak kuasa meneruskan ucapannya. Dia yakin Ujang akan terkejut manakala mendengar perintah yang kedua.

“Dan apa, Mas?”

“Setelah dua tahun kamu mendidik Syifa, umur saya genap empat puluh tahun.” Lintang terdiam membiarkan Ujang untuk membaca sendiri kemana arah pembicaraannya.

Ujang segera menangkap maksud pembimbing dihadapannya. “Lalu?” tanyanya pura-pura tidak mengerti.

“Saya diperintahkan untuk memperistri Syifa”, ucap Lintang dengan berat mengatakan perintah yang kedua.

Ujang berusaha menutupi kekagetannya. Namun, pandangan Lintang lebih tajam. Lintang mengerti perasaan anak muda dihadapannya. “Jang, ini memang berat. Saya tahu perasaan kamu pada Syifa. Saya juga tahu perasaannya pada kamu. Tapi..

“Tapi apa Mas?” buru Ujang

“Kita tidak kuasa menolak perintah ini.”

Ujang merasa tak mampu lagi berkata-kata. Benarkah ini ujian calon guruku, bisik nafsunya yang belum bisa menerima. Lama keduanya terdiam dengan renungan fikirannya masing-masing. “Mas,” ucap Ujang kemudian.

“Saya tahu ini berat. Tapi, saya akan berusaha untuk menjalankannya,” lanjutnya yakin.

Lintang tersenyum puas dengan sikap yang ditunjukkan Ujang. “Lakukanlah ini dengan kebersihan hati. Jangan pernah ada prasangka apapun. Hal itu hanya akan menghambat perjalanan kamu. Dan harus kamu tahu, semakin tinggi posisi kita, semakin kencanglah angin yang menerpa.” Lintang menutup percakapannya lalu beranjak menuju kamar tidur.

Ujang pun beranjak menuju kamarnya. “Ya Allah, kenapa harus begini. Haruskah aku membangkang. Syifa, kenapa kita harus saling suka jika akhirnya harus terpisah,” keluh nafsunya yang merasa telah terpukul dengan apa yang baru saja didengarnya. “Tidak,” sahut akalnya. “Aku harus tegar. Syifa bukan segalanya. Aku harus turuti perintah ini. Aku yakin ini adalah teguran untuk kesalahanku.”

Lantun basit mutanbbi

Menyentak diri yang terus berontak

Diri yang sedang lupa

Seakan siap menentang siapa saja

Bahkan Tuhan

Perlahan diri merenungi

Memang cita-cita dan rencana boleh di tata

Sekarang begini besok begitu

Tapi pastikah itu?

Kukidung ulang dalam cuaca mendung

Kembali ia meresap

Memang sadar takdir tak boleh pudar sertai diri mengejar ingin

Sadarku sedikit memulih

Ya angin seringkali tak bersetuju dengan arah perahu

Maka ingin pun tak selalu terlaksana

Kulangkah kaki tanpa goyah

Menata rencana

Hati kukuh berkata

Semua ketentuan telah tertinta

Langkahmu hanya jalani tugas semata

Berhasil atau nihil bukan urusan kita

Angin

Bertiuplah searah angan

Itu yang kuingin

Andai kau enggan

Kuarahkan angan searah inginmu dengan hati tetap dingin[100]

SEMBILAN BELAS

Hari-hari terus berjalan. Ujang menjalani tugas-tugasnya dengan penuh kesabaran. Pukul tujuh dia harus meluncur menuju restoran Sundawi. Dia menjadi Cleaning Service. Tugasnya khusus mengurusi musholla dan segala kebutuhan yang ada didalamnya agar para tamu yang datang merasa nyaman jika ingin melaksanakan kewajiban mereka.

Kini, tugasnya bertambah. Dia harus memberi pendidikan khusus pada calon istri pembimbingnya. Calon istri yang sudah sangat dekat dengan dirinya.

Syifa, gadis periang yang terpaksa bekerja saat usianya masih empat belas tahun karena kedua orang tuanya telah meninggal. Sementara, dua adik kecilnya harus ditopang agar bisa terus bersekolah.

Semua yang terjadi memang mengandung hikmah. Ia bisa belajar menyadari keterbatasan diri. Tak ada segan untuk bertanya dan belajar. Tak ada gunanya mengeluh, tak merubah keadaan.

Pertemuannya dengan Ujang ibarat air yang menyiram kering tenggorokan. Syifa merasa bahwa Ujang bukan hanya rekan kerja. Dia adalah guru yang menjadi tempat bertanya, teman yang bisa diajak bercanda, sahabat yang bisa dijadikan sandaran pengaduan. Hal ini menjadikan mereka kian dekat.

Seperti biasa, Syifa akan datang ke musholla restoran saat jam istirahat kerjanya dengan membawa buku catatan utnuk menuliskan pelajaran yang disampaikan Ujang.

Mungkin hanya restoran inilah yang didalamnya bukan hanya menjadi tempat bekerja bagi para karyawannya tapi sekaligus tempat untuk mendapatkan ilmu. Memang, inilah yang diperintahkan oleh Pak Kyai Purnama pada Lintang.

“Assalaamu’alikum” ucap Syifa melangkah masuk ke musholla.

“Wa’alaikum salaam” jawab Ujang yang sudah tampak menunggu.

Syifa duduk agak jauh dihadapan Ujang. Pulpen telah dipegangnya untuk segera menuliskan apa yang disampaikan pemuda yang diam-diam telah mencuri simpatinya. Sementara, lalu lalang karyawan tampak terlihat dari musholla yang sengaja dibuat dengan dinding kaca.

“Fa, sudah siap?” Ujang bertanya untuk mulai dengan pelajaran-pelajarannya.

“Siap, Pak guru,” jawab Syifa tersenyum.

“Tulislah!” Ujang beri perintah. “Ada tiga hal yang harus ditata oleh pribadi setiap Muslim dan Muslimah. Satu, masalah aqidah atau biasa disebut masalah ketuhanan. Dua, masalah perilaku lahiriyah. Tiga, perilaku batiniyah.” Ujang terhenti sejenak menunggu syifa selesai menulis. “Masalah akidah,” lanjutnya harus ditata agar kita tidak salah menyembah, tidak salah dalam mempersepsikan Allah yang kita sembah, tahu akan kedudukan para Nabi Dan Rosul”, kembali Ujang berhenti. “Masalah perilaku lahiriyah harus ditata agar kita bisa mengabdi sesuai tuntunan yang telah digariskan. Sedangkan masalah batiniyah harus ditata agar kita bisa menjaga hal hal yang dapat merusak nilai pengabdian lahiriyah.”

“Kang,” ucap Syifa mulai bertanya usai rampung menuliskan apa yang didiktekan gurunya, “berarti kita harus belajar ilmu yang mempelajari ketiga hal ini?”

“Betul.” jawab Ujang, “dan ketiga ilmu itu adalah tauhid, fikih dan tashawwuf ”.

*****

“Fa, ada yang harus kita bicarakan.” Ujang terlihat serius.

“Serius? Tentang apa?”

“Kita dan Mas Lintang”

“Mas Lintang?” tanya Syifa heran.

Ujang tidak segera menjawab. Apakah aku harus berterus terang sekarang? Jika tak sekarang kapan lagi? Apakah ia siap mendengarnya sekarang? Atau apakah ia takkan pernah siap untuk mendengarnya, fikirannya berkecamuk. “Fa,” ucapnya kemudian memaksa diri untuk bicara, “kita harus membuang jauh-jauh perasaan yang ada diantara kita.”

“Maksud kamu apa sih?”

“Kita telah berbuat kesalahan”.

“Kesalahan bagaimana?”

“Mas Lintang menyampaikan dua perintah dari gurunya. Satu untuk saya dan kamu. Satu lagi untuk kamu dan Mas lintang”

“Perintah? Guru? Ah, aku tak mengerti...”

“Fa,” ujang coba menjelaskan dengan lembut walau gadis dihadapannya mulai bicara dengan nada tinggi. “Saya dan Mas Lintang adalah murid-murid Kyai Purnama. saya diperintahkan untuk mendidik kamu dan ini sedang kita jalani.”

“Lalu apa hubungannya dengan Mas Lintang?”

“Sebentar lagi usia Mas Lintang genap empat puluh dan Kyai Purnama menyuruhnya untuk menikah di usia itu”.

Syifa terdiam menduga-duga kemana arah pembicaran pemuda yang terlanjur dicintainya. Aku akan diperistri oleh Mas Lintang, terkanya dalam hati .

“Kamu faham kan?” tanya Ujang enggan mengutarakan secara langsung.

“Tapi, bukankah kita..”

“Ya, Saya tahu itu”, sela Ujang. “Saya mengerti perasaan kamu. Tapi, kami bredua tidak bisa mengelak. Aku dan Mas Lintang sudah bisa menerima dan mengerti. Sekarang, kamu pun harus bisa mengerti akan hal ini.”

Syifa berfikir keras. Ditelaahnya siapa dan bagaimana keadaan dirinya, Mas Lintang, dan Ujang. Aku hanya gadis miskin yang tak beribu bapak dan harus menjadi penopang kedua adikku. Sementara Mas Lintang adalah orang yang telah sangat berjasa dalam kehidupanku. Mas Lintanglah yang mengajakku untuk bangkit ketika ayah meninggal dalam kecelakaan. Mas Lintanglah yang menanggung beban kedua adikku untuk bersekolah. Dan Kang Ujang, rasa simpati dan cintaku sudah hampir habis tercurahkan untuk orang yang selalu setia dengan pesan-pesan yang penuh pelajaran kepadaku. “Kak,” ucap Syifa kemudian. “Sebaiknya kita tunda dulu permasalahan ini”.

DUA PULUH

Cuaca cerah semakin mendukung keramaian malam minggu Kota Cipanas. Pasangan muda-mudi terlihat duduk-duduk mesra disepanjang taman kota. Di sebelah barat, dua orang lelaki sedang serius berbincang.

“Jang , Kamu tahu kenapa saya ajak kemari?”

“Tidak” .

“Ada beberapa pelajaran yang harus kamu terima ditempat ini”.

“Pelajaran apa, Mas?”

“Nanti. Sekarang kita bicara yang lain dulu”.

“Terserah, Mas. Saya ikut saja.”

“Sekarang Syifa bagaimana?” Lintang mulai mengalihkan pembicaraan.

“Perkembangan belajarnya lumayan. Baca Al-qur’annya sudah lancar. Praktek Ibadah sehari-hari sudah saya teliti dan sudah sesuai dengan aturan. Cuma..” Ujang yang sudah mulai melupakan rasa cintanya pada gadis menghentikan ucapannya.

“Cuma apa, Jang?” tanya lintang halus.

“Jiwanya belum siap menerima perintah Pak Kyai Purnama.”

Lintang terdiam, “Tidak apa-apa,” ucapnya kemudian. “Hal itu perlu proses. Saya yakin dia pun akan bisa mengerti.”

“Ya, Mas. Saya juga yakin. Mungkin untuk saat ini, Syifa masih bimbang. Dia takut menyakiti perasaan saya.”

“Kamu tenang saja. Masih ada satu bulan untuk bisa meyakinkannya. Bila perlu, kita bicarakan ini bersama.”

Sejenak keduanya terdiam. Lintang menyulut sebatang rokok lalu berujar, “Jang, Ada yang harus kamu tahu dan kamu latih mulai saat ini.” Ujang mulai memasang telinga untuk mendengarkan pelajaran dari pembimbingnya. “Kesabaran,” Lintang berhenti sejenak lalu teruskan uraiannya. “Sabar dalam tiga hal. Satu, dalam menghadapi musibah. Dua, dalam melakukan beratnya ketaatan. Tiga, dalam meninggalkan asyiknya kedurhakaan.”

“Cara melatihnya?”

“Ketika musibah menimpa, segeralah ingat siapa yang ada dibalik musibah tersebut. Ketika kamu sedang atau akan melakukan ketaatan, segeralah ingat bahwa ini adalah kesempatan terakhir kamu berbuat baik. Ketika kamu sedang atau hendak bermaksiat, segeralah ingat bahwa kematian bisa saja menjemput saat kamu melakukannya.”

Ujang coba memahami ucapan pembimbingnya. “Mudah-mudahan saya bisa melakukannya, Mas.”

“Ya, Amin.”

Malam semakin larut mengiringi keakraban keduanya. Rasa kantuk memaksa mereka untuk segera beranjak dari tempat itu. Persahabatan yang diridoi Allah hanyalah persahabatan yang mengantarkan pemiliknya menjadi tahu akan keagungan dan kekuasaanNya sehingga sadar akan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan.

DUA PULUH SATU

Hari itu benar-benar milik Lintang Dan Syifa. Ucapan selamat dari para tamu datang silih berganti. Senyum dan tawa menghiasi seluruh ruang dan waktu dari acara resepsi pernikahan yang dibuat sangat sederhana. hanya diisi oleh acara pembacaan Qosidah Burdah dan marhaban yang diiringi oleh tabuhan terbang dari grup al-Banjari.

Namun, siapa sangka dibalik kebahagiaan ini tersimpan pengorbanan yang harus dilakukan demi tercapainya sebuah harapan. Lintang, sang mempelai pria harus rela menjadi benalu bagi dua orang yang saling mencinta, Ujang dan Syifa. Sementara, Syifa harus rela bersanding dengan pendamping yang belum bisa dicintainya demi cita-cita yang sedang dikejar oleh sang pujaan, Ujang yang harus rela melepaskannya demi mengejar awan.

Resepsi telah usai, tamu undangan telah tampak sepi, pasangan pengantin pun telah memasuki ruangan penuh bunga-bunga harum yang menarik untuk dicium, telah berdiri diantara telaga madu dan telaga susu. Tapi, Syifa tampak termenung, ia seakan ragu untuk mencium bunga-bunga, enggan untuk menceburkan diri ke salah satu telaga madu atau susu.

“Fa, kamu sedih dengan pernikahan ini?” tanya Lintang lembut mengerti apa yang dirasakan gadis yang kini telah resmi menjadi istrinya.

“Mas, saya bahagia. Tapi, saya masih takut...”

“Menyakiti hati Ujang?” potong Lintang menerka.

“Ya. Ia terlalu baik untuk tersakiti”

“Kemarilah!” ajak Lintang lalu memeluk dan menenangkannya “Ujang sudah menyadari akan keadaan ini.”.

Syifa menangis dipelukan suaminya.

“Percayalah..” kembali Lintang berkata menenangkan. “Coba kamu lihat apa isi kado yang di berikannya pada kita,” lanjutnya melepaskan pelukan.

Syifa beranjak mengambil bungkusan yang tertera nama kekasihnya yang hilang.

“Bukalah,” ucap Lintang.

Syifa segera membuka bungkus kado ditangannya. “Mas, dua mushaf terjemah dan ada dua surat,” ujar Syifa lalu menyerahkannya pada Lintang.

“Ini untuk saya. Ini untuk kamu,” ujar Lintang seraya memberikan kembali satu mushaf dan suratnya.

“Kita baca, Mas.”

“Ya,” jawab Lintang singkat dan membuka surat untuknya

Teruntuk Pembimbingku

Lintang Muhammad

Selamat mengarungi laut biru

Mas, ketika saya menulis ini, saya tersenyum melihat aturanNya yang tak bisa disangkal.

Al-hamdulillah. Mas telah berhasil menunaikan apa yang ditugaskan oleh Pak Kyai Purnama.

Saya percaya dan yakin orang yang mentaati perintah gurunya adalah orang yang berbahagia. Keberkahan akan menyertai kehidupan yang dijalani.

Mas, tak ada pesan apapun dari saya karena saya tahu andalah orang yang telah penuh dengan pesan. Saya hanya bisa berharap semoga kita semua bisa mendapatkan keridloanNya.

Lintang mengakhiri bacaan suratnya dan tersenyum puas dengan apa yang Ujang sampaikan. Lalu, ia menatap Syifa yang sejak tadi terdiam mendengarkan apa yang di bacakannya. “Sekarang, bacakan suratnya untuk kamu,” ucapnya kemudian.

Syifa mengangguk lalu membuka surat yang ada ditangannya dan membacakannya.

Teruntuk

Obat Hatiku

Syifa Janani

SELAMAT MENGARUNGI LAUT BIRU

Syifa, andai kamu tahu apa yang kurasakan saat hendak tuliskan ini, kamu pasti akan membantuku untuk segera menyiramkan air pada kobaran api yang menjilat nafsu. Tapi, untunglah aqalku sudah penuh dengan air sehingga aku tak perlu berteriak memanggilmu.

Syifa, mungkin ini pelajaran terakhir yang tersampaikan lewat lisanku. Setelah ini, kamu akan belajar pada orang yang penuh dengan ilmu dan amal, orang yang punya hati bersinar. Dialah yang telah menjadi pendamping hidupmu.

Syifa, bersyukurlah! Allah telah memberikan yang terbaik.

Berbaktilah! Berbaktilah pada Mas Lintang. Jika kamu telah lakukan ini maka kamu telah benar-benar menjadi obat hati. Obat hatiku dan hati suamimu.

Air mata Syifa menitik, terharu dengan sikap yang ditunjukkan oleh orang yang belum bisa terlupakan dari dalam perasaannya. “Bagaimana, sekarang kamu yakin?” tanya Lintang mengusap airmata yang mengalir pada putih pipi istrinya.

“Ya, Mas.” Jawab syifa sambil mendekatkan tubuhnya lalu berucap lirih, “Mas, ajari aku cara berbakti.”

Lintang mengangguk sambil tersenyum lalu keduanya pun hanyut dalam kebahagiaan.

Manusia punya hasrat untuk memenuhi segala kebutuhannya. Tuhan tidak pernah melarang hal itu. Dia hanya menjelaskan aturan agar hasrat tersebut tidak menjadikannya kehilangan kemuliaan sebagai manusia.

DUA PULUH DUA

Ruangan yang cukup besar ini adalah tempat berkumpul dan bermain bagi mereka yang sudah bisa menahan diri dan tidak mengamuk. Ada yang hanya duduk duduk sambil tersenyum-senyum bernyanyi, ada orang yang hanya mondar-mandir tidak karuan, ada yang tampak sedang bercakap-cakap sendiri sambil tertawa, ada yang sedang berurusan dengan perawat karena dilarang untuk mencoret-coret tembok.

Inilah suasana yang ada dilantai kedua rumah seorang Psikiater dengan pengalaman yang sudah tidak diragukan. Sementara, dilantai bawah terdapat ruangan-ruangan tertutup ketat yang dikhususkan untuk pasien baru yang masih labil. Mereka akan dikurung dan diikat sehingga mereka bisa berfikir tenang.

Sedangkan lantai ketiga rumah yang lebih layak disebut Rumah Sakit itu ditempati pasien yang sudah pada tahap penyempurnaan dan persiapan untuk kembali pulang. Dilantai teratas, lantai keempat ditempati oleh keluarga beserta perawat-perawat yang menginap sesuai jadwal yang telah ditentukan.

Dokter Nur Fuad Salim, seorang Psikiater yang menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan dan perawatan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Sang Dokter yang biasa dipanggil dengan sebutan Dokter Fuad adalah seorang yang amat mengerti akan kondisi batin dan jiwa seseorang.

Dia adalah seorang Dokter sekaligus ahli agama. Ketika usianya menginjak limapuluh tahun, Kyai Purnama memberikan tugas untuk merintis sebuah tempat yang dikhususkan untuk mereka yang mengalami gangguan mental. Tugas ini langsung bersambut. Dokter Fuad yang dibantu rekan-rekannya berhasil mendirikan tempat itu ditanah rumahnya sendiri.

Perjalanan panjang spiritual terkadang menjadi terhambat oleh ketidaksiapan kejiwaan si pelaku. Disinilah peran Dokter Fuad diuji. Dia harus membangun kembali mental dan jiwa yang rapuh untuk segera mampu bangkit dan meneruskan perjalanan.

“Dokter, ada satu hal yang harus aku sampaikan pada Anda” tutur Kyai Purnama yang rutin mengunjunginya dua bulan sekali.

“Tentang apa, Pak?” tanyanya dengan sapaan akrab gurunya.

“Tentang seseorang yang harus kamu didik”

“Maksud Pak Pur ditempat ini?”

“Betul”

“Siapa?”

“Seorang anak muda istimewa. Dialah murid terakhir yang akan aku bimbing dan dia pula yang akan menggantikan posisiku. Namanya Ujang Muhammad. Sekarang dia masih berada di Cipanas bersama Lintang”

“Kapan dia akan kemari?”

“Tunggu saja”

“Baik, Pak”.

Percakapan keduanya berlanjut hingga dinihari. Pak Kyai Purnama memberikan banyak pelajaran pada sang dokter.

Ucapan-ucapan apapun takkan berarti jika tidak menjadikan dan menumbuhkan semangat mengabdi kepada Yang Abadi. Pengabdian sejati takkan mudah terlaksana jika hati masih menjadi sarang dan rumah bagi selainNya.

Hati akan terus terombang ambing jika masih terjerat oleh musuh-musuh yang selalu siap dengan berbagai siasat. Kematangan jiwa merupakan proses dan perjalanan panjang yang sulit untuk ditempuh. Siapapun yang telah memahami kejiwaannya maka dia akan mengerti Sang pengatur setiap jiwa.

DUA PULUH TIGA

Dua bulan berlalu. Usia perkawinan yang masih sangat muda tidak menjadikan saling pengertian antara Lintang dan Syifa terhambat. Pijakan agama yang dibangun menjadi modal dan ukuran untuk saling mencerminkan kepribadian masing-masing. Rumah Lintang menjadi lebih hangat dengan kehadiran seorang wanita yang bisa diajak berkomunikasi dari hati ke hati.

Ujang yang tetap tinggal dirumah itu tidak menjadi rikuh dan canggung dengan kehadiran orang yang pernah dicintainya. Syifa telah dengan begitu mudah melupakan kenangan indah yang memang sudah tidak layak untuk jadi bahan ingatan. Lintang pun tidak pernah merasa curiga atau takut akan kemunculan kembali rasa yang pernah ada diantara keduanya.

Hari itu, wajah yang biasanya cerah seolah tertutup awan hitam. Lintang mengendarai mobilnya menuju Restoran Sundawi, tempat Ujang bekerja. Fikirannya diliputi rasa cemas dan khawatir pemuda yang sedang dalam bimbingannya itu akan oleng mendengar kabar yang sedang dibawanya.

Sedan hitamnya berbelok cepat memasuki pelataran restoran. Lintang segera turun dan melangkah menuju musholla yang ada di bagian belakang restoran. Tampak Ujang sedang membaca Al-qur-an setelah baru saja menyelesaikan tugasnya membersihkan tempat berwudlu.

“Jang, ikut saya”, ujar Lintang tampak serius. Ujang segera menyudahi bacaannya lalu melangkah di belakang gurunya.

“Ada apa, Mas?” tanya Ujang heran melihat wajah pembimbingnya yang tampak kurang bergairah.

“Nanti saya ceritakan”, jawab Lintang sambil terus melangkah menuju sedan hitamnya.

Perjalanan keduanya tampak menegangkan. Ujang tidak berani mengeluarkan pertanyaan apapun dan hanya menunggu apa yang akan disampaikan kepadanya. Sementara, Lintang berfikir bagaimana agar berita ini tidak menjadikan Ujang panik. Perintah sang guru telah turun, Ujang tidak boleh pulang. Sementara....

“Jang, Kamu harus sabar” Lintang mulai berbicara.

“Mas, ada apa? Kelihatannya ada yang kurang enak”

“Tadi ada telpon dari keluarga kamu,” Lintang menarik nafas. “Mereka memberi kabar bahwa...” Lintang tak kuasa meneruskan ucapannya.

“Bahwa apa, Mas?” Ujang makin penasaran.

Lintang diam. Matanya memandang kedepan. Jalanan yang tidak begitu ramai mempermudah perjalanan menuju rumahnya.

“Kamu janji, ya?”

“Janji?”

“Kamu tidak akan pulang. Dan..”

“Mas, sebenarnya ada apa. Tak usah ditutupi. Ada apa dengan saya?”

Lintang membelokkan kemudi sedan hitamnya memasuki halaman rumah. Tampak Pak Karjo tergopoh-gopoh membukakan garasi untuk majikannya.

“Mas, ada apa?” kembali ujang bertanya sambil melangkah membuntuti Lintang memasuki rumah.

“Kamu duduk dulu!” Lintang memberi perintah lalu melangkah masuk menemui istrinya.

“Fa, ambilkan segelas air hangat” ucap Lintang pada Syifa yang segera melangkah kedapur tanpa banyak bertanya.

Sebentar kemudian dia kembali dengan segelas air hangat yang diminta. “Mas, ada apa?” tanya Syifa penasaran melihat suaminya pulang cepat dengan wajah muram.

“Nanti. Sekarang kita kedepan. Ujang sudah menunggu”.

Keduanya melangkah ke ruang depan. Terlihat Ujang sedang tertunduk. “Jang, diminum dulu”, tegur Lintang seraya memberikan gelas jangkung ditangannya.

Ujang segera meneguknya habis. “Ada apa, Mas?” tanyanya kemudian dengan nada lemah.

Lintang menarik nafas panjang. “Jang,” ucapnya pelan, “ayah dan ibumu kecelakaan”.

“Umi dan Abi..”

“Ya, beliau berdua meninggal”

“Abi... Umi...”, kali ini Ujang tidak mampu menguasai diri, berteriak histeris lalu terkulai tak sadarkan diri. Lintang segera mengangkatnya ke kemar dengan dibantu Pak Karjo. Syifa yang tahu dan pernah merasakan bagaimana beratnya beban ketika kehilangan kedua orang tua tak kuasa menahan tangis.

Ujang terbaring lemas tanpa kesadaran diatas ranjang kamarnya. Lintang duduk terdiam memandangi pemuda bimbingannya. Sesekali dia keluar kamar menghilangkan rasa kasihan dan iba manakala bibir pemuda itu mengigau dengan memanggil ayah ibunya.

*****

“Umi..” Ujang berteriak keras saat siuman setelah satu jam tak sadarkan diri. Lintang dan Syifa segera menghampirinya, “Jang, Kamu sudah sadar?” Lintang mengusap wajah Ujang yang berkeringat.

Umi, Umi, Abi, Abi, dua kata inilah yang terus terlontar dari bibir Ujang dalam tatapan kosongnya.

“Jang,” tegur Lintang, “pandanglah wajah saya.”

Ujang tak acuh. Bibirnya terus mengucapkan kalimat yang sama dan tidak mengalihkan pandangannya.

“Mas, coba saya yang membujuk” Syifa berbisik pada suaminya. Lintang mengangguk lalu sengaja segera keluar kamar memberikan kesempatan pada istrinya untuk menyadarkan orang yang pernah menjadi bagian kehidupannya..

“Kak Ujang, Sadar, Kak..” Syifa mulai coba menyadarkan Ujang.

“Semua sudah tertata. Kita hanya bisa menerima dengan sukacita. Simpanlah air mata jika bukan dihadapan Tuhan semata. Percuma kita mengeluh pada sesama, bersedih tidaklah berguna,” Syifa mengucapkan beberapa kalimat yang pernah diucapkan Ujang ketika mengajarnya.

“Fa, Mas Lintang mana?” tanya Ujang lemah mulai tersadar kembali.

“Ada”, jawab Syifa sambil tersenyum lalu segera melangkah keluar memanggil suaminya.

“Mas, Saya harus pulang” Ujang memelas pada pembimbingnya yang datang menghampir.

“Ya. Tapi kamu harus kuat dulu” Lintang coba memberi ketenangan.

“Tidak, Mas. Saya harus pulang sekarang”, Ujang memaksa dan bangkit dari pembaringannya lalu mengambil tas dan mengemasi barang-barang miliknya.

“Jang, Kamu tidak diperbolehkan pulang”, Lintang mencoba kembali mengingatkan pesan sang guru.

“Saya harus pulang,Mas. Mungkin saya tidak layak menjadi murid Pak Kyai Purnama..”

Lintang dan Syifa tidak mampu menahan keinginan Ujang. Pemuda itu menyalami dan memeluk Lintang, orang yang telah banyak memberi pelajaran kepadanya. Keduanya menangis. Ujang menangis sedih karena harus kehilangan orang tua. Sementara, Lintang menangis karena tahu pembangkangan Ujang akan berakibat fatal bagi dirinya.

“Hati-hati” ucap Lintang seraya melepas pelukan Ujang.

“Terimakasih Mas telah mau membimbing saya.” Ujang beralih memandang Syifa. “Fa, doakan saya”, ucapnya lalu segera membalikkan tubuh dan melangkah pulang.

Lintang hanya memandangi langkah gontai pemuda yang telah lebih dari tiga tahun tinggal di bawah asuhannya.

“Mas, kenapa tidak diantar saja?” tanya Syifa merasa tak tega.

“Saya tidak berani ambil resiko. Pak Kyai memerintahkannya untuk tidak pulang,” jawab Lintang menjelaskan lalu melangkah masuk dengan wajah yang penuh kesedihan.

Aturan dan kehendak Allah tidak bisa di tolak. Dialah yang berkuasa mutlak atas apa yang diinginkanNya.

Semua makhluk hanya bisa menerima dan ridlo akan apa yang terputuskan. Dia mengancam siapapun yang tidak menerima keputusanNya untuk keluar dari atas bumiNya dan mencari Tuhan selainNya.

DUA PULUH EMPAT

Semua orang mempunyai masalah. Besar dan kecilnya tergantung bagaimana masalah tersebut disikapi. Kita tidak perlu melarikan diri. Hal itu hanya akan mendatangkan masalah baru. Hadapilah semua masalah dengan penuh ketenangan. Yakinlah, setelah malam berlalu sang fajar akan segera muncul. Setelah gelap merasa bosan dia akan segera melangkahkan kaki untuk pergi. Setelah kesulitan akan ada kemudahan. Dibalik setiap masalah tersimpan banyak hikmah.

Pagi itu, dipojok rumah yang sudah tampak tidak terawat, terlihat seorang anak muda dengan kaos hitam dan celana jeans biru serta rambut gimbal acak-acakan sedang duduk termenung.

Tiga bulan berlalu semenjak kematian ayah ibunya yang benar-benar menjadi satu pukulan dahsyat yang mengguncang jiwa. Ujang, pemuda dengan segudang prestasi itu kini dianggap tak lebih dari orang yang perlu untuk dikasihani. Dia seperti telah menjadi bisu. Mulutnya selalu bungkam. Bahkan, dia tak segan untuk mengamuk ketika merasa dipaksa untuk berbicara.

Semua keluarga baik dari ayah ataupun ibunya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa berdoa semoga Ujang bisa segera tersadar dan bangkit dari kesedihannya.

“Jang, emam heula”[101] ucap suara halus seorang perempuan menyuruhnya makan.

Ujang menoleh. Terlihat bibinya membawakan sepiring nasi dan lauknya serta segelas air putih. Setiap pagi adik ketiga ibunya itu selalu datang membawakan sarapan untuknya lalu segera beranjak pergi karena takut dirinya akan mengamuk dengan menumpahkan makanan yang dibawanya jika sengaja berlama-lama.

Apakah yang sedang terjadi pada pemuda ini? Gilakah dia? Perjalanan spiritual yang tengah ditempuhnya sedang mengalami grafik ketidakstabilan. Aqal sehatnya tidak hilang. Dia masih menyadari bahwa apa yang sedang diperbuatnya telah menimbulkan keresahan keluarga. Cuma, dirinya seolah tidak berdaya untuk tidak melakukan hal itu.

Ujang masih tetap yang dulu. Dia sadar bahwa dirinya masih mempunyai tugas yang belum tertunaikan. Ingatan akan Mas Lintang yang telah melarangnya untuk pulang dan menjelaskan resiko pembangkangan masih terasa segar.

Kini, dia selalu mengurung dirinya dikamar meratapi kepergian abi dan umi. Tak guna lagi aku mencari ilmu. Orang-orang tercintaku telah pergi. Inikah yang dikatakan Mas Lintang sebagi akibat dari tak mentaati perintah. Aku menjadi lemah jiwa, tak kuasa bangkit dari lembah kesedihan yang mendera walaupun tahu bahwa kesedihan tak pernah berguna.

********

“Mas, sudah lebih tiga bulan kita tidak mendengar kabar Kak Ujang”, ucap Syifa pada suaminya menjelang tidur.

“Ya. Hukumannya tinggal satu minggu lagi,” timpal Lintang sedikit menjelaskan apa yang selama ini ia simpan.

“Hukuman?” Syifa terkejut mendengar kata hukuman yang diutarakan suaminya.

“Ujang sedang menjalani proses itu atas pembangkangan yang dia lakukan”.

“Mas, saya makin tidak mengerti”

“Fa, Pak Kyai Purnama adalah guru saya dan calon guru Ujang. Beliau selalu memantau gerak-gerik kami. Ketika orang tua Ujang meninggal, beliau memerintahkan Ujang agar tidak pulang.Tapi, dia tetap memaksa. Itulah satu pembangkangan atas apa yang beliau perintahkan. Hal itulah yang akan mengakibatkan resiko yang amat fatal sebagai bentuk hukuman atas keberaniannya.”

“Hukuman apa?”

“Tergantung”

“Kak Ujang?”

“Dia sedang dianggap menjadi orang gila”

“Hah?” Syifa benar-benar terkejut.

“Tenanglah,” ucap Lintang. “Hukuman itu akan segera berakhir. Minggu depan, saya akan mengambilnya. Dia akan kembali pulih.”

Sejenak keduanya terdiam. Syifa berfikir keras dalam ruang penasaran yang selama ini belum terungkap. Selama ini, suaminya sering menyebut dan mengaitkan apapun yang dilakukannya sebagai bentuk mentaati perintah sang guru. Tapi, belum pernah sekalipun dia bertemu dan tahu kapan sang guru tersebut menemui suaminya.

“Mas, kalau boleh tahu,” Syifa memberanikan diri untuk bertanya. “Siapa sebenarnya orang yang disebut Kyai Purnama itu?”

Lintang menghela nafasnya, “Fa, belum saatnya kamu mengerti tentang beliau” jawabnya kemudian.

Syifa tidak berani untuk bertanya lagi tentang hal ini karena tahu suaminya akan berterus terang tentang apapun tanpa diminta jika memang layak untuk dijelaskan.

“Fa, perut kamu semakin kelihatan membesar,” ujar Lintang mengalihkan pembicaraan sambil mengusap perut istrinya yang sudah menginjak bulan keempat masa kehamilan.

“Ya, Mas. Kita akan segera punya bayi”, sambung Syifa dengan manja.

“Saya ingin bayi ini laki-laki yang kelak akan meneruskan cita-cita ayahnya yang masih jauh dari tercapai”

“Amin. Kita serahkan semuanya pada Allah”

“Ya. Sekarang kamu tidur. Saya masih ada pekerjaan,” Lintang mengecup pipi istrinya yang dibalas senyum dan, “Terimakasih,” ucap Syifa tulus.

Allah menjadikan harta dan keluarga sebagai ujian kecintaan dan ketaatan. Akankah harta yang mengelilingi kita menjadikan kita terhanyut dan melupakanNya? Akankah istri dan anak-anak kita menjadikan cinta kita kepadaNya tergoyahkan? Sungguh, jika itu telah terjadi maka kita sedang ada dalam garis kritis pembangkangan terhadap perintahNya. Tahukah kita bahwa Dia telah berpesan “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian, anak-anak kalian, menjadikan kalian lupa dari mengingat Allah”?

DUA PULUH LIMA

Sesuai rencana, hari rabu pagi Lintang meluncur cepat bersama sedan hitamnya menuju arah Kota Bandung, Sumedang, Majalengka, tempat tinggal Ujang. Lima jam perjalanan mengantarkannya tiba di Kecamatan Kadipaten. Kota yang telah menyimpan banyak kenangan dalam hidupnya. Perantauan panjangnya ketika mencari Kyai Purnama sehingga bisa bertemu beliau di hutan daerah perbatasan Sumedang seolah kembali tergambar.

Sosok yang penuh misteri dan sulit diterka itu memberikan pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupannya dan hingga kini masih setia memantau langkah dan geraknya. Dia harus menemukan Pak Kyai Purnama dengan berbagai pengorbanan. Tujuh tahun dia terlunta-lunta dalam pencarian bersama wejangan para pembimbingnya yang menjadikan jiwanya siap untuk bertemu sang guru.

Lintang membelokkan kemudinya menuju arah Rajagaluh, Kota kecamatan dimana Ujang tinggal. Dibacanya kembali alamat lengkap yang pernah diberikan anak bimbingnya.

Tiba di Rajagaluh, tanpa kesulitan Lintang menemukan alamat rumah yang dicarinya. Dia segera turun di depan rumah yang tampak tidak lagi terawat. Dia sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dengan rumah sederhana itu. Lintang melangkah menuju rumah sebelahnya, menghampiri seorang wanita paruh baya yang sedang duduk mengasuh dua anak kecil.

“Assalaamu’alaikum”, dari depan gerbang Lintang ucapkan salam dengan suara agak keras.

“Wa’alaikum salaam” Wanita itu menoleh kemudian setengah berlari menghampiri orang yang berdiri diluar pagar.

“Permisi, Bu. Apa benar ini rumahnya Ujang?”

Si ibu berdaster itu tidak segera menjawab. “Bapak siapa?” ucapnya kemudian bertanya.

“Saya Lintang dari Cianjur.”

“Cianjur.. Oh, gurunya Ujang?”

“Betul.”

“Maaf, Pak. Mari masuk dulu.”

Lintang mengikuti langkah tuan rumah yang berjalan didepannya.

“Silahkan duduk”

“Terima kasih”

Wanita itu berlalu meninggalkan Lintang di ruang tamu. Sebentar kemudian, “Assalaamu’alaikum,” suara agak serak seorang bapak-bapak ucapkan salam yang segera di sambut Lintang seraya menjabat tangannya.

Lintang kembali duduk menatap orang yang duduk dihadapnya. Seorang yang tampaknya sudah cukup berumur, mengenakan kaos putih dan peci hitam ala Bung Karno. “Maaf. Saya mau bertemu Ujang” ujarnya tanpa basa-basi mengutarakan tujuannya.

Tuan rumah tidak segera menimpal. Dia menyulut rokoknya. Sebentar kemudian percakapan pun mengalir. “Kalau boleh tahu, Anda siapa?”

“Saya Lintang, dari Cianjur”

“Gurunya Ujang?”

“Betul”

“Begini, Pak Lintang,” si bapak itu mulai bercerita, “Ujang sekarang sedang sakit. Saya sebagai pengganti kedua orang tuanya sedang berusaha agar Ujang bisa kembali pulih”.

“Saya tahu, Pak. Makanya, saya datang kesini untuk membawanya. Dia akan kami rawat...”

“Tapi...” Pak Sobir coba menolak.

“Saya tahu Bapak merasa khawatir. Tapi, percayalah. Saya datang kesini atas perintah guru Saya dan calon guru Ujang. Beliau tahu bagaimana keadaan Ujang dan tahu bagaimana agar Ujang bisa kembali pulih”.

Pak Sobir terlihat masih belum bisa mengiyakan. Lintang pun terpaksa menjelaskan perjalanan panjangnya bersama Ujang.

“Baiklah,” ucap Pak Sobir setelah menyimak cerita Lintang. “Kapan Anda akan membawa Ujang?”

“Mungkin, hari ini juga.”

Pak Sobir mengangguk-angguk. “Oh ya, sebaiknya kita makan siang dulu, Parantos siap, Bu?” [102]teriaknya ke ruang belakang.

“Atos”, [103] jawab istrinya singkat dari ruang makan.

“Ayo,” ajak Pak Sobir pada tamunya.

Lintang tidak bisa menolak. Keduanya menikmati makan siang dengan lahap diselingi percakapan yang terkesan akrab.

******

Setelah selesai melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah, Lintang segera melangkah menuju rumah dimana Ujang tinggal. Sesuai rencana, Pak Sobir hanya menunggu dan memperhatikan dari jauh.

Lintang berdiri didepan pintu rumah yang tampak semrawut oleh hiasan debu dan sarang laba-laba. Sejenak hatinya berdoa agar Ujang tidak melakukan hal-hal yang tidak diharapkan. “Assalaamu’alaikum,” teriaknya kemudian memecah kebisuan rumah itu.

Tak ada jawaban.

Didalam rumah, Ujang terlihat sedang asyik menumpahkan keluh kesahnya dengan tulisan pada tembok rumahnya sudah sesak dengan berbagai ungkapan hati dan perasaannya.

Dia terhenti oleh suara salam yang seperti telah akrab dengan telinganya. Dia mengerahkan ingatannya. “Mas Lintang. Ya, Mas Lintang”, gumamnya lirih. Raut wajahnya terlihat sedikit berbinar. Dia segera menghampiri pintu.

Ujang terpaku ragu. Di sentuhnya daun pintu. Dan..

Dua orang yang sudah saling dekat itu sama berdiri mematung terhanyut oleh alam masing-masing. Ujang menitikkan air mata lalu menghambur seolah takut menuju kamarnya.

Lintang melangkah masuk dengan tenang tak segera mengejar Ujang. Diperhatikannya tulisan-tulisan yang menghiasi tembok. Tulisan yang menggambarkan perasaan Ujang semenjak kehilangan kedua orang tua yang dicintainya.

Tuhan...

Begitu bencikah Engkau padaku. Kau ambil semua dariku. Kau cabut semua orang yang aku sayangi. Sebentar Kau berikan merpati itu padaku lalu Kau ambil. Kau ganti dengan mawar lalu Kau petik. Kini dua permataku pun Kau rampas. Kenapa bukan aku yang kau panggil?

Sebentar Lintang tersenyum menyelami isi tulisan itu lalu melangkah menuju tembok sebelah kiri yang terlihat ada tulisan panjang berwarna merah.

Abi Umi, tersenyumlah kalian disurgaNya. Pandangi anakmu yang masih merana dinerakaNya. Aku berjanji, takkan kecewakan kalian. Aku berjanji kalian akan bangga dengan permata kalian. Aku berjanji, susul kalian disana. Tunggulah. Aku kan berbicara dulu padaNya.

Allah, Engkau telah dengan angkuh mengambil mereka

Aku mohon dengan rendah angkatlah derajat mereka

Allah, Engkau tiba-tiba sadarkan aku saat tanpa izinku Kau hilangkan mereka dariku. Apakah ini syarat untuk mengenalMu? Jawablah tanyaku Jawablah ketidaktahuanku

Allah, Jika untuk dekat denganMu, aku harus jauh dari mereka. Jika untuk bisa mencintaMu, aku harus sampingkan mereka. Jika untuk menjadi kesayanganMu, aku harus menutup diri dari mereka. Aku rela, aku terima.

Jika tidak, kembalikan mereka atau bawalah aku untuk mereka

Lintang kembali tersenyum lalu menarik nafas panjang. Dilihatnya masih banyak tulisan yang terpencar-pencar. Sebuah kesedihan yang mendalam telah mengantarnya ke jurang keterpurukan, ia mengambil kesimpulan tentang apa yang terjadi pada anak bimbingnya lalu melangkah menuju kamar Ujang. “Jang, boleh saya bicara? Maukah kamu ikut saya melihat Abi dan Umi tersenyum?” bujuknya halus agar Ujang mau keluar dari kamar.

Ujang tersentak mendengar Abi Uminya disebut. “Benarkah?” tanya hatinya penuh harap lalu perlahan beranjak keluar. “Mas,” inilah kali pertama Ujang kembali membuka mulutnya. “Saya ikut. Saya rindu Umi... Saya rindu Abi..” lanjutnya terisak seraya menghambur memeluk Lintang.

“Ya” jawab Lintang pasti.

Tangis Ujang tak tertahankan. Lintangpun ikut terharu dan membiarkannya menumpahkan perasaan.

“Jang,” ucap Lintang kemudian coba melepaskan pelukan Ujang. “Kita berangkat sekarang”, ajaknya pelan.

Pemuda itu mengangguk. Lintang merasa lega dan segera membawanya masuk ke sedan hitamnya. Dari jauh, terlihat pak Sobir melambaikan tangan. Lintang segera meluncur, khawatir Ujang akan berubah fikiran.

Allah memberikan ujian kepada hamba-hambaNya sesuai kemampuan mereka. Ketika mereka sudah lulus dari satu ujian maka ujian yang lebih berat sudah siap menghadang. Ibarat pelajar, mereka bisa naik kelas ketika sudah dianggap lulus dari kelas sebelumnya.

Lalu, bagaimana kita bisa tinggi kedudukan disisiNya jika kita tidak mau atau tidak mampu menghadapi ujian yang diberikanNy?

Semua pohon akan merasakan terpaaan angin. Sementara, angin diatas sana akan terasa lebih kencang bertiup.

Kuatkanlah akar kita jika ingin dahan-dahan pohon kita melambai indah diatas sana atau bersiaplah untuk menerima injakan kaki jika kita hanya menjadi rumput yang enggan tertiup badai.

DUA PULUH ENAM

Syifa, Pak Karjo si Mbok menyambut kedatangan Lintang yang menggandeng anak bimbingnya yang berjalan tertunduk.

“Kamarnya sudah dirapikan?” bisik Lintang bertanya pada istrinya.

Syifa mengangguk tanpa menjawab apapun. Dia merasa benar-benar terharu melihat keadaan Ujang. Tubuhnya kurus kering, matanya cekung

dan agak lebam akibat terlalu banyak menangis.

“Istirahat dulu.” pelan Lintang berbisik mengajak Ujang kekamarnya. Pemuda itu menurut lalu masuk ke kamar kemudian berbaring. Lintang segera menotok peredaran darahnya hingga ia lemas dan tertidur.

“Mas, bagaimana?” Syifa bertanya cemas saat Lintang keluar kamar.

“Kamu tenang saja. Sekarang saya harus istirahat dulu. Tapi..” Lintang meneruskan ucapannya dengan isyarah membuka bajunya. Istrinya yang sudah mengerti kebiasaannya itu segera mengambil minyak urut.

*****

“Umi, Umi, Umi..” teriakan itu mengagetkan seisi rumah yang sudah terlelap. Lintang, Syifa, Pak Karjo dan si Mbok segera menghambur dan kini sudah berada di kamar Ujang. Lintang tampak menyeka wajah pucat penuh keringat yang terengah-engah. “Kamu hanya mimpi,” ujarnya menenangkan.

Pandangan si pemuda kurus itu jauh menatap kelangit-langit kamar. Bibirnya kembali bergerak-gerak, “Umi, Umi”.

“Kamu hanya bermimpi,” sekali lagi Lintang menenagkan. “Sekarang lebih baik kamu istirahat kembali,” lanjutnya lalu mengajak istrinya kembali ke kamar.

“Bapak tidur disini saja menemani Ujang” ujar Lintang pada Pak Karjo sebelum keluar kamar disambut anggukan si tukang kebun yang sudah lebih sepuluh tahun hidup bersamanya.

“Mas, bagaimana rencana selanjutnya?” tanya Syifa saat kembali berbaring bersama suaminya.

“Besok pagi Saya akan membawanya ke Jakarta. Disana ia akan dirawat oleh murid kepercayaan Pak Purnama.”

“Siapa?”

“Seorang Psikiater. Namanya Dokter Fuad.”

“Lalu?”

“Tugas kita selesai. Perjalanan Ujang selanjutnya akan dipantau oleh beliau.”

“Mudah-mudahan Kak Ujang bisa cepat sembuh,” ucap Syifa lirih penuh harap.

“Ya. Amin”

*****

Selepas dluha, Lintang segera berangkat membawa Ujang menuju tempat tinggal Dokter Fuad, seorang psikiater ternama yang disegani oleh rekan-rekannya dan merupakan salah satu dari sekian banyak murid Pak Kyai Purnama.

Lintang merasa yakin bahwa pertemuan Ujang dengan sang Kyai sudah semakin dekat. Sebab, dari yang ia ketahui dari kawan-kawan yang pernah menjumpai atau dijumpai Pak Pur, Pak Fuad dikenal sebagai salah satu jembatan terakhir sebelum bertemu Kyai Bentang, putra Kyai Purnama. Ialah salah seorang yang ditugaskan oleh sang Pak Pur untuk memberikan kunci perjalanan kepada calon murid yang sudah dianggap layak. Dan kini, Ujang sedang menuju kearah sana.

Perjalanan keduanya hanya berhias diam. Lintang sengaja membiarkan Ujang terhanyut dengan alamnya sendiri. Entah, apakah Ujang masih teringat akan tugasnya untuk mencari Kyai Purnama atau sama sekali telah tertutup oleh kesedihan panjangnya.

Sedan hitam lintang memasuki pelataran rumah besar berlantai empat. Dari luar, rumah itu tampak sepi. Namun, suasana didalam sana tak ubahnya seperti Rumah Sakit. Para perawat dan pembesuk terlihat hilir mudik diruang lobi.

Lintang segera mengajak Ujang memasuki rumah itu. Di meja resepsionis ia segera menunjukkan kartu khusus yang diberikan Dokter Fuad untuknya. Petugas pun segera membawa keduanya melewati tangga keluarga untuk menuju lantai empat. Lantai yang khusus ditempati sang Dokter dan keluarga serta suster yang terjadwal untuk menginap.

Rumah ini memang telah dirancang sedemikian rupa. Lantai bawah dibagi menjadi dua ruang utama, yakni ruang lobi dan ruang para pasien yang masih dianggap labil. Mereka akan masuk ke kamar-kamar yang tersedia dengan tingkat keamanan yang sangat ketat. Kamar yang ada dilantai ini lebih mirip dengan penjara dari pada penginapan untuk orang sakit. Mereka yang masih sering mengamuk akan diikat dan diperlakukan layaknya seorang penjahat hingga mereka merasa takut dan menjadi jinak untuk diatur.

Lantai kedua ditempati para pasien yang sudah keluar dari lantai satu dan sudah lebih bisa diajak berkomunikasi. Kamar-kamar yang tersedia pun lebih bersih dan rapih. Sedangkan, lantai ketiga disediakan untuk pasien yang telah memasuki tahap penyembuhan.

Ujang tidak menaruh perasaan apapun dan hanya mengikuti apa yang diperintahkan Lintang yang berjanji akan mempertemukannya dengan kedua orang tua yang dicintainya.

“Jang, kamu tunggu disini, ya...” Lintang berujar seraya berjalan dibelakang Dokter Fuad yang mengajaknya masuk ke ruang pribadi. Ujang mengangguk sambil memandangi sekeliling ruangan yang dipenuhi hiasan dinding.

“Al-hamdulillah,” ucap dokter membuka percakapan, “akhirnya aku berjumpa kembali dengan arek suroboyo,” lanjutnya teringat saat pertama bertemu.

“Ya, Hampir tujuhbelas tahun kita tidak pernah bertemu. Saya hanya tahu kabar anda dari Pak Kyai Purnama jika kebetulan beliau bercerita tentang anda” Lintang menimpali.

Keduanya adalah sobat dalam arti teman satu tujuan. Lintang bertemu Dokter berkacamata itu ketika dia masih bertugas untuk keliling ke daerah-daerah terpencil. Kebetulan, Dokter muda itu bertugas di wilayah pedalaman Kadipaten tepatnya Desa Alasromo dan Lintang sedang tinggal dirumah Pak Ahmad Kepala Desa Alasromo. Karena sering bertemu dan bercakap-cakap, keduanya saling merasa ada kecocokan tujuan. Akhirnya, atas saran Pak Ahmad, Dokter Muda itu berpuasa seratus hari sebagai syarat pertemuannya dengan Kyai Purnama dan Lintang saat itu masih harus kembali dengan perjalanannya.

Keduanya saling bercerita tentang perjalanan yang telah mereka tempuh. “Dok, seperti yang telah kita bicarakan tadi. Saya menyerahkan Ujang untuk Anda didik,” ucap Lintang mengakhiri percakapannya karena harus segera kembali ke Cianjur.

“Ya, mudah-mudahan. Pak Pur sudah sering membicarakannya. Saya percaya anak muda itu akan segera pulih dan akan segera bertemu dengan guru kita.”

Lintang segera pamit pulang tanpa sepengetahuan Ujang. Pemuda yang tidak tahu menahu tentang apa yang sedang terjadi ini hanya terheran-heran ketika tahu Mas lintang pergi tanpa mengajak dirinya.

“Ini kamar kamu, baik-baiklah disini,” ujar Dokter Fuad sengaja memberikan perhatian istimewa.

Ujang hanya mengangguk lalu memasuki kamar dan duduk termenung mendengarkan beragam pertanyaan dalam fikirannya, Tempat apa ini? Kenapa banyak sekali suster yang aku lihat? Mereka yang tinggal disini seperti orang-orang gila. Ya Allah apakah aku sama dengan mereka?

*****

Tiga minggu sudah Ujang menjalani perawatan Dokter Fuad dengan proses yang terbilang cepat. Dua hari ia dipaksa masuk kekamar di lantai bawah karena tiba-tiba saja mengamuk. Kemudian setelah tenang ia dipindahkan kelantai kedua selama sembilan hari. Setelah itu Ujang disuruh pindah menempati lantai tiga, tempat untuk pasien yang sudah layak untuk pulang.

Malam itu, Ujang merenungi apa yang terjadi pada dirinya. Lembaran-lembaran kejadian yang dialaminya selama setahun ini kembali terbaca. Aku terkabut kesedihan yang mendalam sehingga tidak mampu menahan emosi sehingga apa yang kulakukan adalah sesuatu yang diluar logika. Aku telah menjadikan resah keluargaku, lirih hatinya berkata setelah semua lembaran kemarin terbaca.

Dia benar-benar tersadar, sadar bahwa dia harus bangkit kembali. Dia tidak boleh terus menerus terselimut kesedihan. Optimismenya kembali muncul. Namun, rasa itu tak berlangsung lama. Rasa sedih kembali menyerang manakala melihat orang-orang yang sekarang mengelilinginya, aku sudah tidak berharga, tidak lebih dari seorang pesakitan yang hina seperti mereka. Tanpa terasa air matanya mengalir.

Ujang membaringkan tubuhnya. Wajah-wajah gurunya terlintas. Wajah ayah ibunya kembali hadir. Ya Allah, Berilah ketabahan hat padaku, Ujang berdoa lirih lalu terpejam hingga datang sang fajar membangunkan.

“Jang, kamu di panggil Ayah,” seorang suster tiba-tiba membuyarkan konsentrasi Ujang yang sedang membaca buku ‘La tahzan’ yang diberikan Ayah, panggilannya terhadap Dokter Fuad.

“Ada apa, Sus?” Ujang bertanya seraya beranjak turun dari ranjangnya.

“Tidak tahu”.

Ujang segera naik ke lantai empat menuju ruangan dimana Dokter Fuad sudah menunggunya. “Assalaamu ‘alaikum” ucapnya dibalik pintu.

“Wa’alaikum salaam. Masuk, Jang!” dokter Fuad mempersilahkan.

Ujang melangkah masuk lalu menyalami ayah angkatnya.

“Duduk” dengan penuh kelembutan Dokter Fuad mengajak Ujang yang telah dirawatnya selama hampir tiga minggu untuk duduk disampingnya.

Anak muda itu duduk dengan penuh rasa hormat. Dia merasa bahwa orang yang ada disampingnya ini bukan hanya seorang dokter yang mengobati penyakit. Dokter Fuad adalah tempat mengadu dan berkeluh kesah segala masalah, orang yang mau dan sukarela menjadi pendengar yang baik untuk mencarikan solusi terbaik. Ujang merasa bahwa abi telah kembali hadir dalam bentuk yang lain.

“Jang, bagaimana perasaan kamu sekarang?” tanya Dokter memulai percakapannya.

“Al-hamdulillah, sudah semakin tenang,” Ujang menjawab dengan kepala tertunduk.

“Syukurlah. Ayah sangat senang melihat perkembanganmu yang begitu cepat.”

Dokter Fuad beranjak dari duduknya mengambil dua gelas air putih. “Minumlah,” ucapnya seraya memberikan air putih ditangan kanannya. Ujang menerima lalu meminumnya.

“Jang,” ucap dokter Fuad mulai mengutarakan maksudnya, “nanti malam kamu kembali kesini. Ada hal penting yang harus ayah sampaikan.”

“Jam berapa, Yah?”

“Selepas jama’ah Isya”

“Baik, Yah.”

“Sekarang kembalilah ke kamarmu”.

Ujang turun meninggalkan ruang Dokter Fuad menuju kamarnya di lantai tiga. Beberapa pasien yang sedang duduk-duduk menikmati sinar mentari pagi menyapanya. Pemuda itu hanya melempar senyum lalu segera memasuki kamar dan mengambil buku yang tadi disimpannya lalu kembali asyik membaca.

“Kayanya kamu bakal cepat pulang nih”, ucap Ryan, penghuni kamar sebelah yang sering berkunjung ke kamarnya.

Pemuda sebayanya ini telah empat bulan dirawat disini. Dia menjadi pesakitan karena kenakalannya yang telah melampaui batas sehingga orang tuanya yang sudah tak sabar membawanya ke sini dengan paksa untuk dibina oleh Dokter Fuad agar bisa berubah.

“Entahlah. Nanti malam Aku disuruh dokter untuk menemuinya kembali.”

“Sepertinya perhatian Dokter sama kamu agak berbeda”, Ryan sering melihat Dokter Fuad mendatangi kamar Ujang yang bersebelahan dengan kamarnya. Padahal, sebelum kedatangan Ujang, Dokter Fuad hanya sekali-kali turun tangan sendiri mengontrol pasiennya.

“Masa?” Ujang bertanya heran.

“Ya. Aku rasa kamu memang diistimewakan.”

“Ah, itu hanya pendapat kamu saja. Aku rasa perhatian dokter pada setiap pasien sama.”

Ryan terdiam sejenak, “aku sudah sangat bosan tinggal disini”, ucapnya kemudian mengadu pada Ujang yang sudah ia anggap sebagai teman yang bisa diajak bicara serius.

“Yan,” sahut Ujang sambil meletakkan bukunya, “kalau kamu sudah bosan disini, kamu minta orang tuamu untuk datang menjemput.”

“Itulah masalahnya..”, Ryan memandang jauh ke jendela, “orang tuaku tidak mau menjemput sebelum aku benar-benar bisa berubah,” lanjutnya kini menatap Ujang. “Mereka berfikir lebih baik mengeluarkan biaya besar untuk aku tinggal disini daripada aku tinggal di rumah dan hanya membuat pusing mereka”

“Kalau begitu, masalahnya adalah diri kamu sendiri,” tembak Ujang. “Harusnya kamu bersyukur, punya orang tua yang benar-benar bertanggung jawab,” lanjutnya “Sekarang, aku mau tanya apakah kamu sudah siap berubah ketika kamu pulang?”

Ryan tak menjawab. Ujang mendekat lalu menyentuh pundak temannya, “kita semua yang dirawat disini adalah orang-orang yang dianggap sakit. Kita harus sadari itu dan berusaha sembuh. Setelah Dokter menganggap kita sembuh maka kitapun akan segera pulang.”

“Jang,” Ryan mencoba bicara, “aku tahu semua kesalahanku, tak bisa memenuhi harapan ayah ibuku. Tapi, untuk berubah total, rasanya sangat sulit sekali.”

“Aku tahu itu, Yan. karena kesulitan itulah kamu dibawa kesini untuk berlatih menjauhi semua kebiasaan buruk kamu.”

“Disini mungkin aku bisa. Tapi setelah aku pulang, mereka kembali akan mengajakku”

“Jika kamu masih merasa takut kembali terbawa oleh mereka berarti kamu belum layak pulang,” Ujang menghela. “Kamu masih labil,” sambungnya.

“Jadi aku harus bagaimana?”

“Kamu harus yakin dan bisa meyakinkan kedua orang tua kamu bahwa kamu akan benar-benar berubah”.

Anak muda itu termenung dengan apa yang diucapkan Ujang. Dia merasa telah banyak menyakiti perasaan orang yang sepatutnya dihormati dan ditaatinya. Tanpa terasa matanya basah. Baru kali ini dia merasakan kesedihan melihat tingkah lakunya sendiri.

“Sudahlah”, tangan Ujang kembali menyentuh pudak Ryan. “Kesedihan tak akan berguna jika kamu tidak segera bangkit memperbaiki diri. Bicaralah terbuka pada Dokter yang membimbing kamu sekarang. Dia akan menunjukkan jalan bagaimana kamu memperbaiki diri. Percayalah.”

“Terimakasih, kamu benar-benar telah menyadarkanku. Aku janji akan berusaha untuk tidak kembali ke masa laluku.”

“Aku harap begitu dan kamu akan segera pulang”

“Ya” jawab Ryan lalu pamit meninggalkan Ujang, melangkah penuh semangat untuk satu tekad, goodbye Narkoba.

Ujang menghela nafas panjang memandangi teman barunya. Kita sama-sama bermasalah walau masalah kita berbeda. Aku yakin kita akan bisa bangkit dari keterpurukan kita, gumam hatinya.

Jarum jam dinding menunjuk angka sebelas. Ujang beranjak keluar untuk ikut berbaris bersama pasien-pasien yang lain mengambil jatah makan siang.

Karena kasih sayangNya terhadap hamba, Dia memberikan teguran kepada mereka yang lalai. Harta yang menyibukkan mereka diambilNya, kesehatan yang menyia-nyiakan mereka dicabutNya.

Sungguh Allah tidak akan merubah kenikmatan pada suatu kaum menjadi musibah sehingga mereka merubah ketaatan yang ada pada diri mereka menjadi keangkuhan.

DUA PULUH TUJUH

“Ayah rasa kamu sudah siap kembali untuk hal ini” Ujar Dokter Fuad malam itu.

”Hal apa, Yah?” tanya Ujang belum mengerti arah pembicaraan Dokter dihadapannya.

“Tugas kamu..”

“Tugas saya?” tanya Ujangtampak berfikir.

“Bukankah kamu sedang dalam tugas,” Dokter mengingatkan apa yang sedang di jalani Ujang sebelum ia menjadi sakit jiwa.

“Maksud Ayah, tugas mencari Kyai Purnama?”

“Ya.”

“Dari mana Ayah tahu?” tanya Ujang penuh heran dan merasa semuanya seperti kebetulan.

“Saya adalah salah satu dari sekian banyak murid beliau,” Dokter Fuad mulai menjelaskan.

“Yah, saya masih ingat tugas itu. Tapi entahlah, saya belum mengerti tentang tugas ini.”

“Sekarang kamu akan mengerti”

“Maksud Ayah?”

“Saya akan menjelaskan semuanya.”

Wajah Ujang terlihat cerah. Tugas yang telah hampir terlupakan itu terasa hangat kembali seiring wajah Romo Ahmad Arifin yang seolah hadir pada wajah dokter dihadapannya.

“Kyai Purnama adalah seorang yang dianugrahi kelebihan oleh Allah. Entahlah, sebutan apa yang layak bagi posisi beliau yang penuh misteri. Kami hanya tahu bahwa kami mempunyai guru yang selalu membimbing kami agar tidak menyimpang dari jalan yang diridloi Allah. Beliau mempunyai seorang putra yang masih muda bernama Kyai Bentang. Murid-murid beliau tersebar dan tersembunyi dibalik keramaian...”

Dokter Fuad menghentikan ulasannya, memberikan kesempatan agar calon murid terakhir Kyai Purnama ini bertanya.

“Siapa sebenarnya Kyai Purnama?”

“Entahlah. Namun, berita yang tersebar dikalangan kami, Kyai Purnama adalah orang biasa yang mendapat bimbingan langsung dari guru-gurunya baik yang kasat mata maupun yang tidak terlihat oleh mata lahir.”

“Lalu,” Ujang semkin semangat untuk menyingkap semua penasarannya selama ini, “dimana beliau tinggal?”

“Itulah. Beliau selalu berpindah-pindah hingga jejak beliau sangat sulit diterka. Murid-murid beliau akan selalu menceritakan hal yang berbeda satu sama lain, karena kondisi yang mereka lihat berbeda.”

“Wah, jangan-jangan...”

“Hus, jangan punya sangkaan yang bukan-bukan. Kamu harus percaya bahwa beliau akan membimbing kita. Itu syarat mutlak bagi setiap calon murid.”

“Tapi, saya tidak bisa percaya begitu saja,” Ujang mendesak.

“Bukankah guru yang memberimu tugas ini sudah cukup untuk menjadi pegangan bahwa kita tidak akan tersesat,” Dokter Fuad coba meyakinkan.

Lama Ujang terpekur. “Baiklah,” ujarnya kemudian. “Kapan saya akan bertemu beliau?” tanyanya memastikan.

“Semua tergantung kesiapan jiwa kamu.”

Kesiapan jiwa? Berarti selama ini jiwaku belum siap bertemu dengannya. Lalu bagaimanakah sebenarnya ukuran jiwa yang dikatakan telah siap?, tanya Ujang dalam diam.

“Beliau tak akan menemui orang yang belum dianggap layak.”

“Begitu angkuhkah?” Ujang mulai terpancing emosi.

“Ini bukan masalah angkuh atau tidak angkuh. Ini adalah tata aturan yang beliau jalankan agar murid-muridnya teruji.”

“Tapi apakah harus seberat itu ujian yang harus dijalani setiap murid?”

“Ujian yang telah kamu jalani belum seberapa. Semakin jauh kamu melangkah maka semakin beratlah ujian yang harus kamu hadapi.”

Ujang terdiam. Dua pertanyaan masih tersisa dalam benaknya, “Yah, apakah sebenarnya hal yang akan beliau ajarkan?”

“Banyak, dan kamu sudah belajar pada beliau semenjak awal kamu berangkat mencarinya.”

“Berarti sudah hampir empat tahun..”

“Ya.”

Satu lagi, bisik Ujang dalam hati, “apakah orang seperti Pak Kyai Purnama masih banyak kita jumpai?”

“Ayah rasa masih banyak. Cuma, sulit untuk menemukan mereka.”

Titik terang yang sudah agak terlihat membuat Ujang kembali yakin dengan pencariannya, yakin bahwa tugas dari Romo adalah kewajiban untuk dirinya. Apapun yang terjadi aku akan mencarinya dan menemukannya, hatinya bertekad. “Apa yang harus saya lakukan sekarang agar bisa segera bertemu beliau?” tanyanya menunjukkan kesemangatan.

“Sabarlah, Kamu masih harus tinggal disini. Banyak pelajaran yang belum kamu gali di tempat ini.”

“Berapa lama?”

“Entahlah. Kita tunggu petunjuk dari beliau”

Ujang menarik nafas panjang.

Dokter Fuad beranjak menuju lemari buku yang ada di ruang itu, mengambil tiga buah buku kecil, “Fahamilah isi buku ini!”

Ujang menerimanya.“Menarik,”gumamnya lirih setelah mengetahui judul ketiga buku yang ada ditangannya mengulas tentang ketuhanan dari berbagai tinjauan.

“Jang, sekarang kamu istirahat. Nanti, jika saatnya tiba, saya akan beri tahu kamu”

Ujang mengangguk lalu beranjak pergi kekamarnya dilantai tiga melewati kamar-kamar dan suasana rumah sakit pribadi yang sudah tampak sepi. Beberapa pasien yang terlihat belum tidur memandanginya dari kamar-kamar mereka. Ujang mengintip kamar Ryan, terlihat pemuda itu telah terlelap, lalu segera masuk ke kamarnya kemudian berbaring. “Ya Allah, berilah kemudahan untuk menjalankan amanat guruku” Ujang berdoa lirih lalu berusaha memejamkan dua matanya. Diapun terlelap.

DUA PULUH DELAPAN

“Jang, ini obatnya diminum dulu” Ucap Suster Dian yang menangani perawatan Ujang.

“Ya, Sus,” jawab Ujang singkat lalu segera meminum tiga buah pil yang diterimanya.

“Bagaimana? Kamu sudah merasa lebih tenang.”

“Ya, begitulah.” Ujang tersenyum. Suster Dian balas tersenyum.

“Sus, bisa temani saya berbincang?” tanya Ujang pada suster yang mengaku sudah dua tahun bekerja pada Dokter Fuad dan merasakan kepuasan bathin manakala pasien yang ditanganinya bisa kembali pulih.

“Kamu ingin membicarakan sesuatu?”

“Ya.”

“Sebentar. Saya mau memberikan obat ini dulu ke kamar sebelah.”

Suster Dian meninggalkan Ujang menuju kamar Ryan. Beberapa menit kemudian, suster itu kembali.

“Saya mau tanya,” Ujang memulai percakapannya.

“Tentang?”

“Saya.”

“Kamu?”

“Ya”

“Maksudnya?”

“Suster sudah merawat saya sejak saya disini. Saya ingin tahu apa yang suster lihat dalam diri saya?”

Suster Dian terdiam sejenak. “Jang, kesehatan kamu sudah semakin pulih. Ketika pertama kali datang saya lihat kamu selalu murung dan tampak sedih. Tapi sekarang kamu sudah terlihat cerah,” suster Dian coba menjawab.

“Artinya saya sudah layak pulang?”

“Saya rasa begitu. Tapi, itu tergantung keputusan Dokter Fuad.”

“Satu hal lagi yang ingin saya tanyakan,” Ujang menarik nafas. “Ketika saya tersadar dengan apa yang menimpa diri saya, saya merasa menyesal. Sayapun bertekad saya harus melupakan kesedihan itu. tapi, ketika kesedihan itu hilang. Tiba-tiba muncul kesedihan yang lain. Saya merasa telah menjadi hina. Saya..” Ujang terhenti.

“Jang, kesedihan akan kehilangan orang tua itu adalah hal yang wajar. Namun, ketika itu menjadikan kita goyah, terpuruk, maka itulah yang harus kita usir dari dalam diri kita. Dan hal itu telah kamu lakukan sekarang. Kamu telah bangkit. Lalu, tiba-tiba muncul perasaan bahwa kamu adalah orang yang hina karena keterpurukan tadi, itupun hal yang wajar. Tapi, jangan sampai hal itu menjadikan kamu merasa terasing atau minder. Karena jika itu terjadi, maka kamu ibarat orang yang lolos dari terkaman macan namun tak bisa menghindari terkaman singa yang sudah menanti,” panjang lebar Suster Dian menjelaskan.

Ujang termenung mencerna ucapan Suster dihadapannya. “Sus, terimakasih,” ucapnya kemudian.

“Tidak apa-apa. Itu sudah tugas saya. Saya senang kamu mau terbuka. Itu akan sangat membantu mental kamu.”

“Ya.”

Suster Dian meninggalkan pasiennya. Ujang tersenyum puas.

Hati yang jernih akan mampu menjadi magnet terhadap kedatangan cahaya Ilahi. Dia akan memantulkan cahaya itu keluar dari jasad kasar pemiliknya.

Tangannya akan berbuat sesuai irama kebaikan, lisannya akan melahirkan mutiara-mutiara nasehat, seluruh tubuhnya akan mengikuti dan menyesuaikan keinginan Sang Penciptanya.

******

“Jang, besok orang tuaku datang menjemput,” ujar Ryan berbagi kegembiraan.

“Benarkah?”

“Ya, kemarin suster Dian memberitahuku.”

“Syukurlah”

“Jang, mudah-mudahan aku bisa berubah”

“Ya, harus. Jika tidak, aku yakin ayahmu akan membawamu lagi ke tempat ini.”

“Kamu sendiri kapan dijemput?”

“Aku masih harus disini.”

“Sampai kapan?”

“Entahlah.” Ujang tidak mau menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Dia tidak ingin orang lain tahu tentang apa yang sedang dijalaninya.

“Kamu harus sabar.” Ryan memberi nasehat.

“Ya. Doakan Saja.”

“Oh ya, aku berencana untuk tinggal bersama paman di Surabaya. Beliau mengasuh lembaga pendidikan pesantren. Mudah-mudahan aku bisa berubah disana.”

“Bagus. Aku yakin kamu tidak akan menyesal memilih jalan itu.”

“Ya. Walaupun usiaku sudah tidak remaja lagi, Aku yakin belum terlambat.” Ryan tampak serius dengan ucapannya.

“Yan, tak ada kata terlambat untuk belajar. Selama kita masih bernafas selama itu kita harus terus belajar.” Ujang menimpali.

Keduanya semakin merasa akrab. Gema adzan dzuhur menghentikan percakapan dan mengajak mereka bergegas untuk bergabung bersama pasien-pasien lantai tiga yang lain menuju musholla yang terdapat di lantai empat. Dokter Fuad selalu bertindak jadi imam kecuali jika ada halangan.

Suasana tentram terlihat manakala seluruh jamaah bersama-sama membaca dzikir bakda sholat. Sungguh, ketika itu mereka bukan lagi orang-orang yang sedang terganggu kejiwaan dan mentalnya. Mereka adalah orang-orang yang merasakan ketenangan bathin dengan menghadap penuh kerendahan kepada Allah yang penuh ketinggian. Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tentram.

DUA PULUH SEMBILAN

Ya Allah

Malam ini, ditempat gila ini, aku menjerit padaMu

Ya Allah

Disaksikan keheningan, disaksikan tembok Kebisuan, aku memohon padaMu

Wahai Engkau yang mengatur segala

Wahai Engkau yang Tahu segala

Wahai Engkau yang menghendaki segala

Ampuni khilafku hapus dosaku tutupi salahku

Ya Allah

Mulai malam ini jauhkan selainMu dariku

Mulai malam ini usir mereka dari hatiku

Ya Allah

Engkau Maha mampu, aku lemah kuatkanlah

Engkau Maha Ilmu, aku tak mengerti ajarilah

Ya Allah

PadaMu kuberharap, padamu kuberdoa

Janganlah kecewakan aku, kabulkanlah

Ditutupnya buku yang telah bercampur dengan lelehan air matanya. Ujang membaringkan tubuhnya. Tiga bulan berlalu dengan berbagai pelajaran yang diterimanya. Pergaulan dengan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan mental menjadikan kepekaan jiwanya terasah. Dia seperti merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Matanya menjadi terlalu mudah menangis semudah bibirnya tersenyum.

Didikan Dokter Fuad telah banyak mewarnai kepribadiannya. Dokter Fuad sudah lebih dari sekedar orang yang merawatnya. Dia adalah orang tua yang selalu jadi peneduh, guru yang penuh dengan ilmu. Kehidupan ini memang sulit untuk ditebak. Manusia hanya bisa berencana tanpa tahu apa yang sesungguhnya akan terjadi.

Ujang beranjak dari pembaringan, melangkah menuju kamar mandi. Diambilnya air wudlu kemudian dengan penuh ketenangan ia sholat beberapa rokaat. “Ya, Allah bukalah jalan untukku seperti Engkau bukakan kepada hamba-hambaMu yang soleh” Ujang berdoa lirih dengan air mata deras mengalir.

Malam itu, dirinya seperti terhanyut oleh indahnya keheningan bermunajah. Rasa gundah gelisah hilang entah kemana. Yang ada hanyalah kesunyian yang timbulkan ketenangan.

TIGA PULUH

Bulan Sya’ban telah menghabiskan masa separuhnya. Diluar sana, kegelapan malam terlihat sangat indah dengan tergantungnya purnama putih ditemani tebaran jutaan bintang. Angin malam seolah ingin ikut berbagi kebahagian dengan menari sepoi.

Di ruangan Dokter Fuad, tampak dua orang duduk bersila saling berhadapan memejamkan mata di atas sajadah besar. Sudah hampir dua jam mereka hening oleh aroma dzikir yang mereka baca dengan tanpa suara.

“Jang, bukalah mata kamu!” terdengar sang dokter yang memakai pakaian serba putih keluarkan perintah.

Ujang membuka kedua matanya.

“Tataplah mata saya dan tetap ucapkan Allah dalam hatimu!” kembali dokter Fuad memberi arahan.

Pemuda dengan pakaian serba putih itupun menurut. Matanya yang tajam beradu dengan kesejukan tatapan Dokter Fuad dan berusaha agar hatinya tidak mengucapkan selain kata Allah.

“Tutuplah kembali!” perintah Dokter Fuad kemudian. “Dengarlah, besok kamu mulai berangkat. Temui empat puluh murid Kyai Purnama dan jalankan apa yang mereka katakan. Setelah selesai akan ada petunjuk berikutnya.” Dokter Fuad menghentikan ucapannya lalu bangkit berdiri. “Ritual ini telah selesai, bangunlah,” ucapnya lalu melangkah menuju kursi rotan yang ada di ujung ruangan.

Ujang yang masih terduduk sambil terpejam membuka mata kemudian atas perintah dokter ia beranjak menuju kursi yang berdampingan dengan tempat duduk dokter.

“Ayah, tadi..”

“Ini tugas terakhir saya untuk kamu.”

“Saya belum faham dengan perintah yang Ayah sampaikan.”

“Itu adalah jembatanmu untuk bertemu beliau”

“Tentang empat puluh murid yang harus saya temui?”

“Data mereka sudah lengkap. Kamu hanya menelusuri keberadaan mereka,” ucap Dokter Fuad mengeluarkan secarik kertas berisi nama-nama dan alamat yang harus ditelusuri oleh Ujang.

Pemuda itu membacanya sekilas, “mereka..?” Ujang terkejut dengan apa yang dibacanya.

“Ya. Mereka berada hampir di tiap kota besar dan dengan berbagai profesi. Itulah murid-murid beliau setelah beliau meninggalkan tujuh murid pertama.”

“Berapa lama saya bisa menemui mereka semua?” Ujang bertanya setengah putus asa.

“Jang, yakinlah dan jangan pernah bertanya berapa lama. Itu modal utama kamu dalam tugas ini.” Dokter Fuad coba beri semangat.

“Ayah, doakan agar Saya diberi ketabahan menjalaninya”

“Ya. Kita sama-sama berdoa. Sekarang kamu istirahat. Besok pagi kamu harus segera berangkat.”

Ujang segera pamit dan melangkah turun menuju kamarnya. “Ya Allah terimakasih. Engkau telah memberikan jalan untukku. Mudahkanlah aku menapakinya.” Ujang berharap dalam hati sambil ditelitinya kembali isi kertas yang diberikan oleh Dokter Fuad. Jakarta, Tangerang, Pandeglang, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap... Ujang mengeleng-gelengkan kepalanya., “benar-benar tugas yang sangat berat”, gumamnya dalam hati lalu merebahkan tubuhnya menyaksikan rekaman perjalanan hidupnya kembali yang terputar membayangi alam fikirannya.

Kehidupan ini tak selamanya lurus dan mulus. Lubang dan tikungan menjadi hiasan. Mendaki, menurun, datar. Semuanya menjadi sebuah keharmonisan yang menimbulkan keindahan. Satu episode kehidupan akan menjadi pelajaran dan gambaran untuk menjalani episode selanjutnya.

******

“Ayah, terimakasih atas kebaikannya. Saya tidak tahu bagaimana harus membalas ini semua.” Ujang menangis tersedu sesaat sebelum keberangkatannya.

“Sudahlah, ini kewajiban Saya. Kamu tidak perlu berterimakasih dan membalas apapun. Yang terpenting sekarang, lakukan tugas kamu dengan penuh keyakinan.”

“Ya. Saya berangkat, Ayah. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalaam”

Ujang melangkah meninggalkan berbagai kenangan. Pandangannya kini tertuju kembali untuk memenuhi amanat Romo Ahmad Arifin. Tekadnya semakin membaja, Apapun yang menghadang akan kuhadapi. Tak ada keagungan yang berharga murah, aku harus menebusnya dengan perjuangan yang penuh pengorbanan. Harta, keluarga bahkan nyawaku sekalipun. Semakin tinggi keagungan yang ingin kucapai semakin banyak pula hal yang harus kukorbankan untuk memperjuangkannya. Benarlah petikan syair arab yang sering kubaca dulu saat di al-Miftah: Biqodril kaddi tuktasabul ma’ali, Wa ‘izzul mar i fii saharillayaali. Tunggulah Kyai Pur, aku akan menemuimu dengan kebersihan jiwa, mereguk ilmumu yang kudengar lebih luas dari samudera.

Malamku lembut berbisik

Aku rindu

Sedikit kucubit ia sebelum datang enggan

Sewajah tanya pun terisak sendu

Apa yang terjadi padamu?

Aku menggeleng entah

Lalu ia merayuku tanpa malu

Hai.. Sepertigaku penuh rohmah

Tak maukah kau menjemputnya?

Aku mengangguk lemah, baiklah

Di sehampar sajadah tangan tengadah harapkan ijabah

Ilahi Mudahkan aku menuju nurMu

Limpahkan padaku rohmahMu

Kulihat malam kerlingkan mata seakan berkata

Aku takkan berhenti merayu agar tak jemu kau mengisiku dengan lantunan ilmu

agar tak bosan kau menghiasiku dengan kidung ayat keindahan

Rajagaluh Majalengka, Mei 2008

Direvisi di Ciganjur Nov 2009

Mudah-mudahan ‘Surya Purnama dan Delapan Bintang’ sebagai kelanjutan cerita ini bisa segera saya rampungkan. Amin




[1] “Neng, jika lahir, mau diberi nama siapa?”

[2] “Jika laki-laki Ujang, jika perempuan Neneng”

[3] “Nama yang bagus. Tapi Aa beri tambahan. Kalau laki-laki Ujang Muhammad, kalau perempuan Neneng Khodijah”

[4] “Ya. mudah-mudahan putra kita menjadi orang yang soleh atau solehah. Neng merasa takut, apalagi zaman sekarang. Anak-anak tetangga juga…”

[5] “Hup! Tidak usah diteruskan. Jangan menjelek-jelekkan orang lain. Kita berdo’a saja, mudah-mudahan putra putri kita di jaga”

[6] “Ya,amin”

[7] “Sekarang, Neng istirahat. Aa mau ambil air wudlu. Wiridan Qur’annya belum selesai”

[8] “Aa, Neng sudah tidak kuat”

[9] “Aa, Neng sudah tidak kuat”

[10] “Tolong pada semuanya untuk bersama-sama membaca sholawat Munjiyat. Mudah-mudahan Allah memberikan kelancaran”

[11] Ya Allah, berikanlah sholawat dan salam kepada junjungan kami Muhammad dengan sholawat yang Engkau menyelamatkan kami, dengan sebab sholawat itu, dari segala kesusahan dan marabahaya. Dan dengan sebab sholawat itu, Engkau memenuhi segala hajat, mensucikan kami dari segala keburukan, mengangkat kami ke derajat tertinggi, meluluskan kami ke tujuan tertinggi dari segala kebaikan selama hidup dan setelah mati.

[12] “lihatlah! Sangat tampan. Seperti ayah”

[13] “Ya. Tapi bibirnya mirip kamu”

[14] Di ambil dari kitab mauled karya Syekh al-Barzanji.

[15] “Al-hamdulillah, acara marhaba telah selesai. Mudah-mudahan Allah mencurahkan rohmat kepada kita semua. Saya atas nama tuan rumah akan mengumumkan nama untuk anak yang terlahir ini dan meminta dengan hormat kepada para sesepuh untuk berkenan mencukur rambutnya. Agar mempersingkat waktu, anak yang terlahir ini diberi nama oleh kedua orang tuanya dengan nama yang sangat bagus, yaitu Ujang Muhammad. Kita do’akan , semoga anak ini bias menjejaki langkah-langkah Nabi kita semua. Amin”

[16] Acara perayaan pemberian nama. Biasanya berisi pembacaan tahlil dan kitab-kitab maulid nabi.

[17] Tentang Pak Pur dan tujuh muridnya ini InsyaAllah akan diceritakan di novel selanjutnya yang berjudul Surya Purnama Dan Delapan Bintang.

[18] “Ujang, cita-citanya mau jadi apa?”

[19] “Mau jadi doktel”

[20] “dokter apa?”

[21] “dokter hati”

[22] “wah! Kamu ngaco. Di mana ada dokter hati? Yang ada dokter gigi, jantung, hewan”.

[23] Umi sih belum tahu, ujang kan sudah tahu”

[24] “tahu apa? Anak kemarin sore”

[25] “Umi, ujang disuruh bernyanyi oleh ibu guru”

[26] “coba, bernyanyi apa?”

[27] “Dengarkan ya!”

[28] “Duh!anak umi memang pintar.”

[29] “Umi, Ujang belum mengerti”

[30] “Apanya yang belum mengerti?”

[31] “Tuhan itu apa? Agama itu apa? Nabi itu apa? Kitab itu apa?”

[32] “Nanti juga kamu mengerti. Yuk! Sekarang makan dulu!”

[33] “Abi, si ujang bagaimana sih?”

[34] “Bagaimana apanya?”

[35] “Ujang itu kalau sedang bicara seperti bukan si ujang”.

[36] “Maksudnya?”.

[37] “Ujang kan Cuma anak kecil, tapi kalau bicara seperti orang yang sudah berpengetahuan”.

[38] “Wah,umi! Namanya anak kecil, kalau bicara semaunya, tidak pernah di fikir. biarkan saja! Paling-paling sekedar bicara mobl-mobilan, satria baja hitam”

[39] “Abi kok tidak percaya? Ujang itu kalau bertanya suka yang aneh-aneh”.

[40] “Aneh bagaimana?”

[41] “Coba saja, ditanya mau jadi ap, jawabnya mau jadi dokter hati. Terus, dia bilang umi belum tahu apa yang ujang sudah tahu. Kemarin, ujang bertanya sekaligus seperti wartawan. tuhan itu apa? agama itu apa? nabi itu apa? kitab itu apa?.

[42] “Ya sudah, sekarang Umi tidak usah banyak cerita. Ujang tidak akan apa-apa. Doakan saja, mudah-mudahan Ujang jadi anak yang soleh”.

[43] “Nanti jika sudah ada pengumuman dari sekolah, ujang segera berangkat ke pesantren”.

[44] “kenapa harus mesantren, Bi?

[45] Orang mesantren itu bagaimana?

[46] “Jang, di pesantren itu enak. Ujang Cuma di suruh ngaji, uang di kirim oleh abi. Pokoknya, kalau Ujang tidak betah dipesantren, Ujang orang paling bodoh”.

[47] “Sudah siap semuanya?”

[48] “Siap, tinggal berangkat”

[49] “aku harus pintar, aku harus mesantren”

[50] “kita ke kantor dulu, terus langsung sowan ke pak kyai”

[51] “Nak, orang yang diam dipesantren itu harus rajin mengaji, rajin sholat berjamaah, patuh pada guru-gurunya. Kalau sudah rajin mengaji nanti jadi orang yang pandai, kalau sudah rajin berjamaah nanti jadi orang yang benar, kalu sudah patuh pada guru nanti tidak jadi orang yang kebingungan”

[52] system pengajian satu persatu. Santri membaca kitab dan guru menyimak

[53] system pengajian bersama. Guru membaca, mengulas. Santri menyimak.

[54] Istilah hukuman yang ada di pesantren bagi santri-santri yang melanggar peraturan. Hukuman ini bervariasi tergantung tingkat pelanggaran yang dilakukan. Santri yang mencuri akan di guyur oleh air comberan kotoran santri. Yang ketahuan nonton bioskop akan di gunduli. Yang jarang masuk sekolah diniyyah akan disuruh membaca al-Quran sambil berdiri selama sekian jam, dsb.

[55] Gerimis bubar, istilah lain untuk menyebut film layar tancap.

[56] maksud: siswa anti gadis

[57] singk: No Action Talk Only

[58] Tentang siapa Pak Karta lebih jauh akan diceritakan dalam novel berjudul Surya Purnama Dan Delapan Bintang.

[59] “pindahnya mau kemana, nak?”

[60] “Ya, sudah. Kemana saja bagus. Tapi, kalau kamu mau, Mama punya teman di jawa timur. Orangnya sangat alim.. kamu sowan kesana. Ini alamatnya…”

[61] “Ya. Salamnya buat keluarga kamu.”

[62] “Jang, bangun! Sudah subuh”.

[63] “Jang, sudah siap semuanya?”

[64] “Sudah, bi”

[65] “Tadi malam abi membuat tulisan. Untuk jimat ujang disana nanti”

[66] “Ya. Nanti kalau ujang teringat abi dan umi, ujang buka tulisan itu”

[67] “Ini Jang..”

[68] “Umi kenapa?”

[69] “Tidak apa-apa. Umi hanya berfikir kapan kita bias berkumpul lagi. Umi merasa sedih”

[70] “Kenapa umi jadi begitu? Orang yang mau menuntut ilmu jangan dihalang-halangi”

[71] Sabarlah, Jang.

[72] Kelakuan yang baik harus diniati dengan niat yang baik. Apa saja yang kamu lakukan, asalkan itu baik, jangan lupa berniatlah dengan niat-niat yang baik agar banyak pahalanya

[73] Sesuaikan kelakuanmu dengan kehendak hatimu

Santri-santriku semua, dalam diri kalian terdapat nafsu, aqal, hati dan ruh. Jika kamu sudah tahu hal ini, aturlah tingkah lakumu agar sesuai dengan kehendak hatimu.

[74] Biasakanlah belajar dzikir.

Ketika kamu sholat hatimu berdzikir, ketika kamu membaca alquran hatimu berdzikir, ketika kamu menulis hatimu berdzikir, ketika kamu berangkat ke pasar hatimu tetap berdzikir. Apapun ketika sudah terbiasa tdak akan terasa berat.

[75] Jangan meninggalkan sholat berjamaah. Santri-santriku sekalian, aku merasa senang ketika melihat kalian semua rajin berjamaah. Sholat berjamaah itu besar pahalanya maka berat pula godaannya.

[76]Belajarlah tidak sombong. Tahukah kalian penyakit apa yang menyebabkan iblis diusir Allah? Tidak ada yang lain, sombong. Dia merasa lebih hebat daripada nabi adam. Hati-hatilah! Ketika kalian tahu bahwa kalian masih bodoh tapi tidak mau mengaji, itulah yang namanya sombong. Orang sombong itu musuhnya Tuhan.

[77] “Abi, apa Ujang sudah berkirim surat lagi?.”

[78] “Belum. Kemarin Abi menelpon.katanya, dia di tunjuk jadi badalnya Romo”

[79] “Badal itu apa?”

[80] “Jika Romo ada halangan mengajar, Ujang yang mewakili”

[81] “Baru juga tiga tahun”

[82] “Ya nggak tahu. Mungkin Ujang sudah bisa dipercaya oleh Romo”

[83] “Mas Ujang, anda dipanggil oleh Romo”

[84] “Ya Nus, saya segera kesana”

[85] “Jang, duduknya dikursi itu”

[86] “Jang, kamu tidak usah banyak Tanya, besok kamu pulang. Sampaikan salamku pada orang tuamu, lalu kamu berangkat ke daerah cianjur sukabumi. Carilah kyai sepuh bernama kyai purnama. orangnya putih, tidak berkumis, tidak berjenggot, punya putra satu yang masih muda dan bernama kyai bentang. Dialah yang akan menjadi gurumu”

[87] “Abi, Umi, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan”

[88] “Pertama,saya menyampaikan salam dari Romo yai. Kedua, saya minta izin pada Abi dan Umi untuk berangkat kembali esok hari”

[89] Masa baru satu hari sudah mau berangkat lagi?

[90] “Abi, Umi, kepulangan Ujang ini atas perintah Romo. Beliau memberikan amanat agar Ujang mencari orang yang akan menjadi guru pribadi yang bernama Kyai Purnama. Saya harus mencarinya di daerah cianjur sukabumi.

[91] “Mudah-mudahan kamu bias memenuhi amanat Romo”

[92] “ini Jang”.

[93] “Datangnya minggu kemarin.”

[94] ““Jangan pulang sebelum bertemu, kecuali ada perintah dari Romo. Abi yakin, ditengah perjalananmu nanti ada hal-hal yang akan membantu kamu menjalankan tugas”

[95] “Jang, kamu jangan lupa kirim kabar”

[96] “Pak, benarkah saya berbicara dengan Bapak Karta?”

[97] “Abi, ada surat dari Ujang”

[98] “Coba,dibacakan”

[99] “Abi, kenap Ujang jadi bersama pengusaha?”

[100] Diambil dari kumpulan puisi Chibrehom berjudul Angin tak searah angan

[101] “Jang, makan dulu”

[102] “Sudah siap, Bu?”

[103] “Sudah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar