Senin, 12 April 2010

Sarwitiku

SARWITIKU

MUTIARA PEMBANGUN JIWA

Ia gadis cantik berhati antik, wajahnya bersinar laksana rembulan malam, namun hatinya laksana matahari yang menyingkap kelam. Kata-katanya adalah untaian mutiara yang menjadikan wajahnya semakin menarik. Ia adalah bayangan dalam bayangan, impian dalam impian. Sungguh! Andai ia ada, aku, bahkan lelaki manapun ingin menyuntingnya.

Inilah mutiaranya padaku.

Biasakno kulinakno pengucapmu podho karo karepe atimu.

Dari balik cadarnya terurai penjelasan lembut, ucapan adalah cermin dari sesuatu yang tersembunyi, gambaran dari apa yang tak terlihat kecuali oleh Ilahi. Apa yang kau ucapkan adalah dorongan dari dalam diri, bisa jadi atas motivasi akal, nafsu atau hati. Maka perhatikan dalam dirimu siapa yang mendorongmu. Usahakan dia adalah hatimu.

Mutiara kedua menunjukkan kebersihan pikiran dari sesuatu yang menghalangi pengetahuan. Ia mau menyerap hal positif tanpa memandang siapa yang memancarkan.

“Imagination more than knowledge”.

Ia dalam kelembutannya berucap penuh tegap. imajinasi adalah penggabungan dari knowledge-knowledge yang engkau miliki. Aku hanya diam mencari pemahaman dari uraian singkatnya. Kutatap wajah lembut di balik cadar birunya. Ia balik menatap tanpa berucap, membiarkanku dalam gelap.

Tatapan masa depan akan menimbulkan kebingungan karena terlalu banyak kemungkinan.

Mutiara ketiga ini ia ucapkan sesaat sebelum kakak lelakinya berangkat menuju tempat akad pernikahan. Seraya menutup buku yang dibacanya, ia berkata padaku, “jalani saja apa yang ada di depanmu. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan hanya akan menjadikan apa yang kau lakukan sekarang tiada maksimal”.

]]]]

Dua hari berselang dari pertemuan pertama yang selalu terbayang, aku melangkah menuju rumah yang sederhana namun penuh tenang. Suara lembutnya yang selalu terngiang mempercepat langkahku agar segera menghampir datang.

“Jangan takut! Jangan menyesal”

Itulah mutiara keempat. Dengan dagu terangkat, ia menjelaskan penuh hangat, “lakukan apa yang positif, tak perlu takut arus yang kontradiktif. Lalu apapun hasilnya, terimalah! Jangan menyesal jika ia kurang memuaskan, karena penilaian dan penghargaan ada dalam usaha, bukan hasil usaha”.

“Separuh akalmu hilang saat syahwatmu menang”.

Mutiara ini terucap dari bibir yang hanya bisa kubayangkan merahnya, tak pernah ku lihat langsung manis senyumnya. Sarwitiku selalu tertutup dan menutup hal yang bersifat melanggar aturan yang ia yakini kebenarannya.

]]]]

Malam itu lewat telepon, aku yang berusaha merayu, harus tertunduk dengan mata sayu, bahkan menutup muka karena malu. Ia dengan tegas berucap, “aku tak mau melayani celoteh orang-orang yang kurang akal”. Lalu ia menutup telepon setelah melempar mutiara. Aku semakin kagum. Benarkah ia wanita zaman sekarang atau apakah ia jelmaan wanita zaman usang? Ketegasannya semakin membuatku penasaran, seperti apakah keperibadian yang ia miliki? Jangan-jangan itu hanya kedok belaka yang tak sejati. Aku melempar surat di depan pintunya yang tertutup rapat. Ia pun membalas singkat,

“Saat aku kenal apa, siapa, dan bagaimana diriku, akupun mengerti apa, siapa dan bagaimana selainku. Namun, saat-saat seperti itu selalu datang dan menghilang.”

Saat kutanyakan pada tetangga rumah tentang Sarwitiku, si tetangga menjawab, “ia tak pernah keluar kecuali ditemani mahramnya. Ialah gadis yang tak pernah berbicara kecuali nasehat yang terdengar membosankan”. Akupun semakin yakin, inilah belerang merah, gadis terindah di zaman serba mewah.

]]]]

Malam ini, ba’da isya, aku termenung sendiri. Entah melamun, entah merenung. Ibuku datang menghampir, membawa sepiring nasi berhias tahu tempe dua butir. Ia berkata:

“Ulah sok pusing! Wayah dahar, dahar! Wayah ngaji, ngaji! Wayah sholat, sholat!”

Aku hanya tersenyum. Satu ungkapan dari seorang yang sangat aku cinta. Kusimpan mutiara itu baik-baik. Aku berfikir, benarlah apa yang ibu ucapkan. Kadang-kadang kita bingung mengisi waktu. Padahal, jam demi jam, menit per menit, seharusnya terisi oleh aktifitas, sehingga tak membuatnya kosong dan terisi oleh kesia-siaan. Tak lama kemudian, ayahku datang menghampir karena melihatku makan dengan tatapan entah kemana.

“Kapusing jelema mah nuturkeun bae. Jadi, ulah sok pusing ku kapusing”.

Kembali aku tersenyum. Ya, masalah-masalah takkan berhenti menghinggapi hidung manusia. Itulah resiko yang Allah bebankan kepada makhluk bernama manusia.

]]]]

Aku beranjak menuju gagang telepon. Tiga hari aku tak berkunjung ke rumah Sarwitiku. Entahlah aku merasa rindu dengan nasehat-nasehat kolotnya.

“Bosanku bersama keabadian membawaku ke lembah kesedihan”.

Itulah mutiara yang kali ini ia hadiahkan. Ia bercerita tentang hari-harinya yang terkurung oleh dinding rumah panggung. Namun, ia merasa dirinya terbang jauh mengelilingi dunia dengan penuh agung. Ah, Sarwitiku. Aku belum sanggup menilai dan mengerti dirimu.

Optimisme adalah kaki gunung untuk mencapai puncak sukses agung.

Ini adalah api yang menyala-nyala membakar jiwa sarwitiku. Ia bercerita bagaimana ia berdarah-darah membangun satu akalnya untuk menahan gempuran sembilan nafsu. Aku hanya terpana, tak percaya mendengar celotehnya seraya mengelus dada saat ia berteriak lantang “mana sembilan akalmu?”

]]]]

Rasa yakin bisa terbangun dari pelajaran wahm dan syak.

Sarwitiku memberikan mutiara ini setelah bercerita tentang pergulatan batin seorang pemuda bernama kholil. Wahm dan syak menyerang fikirannya, sehingga ia mengalami luka parah “krisis keimanan”. Namun setelah ia susah payah berobat , ia menemukan keyakinan lamanya kembali dan berdiri kokoh menantang derasnya pemikiran intelektual yang berseberang.

Kamu akan merasa atau tampak bingung saat tak melakukan apa yang mesti dilakukan.

Mutiara ini kudapat saat berkali-kali menghubungi gadis itu. Mungkin ia bosan karena aku selalu datang dan datang dengan alasan kerinduan. Ia dengan tegas berucap, “banyak yang harus kau lakukan selain menghubungiku” . “ya, tapi..”. Ia langsung memotong,

“Pelajari dan telaah apa yang ada dalam dirimu, maka kau akan tahu mana sisi lebih dan kurangmu".

Ia menutup teleponnya. Aku tahu ia sedang asyik dengan Al-qur’an sehingga tak mau diganggu. Aku pun meletakkan gagang telepon dan beranjak ke pembaringan merenungi ucapan gadis yang ternyata telah mencuri hati dan mencuci otakku.

]]]]

Tiga bulan aku kehilangan Sarwiti. Bukan ia pergi atau tak mau menemuiku, tapi karena aku memang sedang berada jauh. Aku sedang menyejukkan pandanganku. Di kampung ini, aku ada di alam yang masih belum terjamah oleh tangan-tangan canggih yang tak jarang berhati hitam putih. Rasa rindu mengajakku untuk pergi sejenak ke kota yang penuh onak. Kuhampiri wartel, ku pijit nomor sarwitiku. Kami berkomunikasi hangat, lebih hangat dari sebelumnya. Kali ini, ucapannya agak terbumbui canda tawa, namun tetap tak kehingan kata-kata yang patut kubawa. Kali ini, ia mau ku rayu, namun aku terlanjur merasa malu. Ia bercerita bagaimana orang lain mencibir dirinya, mengejek apa yang menjadi kebiasaannya. Namun ia tersenyum dan berkata

Ejekan mereka adalah urea penyubur keberhasilan

Ia juga berkisah tentang keheningan, kesendirian, kesunyian. Gadis antik ini terbang membawaku ke alam khayal. Dunia yang tak terinjak kaki kasar. Aku “mabuk laut” dibuatnya. Ah, Sarwiti…siapa dirimu? Aku telah kau buat linglung

Imajinasi membawa diri ke alam antah berantah, berkawah dolalah, bertaman hidayah.

Nafsuku bergolak. Berkali-kali ku gapai buah cinta Sarwiti. Namun pohonnya terlalu tinggi. Ia terlalu angkuh bagiku yang tak bisa kukuh. Ah…wanita bukan kamu saja. Sarbo’ah, Sarkunah, Saritem, dan Sar-Sar yang lain masih bisa kugapai. Persetan denganmu Sarwiti! Aku marah, mukaku merah, aku kalah..

]]]]

Malam ini aku tercengang, kaget bukan kepalang. Sarwiti menelponku dan berucap singkat,

Lawan jenis adalah jenis lawan yang sulit di lawan.

Apakah ini pertanda buah cintanya jatuh? Apakah ini pertanda tembok kukuhnya runtuh? Entahlah, ia sulit kutebak, bahkan berkali-kali aku terjebak.

]]]]

Ketenangan jiwa akan timbul saat ia merasa dilindungi, dinaungi, diiringi Dzat Absolut. Namun, itu bukan tujuan utama para peñata hati, karena siapapun bisa memperolehnya tanpa peduli siapa Dzat absolut yang ia rasakan.

Aku peroleh mutiara ini dari seorang penjual kopi, Kang Ahmad. Aku biasa nongkrong di kedainya jika suntuk datang mengamuk. Bagiku, Kang Ahmad adalah sosok yang sederhana namun berwibawa, ia banyak berbicara tentang berbagai sisi kehidupan. Susah, resah, gelisah, marah, cemas tak tentu arah, atau antonim-antonimnya adalah fenomena jiwa yang tak pernah lepas dari manusia. Simaklah ucapannya..

Kesedihan akan satu kesalahan adalah kebahagiaan jika disertai susulan kebaikan.

Seraya menyuguhkan kopi pahit yang aku pesan, ia menjelaskan “ketika kesadaran menyentuh hati kita sehingga ia merasakan kesedihan karena berbuat kesalahan, maka itulah kebahagiaan jika kita tergerak untuk memperbaikinya. Jika tidak, maka itulah kesedihan setan, bukan timbul dari kesadaran. Kang Ahmad duduk di depanku, menatap dalam-dalam dan seakan menangkap raut sedih di wajahku. Ia pun tersenyum lalu berucap pelan penuh keyakinan:

Yakinlah, setelah malam merasa bosan, siang datang dengan senyuman. inilah kesabaran.

Aku mengangguk tanda mengerti, walau tak yakin, bisakah aku menunggu kepergian sang malam? Lalu, aku bercerita tentang emosiku yang kadang meledak-ledak tak tertahan. Kuceritakan adik yang kudamprat karena tak segera sholat, sobat yang kusemprot karena ketahuan berbuat sesuatu yang kotor penuh madorot, diriku sendiri yang tak mampu menahan diri padahal orang lain kuceramahi. Ah, ternyata Kang Ahmad hanya tersenyum lalu bertanya,

“kenapa harus marah? Bukankah semua telah tertata rapi dalam catatan yang tak terbantah?”

Ia lalu menjelaskan, kamu boleh menampakkan kemarahan agar mereka mau meninggalkan dan memperbaiki kesalahan. Namun, awasi kedalaman dirimu, jangan sampai ia terselimuti kemarahan yang engkau tampakkan. Ia harus tetap sadar bahwa itupun bagian dari kehendak Allah yang penuh keagungan.

Aku pamit dari kedai Kang Ahmad, pulang menyusuri lorong-lorong pasar yang mulai sibuk, padahal masih jam 2 dinihari. Kuperhatikan wajah-wajah yang masih berbau bantal yang dipaksa oleh tuntutan kebutuhan vital. Mereka harus rela berkorban untuk mencari dan menutupi kebutuhan sandang pangan yang tak bisa ditinggal.

Nafsu tunduk pada akal fikiran. Akalmu tunduk pada syariat tuntunan. Hatimu ramai oleh asma Tuhan. Jiwamu damai penuh ketenangan.

Sedih? Susah? Bukankah engkau telah berucap syahadah.

]]]]

Hari-hariku tampak lebih berbunga, ia lebih cerah daripada matahari yang tak tertutup awan. Kenapa? Sarwitiku jatuh hati, tembok kukuhnya benar-benar runtuh. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya, ia melemah, ia berubah. Namun, mulutnya tetap bermutiara indah.

Ketakutan, cemas, merupakan satu tanda bahwa hati terselimut kelalaian.

Itulah ucapannya setelah ia bercerita tentang teman satu asramanya yang selalu dilanda khawatir lelaki yang ia harapkan berpindah ke lain ladang. Ia menjelaskan, jika hatinya tak lupa untuk menyerahkan urusan pada Dzat yang penuh keagungan, maka takut dan cemas takkan menghantui fikiran. Aku semakin yakin dengan pilihanku padanya, putri bungsu Haji Bakar. Sarwiti dengan cintanya semakin membuat hatiku panas terbakar. Ah, aku tak mau tersiksa oleh lamunan yang mengakar. Akupun segera menghadap kedua orang tua untuk memberi kabar. Mereka terdiam sejenak lalu berujar,

Penyesalan adalah buah kecerobohan.

Mereka menganggapku masih belum cukup untuk melangkah ke pelaminan. Mereka menganggap usiaku masih berpotensi untuk menggapai menara pengetahuan. Mereka memberi saran agar aku mau sebentar menahan. Sehingga rasa sesal tak datang di hari kemudian. Aku memandangi diri sendiri, lembaran demi lembaran telah kulewati, hitam putih menghias silih berganti. Ah, aku tak ingin bayangan-bayangan wanita haram mengunci hati. Aku harus segera menutup mataku dan mencari istri. Ayahku memandang lembut menembus ulu hati, ia lalu berucap penuh kebijakan,

“Jangan berlebih menyalahkan diri. Walau dalam kubangan kesalahan, ia tetap berpotensi untuk berbuat kebaikan”.

Akupun menyerah. Kuterima saran ibu dan ayah. Kutahan syahwatku yang hendak membuncah.

Berbaik sangka pada siapa dan apapun yang terjadi adalah energy positif untuk membentengi fikiran dari serangan serdadu kecemasan.

Itulah ucapan Sarwitiku saat kuutarakan kekhawatiranku akan kehilangannya. Ia menegaskan “jika memang kita dijodohkan Tuhan, bentangan samudera takkan mampu menjadi halangan. Sebaliknya, maka Allah teiah menyiapkan jalan yang lebih mengandung kemaslahatan.

]]]]

Hubungan kami mulai merenggang. Aku asyik kembali dengan cita-citaku yang sebentar mengambang. Aku berangkat jauh meninggalkan kampung halaman. Kukejar kembali liarnya ilmu pengetahuan. Kuabdikan diri kepada guru panutan, pengantar ruhku untuk semakin mengenal diri yang penuh kelemahan, ialah Kang Mahmud Adnan.

Tataplah jauh dalam jiwamu. Ia tak pernah berhenti berucap. Maka, fahamilah siapa yang menguasai hatimu.

Inilah pesan pertama saat aku menghadap sowan. Lalu beliau memberiku wejangan tambahan,

Wekel belajar, mengko pinter. Sholat jamaah, lakonmu bener. Manut guru, atimu ora keder.

Sendirilah dalam keramaian. Ramailah dalam kesendirian. Temukanlah mutiara dalam samudera keheningan.

Beliau berbisik pelan, “kamu akan mengerti sendiri”. Aku mengundurkan diri dengan hati penuh harapan.

]]]]

Aku duduk termangu menatap teman-temanku yang sedang ramai di dapur umum. Suasana yang tak asing menghiasi hari-hari santri. Zaid, seniorku datang menghampir. Kami berbincang laksana air mengalir. Ia bercerita masa lalu yang bernoda merah dan menjadikannya sering gelisah. Ia merasa bayangan kelam kehidupan malam yang berhasil ia tinggalkan selalu datang menghantu sehingga membuat fikirannya kacau tak menentu. Apalagi jika setan candu menusuk tulang hingga ngilu. Air matanya menetes mengiringi ucapannya, menyitir pesan dokter yang setia mengasuh dan mengais imannya yang hampir habis terkikis.

Sibukkan dirimu dengan kegiatan positif agar setan kegelisahan tak punya celah memasukimu

Aku tertegun mendengar kisahnya. Lalu ia berucap,

Dosa-dosa yang kita lakukan adalah pelajaran agar kita tahu betapa luas Allah menyediakan samudera pengampunan.

Sekali lagi air matanya terjatuh. Ia kembali berucap, membalikkan pepatah yang sering terucap,

Badan yang sehat terdapat dalam jiwa yang sehat

Aku terbang membawa mutiara-mutiara yang ia suguhkan. Kurangkaikan menjadi hiasan yang memperindah irama kehidupan.

]]]]

Kang Mahmud memberikan pengajian kepada kami selepas dluha hingga menjelang jamaah dzuhur.

Kesadaran bahwa kita tak ubahnya wayang-wayang yang tak berdaya ditangan sang dalang merupakan pondasi untuk membangun mental yang kuat.

Kekosongan waktu adalah peluang bagi tentara nafsu dan setan untuk menyarangkan peluru kelalaian.

Ah, aku masih terlalu tandus untuk ditanami pepohonan. Apa yang di ucapkan Akang kali ini berupa pelajaran yang tak bisa diiyakan jika belum dirasakan. Ba’da jama’ah, para santri kembali ketempat peraduan melepas penat. Kamar 2X2 tak terasa sempit jika hatiku tak sedang sempit. Kulihat tulisan dinding bilik,

Dengan tauhid akidahmu putih. Dengan fikih lahirmu bersih. Dengan tasawwuf batinmu jernih.

]]]]

Pagi ini, semua telah kupersiapkan. Tiga tahun berlalu dengan semua kenangan. Keluargaku datang menjemput untuk berpamitan pada guru yang telah memberiku banyak teladan, berterima kasih atas segala kerelaan berkorban memberi pendidikan, meminta do’a agar apa yang telah diterima dipenuhi keberkahan. Kang Mahmud memberiku tulisan yang takkan pernah kulupakan.

Ketika pusat fikirmu adalah ibadah, engkau takkan lagi merasa resah, hatimu telah benar pasrah, lakumu lurus tak tergoyah, wajahmu selalu tampak cerah, apapun yang terjadi terasa indah. Namun, untuk sampai kesana sangatlah susah.

]]]]

Tiga tahun renggang tak membuat hubungan kami terhalang. Sarwitiku masih setia menunggu tanpa bimbang. Ia bercerita bahwa dua lelaki telah datang meminang. Lelaki terakhir ialah sobatku sendiri yang kini sedang menunggu jawaban datang. Sarwitiku tersenyum tenang seolah menantang, apakah aku sanggup menahan badai yang siap menerjang. Dia berteriak memberi semangat bahwa akulah yang harus menang.

Buatlah apa yang menurut mereka tidak mungkin menjadi mungkin dengan rasa yakin.

]]]]

Satu bulan berlalu. Semua tampak kelabu. Mataku tertunduk layu. Namun ia tampak tersenyum tegar, memberi semangat pada hatiku yang terbakar.

Keinginanmu untuk berfikir dan merenung menuntutmu untuk tak banyak bicara.

Itulah ucapan yang ia berikan saat kuberikan selamat bersanding di pelaminan. Sobatku tersenyum getir,entah kepuasan atau penyesalan? Kepuasan karena melihatku kelimpungan, atau penyesalan karena telah menyalipku di tikungan tanpa memberi peringatan. Ah, ternyata kita tak berjodoh. Kuharap diriku tak menjadi dungu dan bodoh, bisa menahan diri dari laku ceroboh.

Sarwiti, dirimu tak bisa kumiliki. Namun mutiara jiwamu telah terpatri, menghiasi hati yang terselimut sepi. Sarwiti, jangan kau usir aku dari pintu nasehatmu. Dengan begitu, mungkin kutemukan Sarwitiku, walau bukan dirimu.

Sulit untuk menghilangkan rasa yang telah menancap dalam relung jiwa. Namun, perasaan bukanlah segalanya. Aku harus bangkit dari kelemahan yang mendera. Kutatap kembali mutiara Sarwitiku yang tersimpan,

Jangan pernah gentar untuk melawan arus yang tak benar

Percikan api semangatnya menghangatkan hatiku yang kedinginan. Ya, jiwa yang saling mencinta bisa tetap berbagi cerita tanpa tubuh yang kasat mata. Ya, jiwakulah yang kini berkelana menembus dinding lahir Sarwiti. Ia tetap di sisiku, nasehatnya selalu mengikutiku. Jiwaku dan jiwanya telah bersatu walau raga tak menyatu. Setiap malam kami bercinta, berbagi cerita, saling berbangga mutiara, saling mengingatkan. Ya, Sarwiti tetap milikku walau tak ada yang tahu. Aku semakin asyik menyendiri, menyepi, karena Sarwiti datang menemani. Inilah, mereka yang bodoh berkata, aku gila. Mereka yang tak tahu berucap, aku tak sadar. Mereka yang tak berilmu berujar, aku hilang akal. Kami hanya tersenyum. Ia berpesan dalam persembunyian

Proses untuk merasakan sadar akan siapa dibalik diri kadang butuh rasa tak sadar.

Ayahku kelimpungan, ibuku kelabakan, keluargaku di selimuti kecemasan. Pintu kamarku digedor, kesendirianku diteror, tubuhku dianggap kotor. Aku disuruh kembali bergaul, bercengkrama, bersosial. Dari jauh, Sarwitiku tersenyum memberi ketenangan, menyuruhku untuk ikuti apa yang mereka inginkan. Namun ia mengingatkan,

Pancaran air dari dalam jiwa akan banyak terhambat saat saluran air inderawi tiada tersumbat.

Lalu ia memberiku secarik kertas yang bertuliskan,

Cinta hanya indah kepada Allah.

]]]]

Satu tahun terasa begitu cepat. Dibawah bimbingan seorang yang penuh oleh ilmu dan hikmat, seorang yang menjadi guru sekaligus sahabat, aku kembali sadar dan ingat. Wajah orang tuaku terlihat berbinar melihatku kembali sehat. Aku terus belajar dan belajar. Ya, Muhammad bin Ahmad kini telah kembali bersinar.

Kehidupan ini penuh onak dan duri. Jika kau tak mampu membawa diri, maka kau akan mati tak punya harga diri. Pamanku, kholid tak pernah bosan memberi kesemangatan agar aku bisa kembali berdiri, membaca kehidupan vertikal horizontal agar mampu membaca diri.

Ha…ha..ha.. Aku tertawa sendiri. Sarwitiku kembali hadir menghiasi hari. Namun, kini aku sanggup menguasai diri. Ia membawakan pelajaran lewat kulit, mata, telinga juga hati. Ia datang saat kuundang, dikala hati bimbang. Malam ini ia berpesan seraya tersenyum penuh sayang,

Ketahui semua yang kau ucapkan. Tapi, tak semua yang kau tahu harus kau ucapkan.

]]]]

Aku kembali berangkat mengarungi samudera ilmu. Kenangan lama biarlah berlalu. Aku bangkit penuh ketegaran. Kugali khazanah ulama yang mulai disepelekan.

Istiqomah leuwih mulya tibatan karomah, ngan gogodana sok tara kabeuli uyah.

Gunakan minyak unta cap unta, selidiki minyak unta cap babi, hati-hati minyak babi cap unta, buang minyak babi cap babi.

Hidupku kembali bergairah. Gadis itu bernama Mutiara Aisyah. Ia sama dengan Sarwiti. Gadis pembakar kesemangatan hati. Lihat ucapannya yang penuh arti,

Jeritkan oleh hatimu: selamat tinggal susah, selamat tinggal gelisah, selamat tinggal resah. Tersenyum dan patrikan dalam hatimu: masa depanku cerah karena mulai hari ini aku tak bersahabat dengan rasa gundah. Melangkahlah dengan wajah tengadah, hati pasrah, semangat membuncah. Raih dan kejar mimpimu yang indah. Tataplah singgasana suksesmu dengan mata merah, hidung yang tak merekah, mulut yang tak pernah marah, leher yang tegak tak goyah, hiduplah dengan basmalah.

Tiga bulan sejak awal perkenalan, segera keluargaku memusyawarahkan untuk datang dengan pinangan, karena aku tak mau lagi kehilangan. Dengarlah ia menyanyi merdu, melantunkan syair penuh makna dengan nada rindu,

هنّ لباس لكم * أنتم لباس لهنّ

Syair yang ia gubah dari Al-quran kalam suci nan indah. Iapun mengutarakan ungkapan gurunya di Surabaya tentang bagaimana mencari pasangan hidup,

Golek bojo iku koyo golek konco

Mencari suami atau istri sama dengan mencari teman, tak melulu cantik atau tampan, yang terpenting kecocokan yang tumbuhkan kebahagiaan.

]]]]

Bulan syawal tanggal 21, hari jum’at pukul 08.00 adalah sejarah yang takkan terlupakan. Aku mengikrarkan akad pernikahan. Wanita itu, Mutiara binti H. Mahmud benar-benar menggantikan Sarwitiku yang hilang. Ia selalu hadir disaat suami butuh kehangatan bibir. Ia selalu setia menjaga komitmen yang kami buat bersama. Kata-katanya menjadi api yang menjalarkan panas kedalam jiwaku yang kedinginan.

Kita takkan menjadi besar tanpa tempaan keras dan kasar. Hadapi semua persoalan dengan tanpa gusar, jiwa yang penuh sabar, keberanian yang tak memudar, mental yang tak pernah merasa gentar. Anggaplah topan masalah sebagai sepoi angin segar yang jadikan kita semakin gagah dan tegar.

Itulah yang ia ucapkan saat himpitan ekonomi mendera kehidupan rumah tangga kami, saat cibiran-cibiran datang menyerang kami, saat antrian masalah menunggu penyelesaian kami.

Aku sungguh beruntung mendapatkan Mutiara. Dengarlah ucapannya tentang harta,

Gila harta adalah pangkal sengsara. Saat ia tiada, fikiran gundah gulana. Saat ia ada kita bakhil tak terkira.

Mutiraku penuh sanjungan. Dirimu adalah dambaan. Engkau adalah keindahan. Penguat jiwa, pengasah rasa. Engkau segalanya. Dengarlah uraiannya tentang kaum perempuan, para pejantan, keagungan Tuhan.

Dalam lemah ada kekuatan. Dalam kuat ada kelemahan. Hanya Tuhan yang tak berlawan.

Tutuplah dua matamu, terbukalah pintu hatimu. Bisukan mulutmu terdengarlah lonceng jiwamu.

Suaranya yang merdu selalu kurindu manakala kesempitan datang mengganggu. Dengarlah ia bernyanyi dengan bahar kamil majzu, menghibur kefakiran suami yang sedang sendu,

وإذا افتقرت فلا تكن * متجشعا وتجملي

]]]]

Malam ini, kuayunkan kaki menuju kedai Kang Ahmad. Lama tak jumpa, kami asyik berbagi cerita. Dua jam berlalu tiada terasa. Ia memberiku tiga mutiara.

Kita akan merasa sesak saat tak melakukan sesuatu yang tak di setujui hati. Maka sesuaikan lakumu dengan suara hati yang telah merdeka dari jajahan nafsu, setan bahkan akal sekalipun.

Sembuhkan lidahmu, tampaklah seribu rasa. Tajamkan pandanganmu, tampaklah seribu warna. Kebaikan akan selalu berbeda walau berada diantara kejahatan yang berjuta dan berbaju kebaikan.

Balon gas takkan terbang dengan warnanya.

]]]]

Lima tahun berlalu. Sarwiti tampak bercengkrama dengan suami. Perjalanan terjal berliku dilewati bersama. Saling memahami, saling mengerti merupakan modal untuk menjalankan roda rumah tangga.

Kubur dirimu di tanah kebesaran orang-orang yang berjiwa besar. Maka kau akan tumbuh subur dan mengakar.

Itulah tekad Sarwiti terhadap bocah tampan yang sedang dalam pangkuan. Ia ingin anaknya menjadi seorang yang haus pengetahuan, tekun dengan pengamalan, mengenal kelemahan diri dan keagungan Tuhan.

]]]]

Aku bersenda gurau dengan istriku tercinta, memadu kasih berbagi rasa, disamping kami tertidur pulas buah hati benih cinta. Di saat-saat seperti inilah semua masalah terbang, berganti rasa lapang. Mutiaraku berucap tenang:

Beban terberat dalam hidup ini adalah merasa terbebani

Kesempatan bersilaturrahim pada guru sangat sulit kudapat, ada saja halangan jika tak memaksakan diri walau berat. Kang Mahmud Adnan mewanti-wantiku dengan sangat:

Jaga lisanmu, maka kamu akan terjaga

Beliau bercerita tentang fitnah dan tudingan teman-temannya akibat kurang menjaga lisan, saat keasyikan mengungkap tabir larangan yang seharusnya dirahasiakan.

]]]]

Aku asyik membaca buku pemberian Kang Ahmad. bacalah!

Sungguh, saat aku asyik dengan sesamaku, aku merasa merana meninggalkanMU.

Ini adalah ungkapan perasaan yang mendalam tentang rasa cinta hamba terhadap Tuhannya. Kita yang mendengar akan bisa melihat apakah ucapan itu penuh kejujuran atau hanya kepandaian bermain kata. Satu hal yang perlu diingat, kecintaan kepada Allah tak bisa dibenarkan kecuali dengan ketaatan bersyariat.

Ketika engkau bekerja untuk Allah, maka alam akan bekerja untuk engkau.

Ini adalah pancaran dari keyakinan yang mendalam akan halnya Allah sebagai نعم الوكيل dan نعم النصير.

Ahhh………….., aku mengantuk, dasar setan! Tak boleh saja aku membaca ilmu Tuhan.

]]]]

Luka itu masih basah. Entah apakah ia akan sembuh atau akan semakin parah. Masih terasa bagaimana ia dengan tidak hormat merebut Sarwitiku. Sobatku sendiri tega berlaku licik menghasut Haji Bakar sehingga tak memberikan anaknya padaku. Berkali-kali Mutiara menasehatiku:

Memaafkan kesalahan merupakan ramuan mujarab untuk mengendurkan urat syaraf yang menegang.

Namun, nafsu amarah sulit kucegah. Walau begitu, mungkin Allah masih sangat mengasihi kami. Malam ini, sobatku datang dengan sarwitiku yang selalu tersenyum. Aku, mutiara, sobatku, sarwitiku berkumpul. Setelah semua kerumitan terurai, kami saling berjabat penuh damai.

]]]]

Sepuluh tahun terlewati membuat angka 40 semakin terdekati. Putri tunggalku telah menjadi remaja yang cantik jelita pujaan hati. Kami mendidiknya penuh cinta yang tak pernah mati.

Su’ada putriku….

Kejarlah ilmu pengetahuan hingga diri sadar bahwa ia penuh ketidaktahuan, dan merasakan betapa luas hamparan ilmu Tuhan.

Su’ada putriku….

Satu kali engkau berbohong maka engkau akan melakukan sekian keboohongan untuk menutupi kebohonganmu.

]]]]

Sobatku Ibrahim dan istrinya Sarwiti tampak lebih bisa berbangga dengan buah hatinya. Umar, ia telah menjadi pemuda tampan dan terpelajar. Kehausan akan ilmu agama membuat dirinya liar berkelana ke tanah-tanah Ulama. Satu hal yang ia patrikan dalam dirinya

إقبال النّاس قبل الكمال سم قتيل

Umar bertekad takkan berhenti mengarungi samudera ilmu jika belum menginjak usia 40. Batasan yang ia buat sendiri untuk mengisi arti الكمال.

]]]]

Ayahku semakin udzur, usianya hampir menginjak 70 tahun. Ia tampak lemah terbaring, namun senyumnya selalu tersungging. Aku duduk disampingnya, menemani ibuku yang tampak kelelahan tertidur berbantal tangan suaminya.

Sakit tubuhmu akan terasa semakin sakit jika disertai hatimu yang sakit.

Itulah ucapan yang kudengar dari kawan ayah yang datang menjenguk. Ia menjelaskan lebih jauh, jika hatimu sadar siapa yang memberi rasa sakit di tubuhmu, maka rasa sakit itu hanya akan terasa seperti semut yang menggigit atau kekasih yang manja mencubit.

]]]]

Kang Ahmad, penjual kopi yang sering kukunjungi tampak tak begitu jauh berubah. Ia masih tetap sederhana walau kini statusnya berubah. Ia tetap penuh wibawa dengan segala mutiara ilmu yang indah. Kukunjungi rumahnya yang kini tampak mewah. Seperti dulu, kami berbagi kisah, saling memberi nasihat yang terdengar menggugah.

Allah benci “terlalu”.

Di atas langit ada langit, di atas kebenaran ada kebenaran.

Itulah oleh-oleh yang ia bingkiskan sebelum aku berpamitan.

]]]]

Umar bin Ibrohim semakin menuju puncak kematangan.

Tak ada harimau yang memakan rumput, tak ada kambing yang memakan daging.

Itulah perumpamaan untuknya yang penuh dengan pengetahuan. Ia laksana macan yang takkan bergaul dengan selain macan dan tak makan selain makanan macan. Tak ada yang meragukan kapasitasnya sebagai intelektual sekaligus spiritual muda.

Mutiara kata mudah di rangkai, mudah di hafal, mudah dipahami namun tak mudah dilakutingkahkan.

Ya, ia bukan hanya bicara tanpa fakta. Apa yang ia mengerti ia amalkan. Ia bukan hanya dokter gigi, tapi juga dokter hati. Ia bukan hanya mengolah raga, tapi juga mengolah jiwa. Lihatlah ucapan-ucapannya!

Tubuh ini ibarat kerajaan. Hatiku adalah raja mulia, akal dan nafsuku menteri cendekia, panca indraku bala tentara. Aturlah semua komponen kerajaanmu, maka ia akan berjaya.

Nek iyo moso ora, nek ora moso iyo.

كلّ حزب بما لديهم فرحون

أتى أمر ربّي * فلا أستعجله * فما يقضى يأتيك

Bersihkan fikiran dari kotoran nafsu dan setan. Maka kita bisa mengambil pelajaran dari setiap sudut kehidupan.

Bagimana kita tinggi menjulang jika takut badai menerjang? Bagaimana bisa sekokoh karang jika tak mau bertemu gelombang? Jadilah rumput yang selalu sabar diinjak orang atau kerikil yang hanyut oleh air mengambang jika nafsu tak kau kekang.

Ia adalah pembakar semangat,

Jeritkan oleh mulut hatimu; akulah, akulah, akulah yang akan menggenggam dunia. Akulah, akulah, akulah yang tak tunduk dikaki dunia. Akulah, akulah, akulah yang akan selalu berdiri tersenyum tenang. Aku punya Tuhan. Aku punya keyakinan.

Engkau telah kalah saat berbisik “aku lelah”.

Siapa kau? Siapa mereka? Siapa kita? Siapa aku? Tak ada yang beda. Tak perlu takut. sebutlah

الله ربّي الله ظلّي الله دمي

أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله

Ia adalah manusia rakus pengetahuan

Satu ketololan dari sekian ribu ketololan jika engkau punya sangkaan bahwa engkau punya pengetahuan.

]]]]

لا أقعد الجبن عن الهيجاء * ولو توالت زمر الأعداء

Aku terbangun kaget. Ah, aku bermimpi menyanyikan satu bait Alfiyah ibnu malik berulang-ulang bersama ratusan pemuda berpeci putih. Aku tertegun. Ah, ini cuma mimpi biasa, fikirku. Istriku menatap heran lalu bertanya penasaran. Kujawab tanpa ada yang kusembunyikan. Masalah yang sedang melanda fikiran dan mimpi yang mengherankan. Ia menyahut dengan satu bait Al-juman,

من سلم الأنام من لسانه * ويده فمسلم لشأنه

Ia lalu menjelaskan, sebaiknya engkau mengalah dan tak melakukan perlawanan. Biarkanlah orang yang menghadang perjuangan, orang yang hasud pada ni’mat yang kita rasakan, dibalas oleh Allah dengan kehancuran tanpa ada campur tangan kita yang tak punya kekuatan. Akupun mengiyakan. Kukecup dahinya dengan penuh kelembutan, telah lama kami menjalin rumah tangga penuh kedamaian. Su’ada putriku telah menginjak usia yang cukup untuk menjalani pernikahan. Ia tumbuh sebagai mawar yang penuh tegar, melati yang rendah hati, aktif, kreatif dan inspiratif. Dengarlah ucapannya,

Ambisi membuatmu lelah. Pesimis membuatmu kalah. Konsekwen membuatmu tak goyah. Konsentrasi membuatmu terarah. Ridlo membuatmu sumringah.

Nasehat orang lain terasa pahit. Maka nasehatilah dirimu sendiri.

Jika engkau merasa berat menghadapi masalah, ungkapkanlah pada mereka yang mampu meringankan. Tapi, Sebaik-baik tempat mengadu adalah Allah.

Karya yang hidup adalah hidup yang penuh karya.

]]]]

Umar, pemuda penuh pengalaman, kaya pengetahuan, tetaplah seorang manusia yang lemah dan tak luput dari masalah. Ketegarannya mengarungi samudra ilmu hampir roboh oleh kelemahlembutan Siti, gadis belia putri bungsu Kang Ahmad, mantan pedagang kopi. Lihatlah ia sedang disidang oleh ayahnya.

Kedewasaan jiwa adalah kemampuan menyikapi setiap keadaan sehingga semua tampak tiada berbeda.

Kunjungilah taman kalam suci saat datang deraan gelisah.

Itulah ucapan terakhir ayahnya yang harus ia renungkan. Apakah ia harus kalah oleh kelembutan wanita dan mengorbankan proses belajar yang masih panjang jalan? ataukah keinginan itu harus ditahan, atau bahkan belajar dan pernikahan disatukan?

]]]]

Semua yang kita miliki akan sirna, tak ada yang abadi kecuali yang sempurna.

Kematian merupakan gerbang kehidupan para perindu Tuhan.

Ayahku menghembuskan nafas yang terakhir, kulihat ibuku menangis walau berusaha tegar.

Musibah datang tanpa diundang, pakailah tameng kesabaran sebagai penghadang. Setelah bosan ia pergi menghilang, berganti kemudahan dan rasa lapang.

]]]]

Deraan masalah terus menjadi sahabat, usahaku sekarat, hutang berlipat-lipat. Ah, aku gelisah, aku susah.

ما عندكم لا يبقى * ما عند ربّي يبقى

Apapun keinginanmu, setinggi apapun cita-citamu, sekeras apapun usahamu, sekhusyu’ apapun do’amu, semua takkan sanggup merobek kertas takdir Tuhanmu.

Kenapa harus sedih? susah? kamu tak sendiri, ada banyak wakil-wakil tuhan yang akan mengatasi dan membantumu.

Itulah hiburan istriku tercinta, Mutiara.

]]]]

Sengaja aku mengunjungi Kang Ahmad. Kuutarakan maksud dan masalahku, ia hanya tersenyum lalu berucap:

Membalas budi lebih berat daripada membayar hutang.

Ia mau membantuku menutup hutang tanpa harus aku membayar lagi kepadanya. Entahlah apakah aku kurang bersyukur sehingga apa yang ada padaku dicabutNya.

Tataplah dirimu di cermin. Lihat! Betapa sempurna Allah menciptamu. Wajah, leher, tangan, kaki. Ah, sungguh kita telah banyak melupakan karunia yang tak ternilai.

Kutatap cermin, tampak wajah yang mulai senja. Ah, aku belum berbuat apapun yang bermanfaat bagi sesama.

Berbuatlah tanpa peduli apakah perbuatanmu dihargai atau tidak.

Istriku datang menghampir. Mutiaranya laksana air mengalir,

Tak semua yang kita suka bisa kita miliki, namun sukailah apa yang kita miliki.

Memelihara apa yang ada di tangan lebih baik dari pada mengejar apa yang ada diudara.

Aku tersenyum, kutanya apakah engkau belum mau punya cucu? ia menjawab, anak kita telah pantas bersanding di pelaminan biru.

]]]]

Umar telah mengambil keputusan, ia harus menikah agar lebih bisa menjauhi perangkap setan. Namun, ia tetap bertekad takkan meninggalkan samudera pengetahuan. Setelah proses berjalan, iapun menyunting gadis impian, Siti binti Ahmad, anak sang penjual kopi yang menemukan kesuksesan.

Sombong adalah penghalang kesuksesan

Tanpa landasan moral manusia bukanlah manusia sempurna. Moral sempurna adalah ajaran agama.

]]]]

“Chikal…Chikal… bangun. Udah sholat ashar beluum? Mau maghrib nih..” terdengar suara Umi berteriak. Aku terbangun. Kututup buku “Sarwitiku mutiara pembangun jiwa” yang belum selesai kubaca. Aku meminjamnya dari teman kentalku. Rupanya, rasa lelah memaksaku tidur. Bergegas aku mandi lalu sholat ashar. Sebentar kemudian adzan tua ki amsor terdengar memanggil. Tanpa menunggu selesai, aku sholat sendiri, tak terpanggil untuk berjamaah. Padahal, semua orang tahu, pahalanya lebih besar daripada tidak berjamaah. Kuambil kembali buku yang harus segera selesai kubaca. Maklum, aku hanya bisa meminjam dan meminjam. Ah, kemiskinan bukan halangan untukku menyelami pengetahuan.

Lamun aya anu hasud, antepkeun wae! engke oge ruksak sorangan. Geus biasa lamun aya patromak, sok aya laleur hejo nu hayang mareuman. Lamun melak pare pasti sok aya jukutan.

الإنسان مبتلى بمنطقه

Aku berhenti sejenak. Coba kufahami mutiara ke 102 ini. Ya, manusia harus benar-benar menjaga lisannya, karena apa yang ia ucapkan adalah ujian dan cobaan baginya, apakah ia sanggup membuktikan atau hanya akan menjadi kebohongan. “Kal, antarkan ini kerumah Emak!” terdengar ibuku kembali berteriak. “Iya,Mi,” sahutku seraya menghampir dengan buku ditangan. “Apaan, Mi?” tanyaku melihat umi sedang menggoreng tempe. “Tuh, sayur asem di meja, anterin buat Emak” jawab umi tanpa menoleh. Tanpa banyak cingcong, kujinjing rantang sayur yang sudah bosan bolak-balik kerumah Emak, nenekku dari umi yang sudah tak punya teman. Anak-anaknya telah terbang dengan rumah tangganya masing-masing. “Mak, ini sayur asemnya.” Nenekku hanya tersenyum melihatku, cucunya yang mulai beranjak dewasa. Kutinggalkan emak. Kubuka kembali halaman-halaman buku yang tampak kucel. Mungkin terlalu banyak yang membacanya.

Royal mah teu kudu diajar.

Aja suudzon marang guru! Saiki, akeh santri atawa pelajar sing kurang tatakrama ning gurue. (Ayip Muh Jagasatru)

Aku mengingat-ingat nama yang tertera. Seorang ulama yang disegani kawan di segani lawan. Seorang keturunan rosul yang sangat penuh teladan. Aku menangis saat melihat puluhan ribu pelayat berdesakan, berebut ingin membawa jenazahnya ke tempat peristirahatan. Kuteruskan kembali bacaanku dengan penuh perhatian,

Rasa kehilangan sesuatu merupakan pelajaran bahwa ia sangat berharga.

ما كلّ ما يتمنّى المرء يدركه * تجري الرياح بما لا تشتهي السفن

Coba kunyanyikan bahar basit ini, walau suaraku tak serenyah suara Ahmad Dhani. Kucoba memahami artinya yang berupa pelajaran adanya kehendak Tuhan yang tak bisa dilawan oleh kerasnya usaha dan kuatnya keinginan.

خذ العلم بالدراية مع صحة الرواية لتحصيل الهداية

“Ilmu adalah jembatan hidayah, maka untuk mendapatkannya tak bisa sembarangan. Ia harus kita ambil dari guru yang benar-benar taqwa kepada Allah. Lalu isinya pun harus benar-benar diteliti, benar atau salah,” ucapku coba memahami.

Zaman kiwari, loba endog kongkorongok hayam jago mah caricing.

Kukernyitkan dahiku tak mengerti. Agak lama aku berfikir. Ah, mentok. Kuambil HPku. “Maksud no 108” ketikku lalu kukirim pada si “Syekh”, sobatku yang punya buku ini. Tak lama datang balasan, “itu isyarah. Maksudnya, di zaman sekarang banyak orang yang tak faham agama sok agamis. Yang faham agama malah bersembunyi, tak pernah ngomong.” Kulanjutkan bacaaanku,

Tekuni apa yang menjadi bidangmu, jangan terbujuk oleh hijaunya tanaman orang lain.

Putaran tasbehku tak membuat roda kerjaku berhenti berputar.

Hanya Tuhanlah yang tak pernah bosan memberi.

Saat berbagai keinginan serentak mendatangi fikiran, kita di tuntut untuk menentukan pilihan agar tak tenggelam dalam kebimbangan.

رضا الله في رضا الوالدين وسخط الله في سخط الوالدين

Kurenungi apa yang terakhir kubaca. Ah, aku teringat kenakalanku, ulah-ulahku di rumah, di sekolah, di pesantren. Abi, umi, guru-guruku, ridloilah aku agar ridlo Tuhanku tak terhalang.

Goreskan apa yang ada dalam benakmu. Biarkan orang lain menilai apakah ia berharga atau harus dicampakkan.

Nafsumu akan terus meronta hingga engkau memenuhi apa yang ia inginkan.

Semua kesalahan tak berbeda dalam pandangan setan. Jika ia tak mampu menjatuhkanmu dengan satu jebakan, ia akan segera membuat jebakan baru yang lebih tersamarkan.

كلّ يعمل على شاكلته

Kembali kuambil HP. “No 117, Syeh.” smsku. Agak lama balasanpun datang, “setiap manusia punya potensi yang berbeda-beda, potensi lahir maupun batin. Jadi, apapun yang dilakukan oleh lahir atau batin manusia adalah sesuai dengan potensi yang Allah tentukan untuknya.” Ah, pusing..

Kita tak mungkin sesuai dengan harapan semua orang. Berjalanlah dijalan yang engkau yakini menjadi jalanmu. Namun setiap langkahmu adalah bahan tuntutan dihari pembalasan.

Yang manakah kita?

من يدري ويدري أنه يدري

من يدري ولا يدري أنه يدري

من لا يدري ويدري أنه لا يدري

من لا يدري ولا يدري أنه لا يدري

Kutekan 08122216xxxx. “Halo, no 119.” “Itu maqolah Al-ghozali,” sahut Fudel terdengar dengan nada kesal. “Maksudnya gimana?” tanyaku. “Ngeganggu aja. Dengerin, manusia bisa digolongkan jadi empat kategori. Satu, orang yang punya ilmu dan tahu dirinya berilmu, maka dia beramal dengan ikhlas. Dua, orang yang berilmu tapi tidak tahu atau pura-tidak tahu bahwa dirinya berilmu, maka dia tidak mengamalkan. Tiga, orang bodoh tapi tidak masabodo, maka dia belajar. Empat orang bodoh yang masa bodo atau bahkan merasa pintar, maka ia tak belajar dan pandai berkelakar.” “Makasih, Fren”. Kuteruskan kembali bacaanku,

Ketahuilah ukuran badanmu lalu pakailah pakaian yang sesuai dengan ukuranmu

إذا لم تستطع شيأ فدعه * وجاوزه إلى ما تستطيع

“Halo…” “Apa lagi, Kal?” tanya sobatku semakin kesal. Aku tahu ia sedang sibuk dengan wiridannya. Ia memang setengah dukun yang suka berkomat kamit agar banyak duit. “Sorry, no120 en 121,” ucapku merengek. “Sekalian aja semua,” sahutnya. “Ya. Itu yang kumau,” jawabku tak peduli dengan kekesalannya. “Awas, besok bayarin kopi susu ama samsu” ujarnya. “Tenaaang,” jawabku. “Dengerin, yang nomer 120, itu perumpamaan, isinya itu hampir sama dengan yang 121. Jadi, apapun harus disesuaikan dengan kapasitas kita. Kalau tidak orang lain bakal tertawa, kamupun akan merasa memikul beban berat. Bacakan yang 122nya..”

Ibumu! Ibumu! Ibumu! Bapakmu!

“Itu perintah berbakti kepada kedua orang tua terutama ibu. 123..”

ما بعد الحقّ إلا الضلال

Ucapku setengah mengantuk lelah. “Itu peringatan bahwa hanya ada dua pilhan, hitam atau putih, kebenaran atau kesesatan.” “Ini yang terakhir. Aku ngantuk.” ucapku.

Carilah tempat yang tepat untuk bermaksiat agar Tuhanmu tak bisa melihat.

“Itu larangan untuk berdurhaka pada Allah. Dimanapun kapanpun Allah selalu menatap kita.” “Makasih, Fren.” “Ya. Besok jangan lupa kopisusu ama samsu.” “Siaap.”

Alhamdulillah, selesai sudah buku ini kubaca. Besok akan kukembalikan. Aku segera beranjak dari kursi butut rumah emakku.

“Mak, Chikal pulang dulu,” kucium tangan keriputnya.

“Nggak nginep aja, Kal?” tanyanya pelan.

“Besok-besok aja, Mak,” jawabku seraya beranjak pulang dengan hati lapang.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar