Jumat, 01 Oktober 2010

Petualangan di Negeri 'Arudl

MENUNGGU

Kecewa, kecewa, kecewa. Bertumpuklah mereka, kekecewaan di pundakku. Pertama, aku ditolak mentah-mentah oleh si Siska. Putri sulung bos bibit minyak wangi itu dengan nada begitu kasar menyatakan, ogah gue kawin ama cowok kere kaya elo. Sakit sekali rasanya dihardik oleh seorang gadis cantik meski aku sadar rasa sakit itu tak boleh ada dalam hati.

Setelah sembuh dan kembali tumbuh rasa tak putus harapan, dengan langkah kubuat gagah, aku pun kembali berpetualang mencari calon istri solehah. Tapi kali ini, kupasang warning dalam benakku agar lebih selektif. Hati-hati, hindari cewek matre meski kece naudubile.

.Satu minggu, dua minggu belum juga ada bidikan. Tenang, Yahya. Biar lambat asal dapat yang mengkilat, bisikku sendiri memberi rasa tetap semangat. Dan, benar juga kata pepatah, من جد وجد . atau kata Ibu Kartini, habis gelap terbitlah terang. Rupa-rupanya, aku akan segera kehabisan gelap dan harus bersiap-siap menjadi orang paling bahagia, penganti baru.

“kamu serius suka sama si Karmila?” tanya Abi dengan mimik wajah cerah pertanda responsif membuatku semangat.

Saking semangatnya, pertanyaan Abi ini tak kujawab dengan lisan. Aku malah berlari mengambil karton dan gunting. Secepat kilat karton kupotong-potng membentuk huruf-huruf yang akan terangkai menjadi kalimat. Setelah lengkap, kuambil lem lalu kutumpakan di pintu kamar. Kemudian tanpa menunggu kering, huruf-hurf tadi kutempel sehingga tampak nyata sebuah tulisan, SAYA SERIUS PENGEN NIKAH SAMA KARMILA

Melihat tingkah yang agak nyeleneh ini, Abi menjadi lebiih tanggap merespon keinginanku. Terbukti, selang dua hari Abi dan Umi sengaja silaturahmi ke rumah orang tua karmila. Dirumah, aku berharap-harap cemas. Mudah-mudahan diterima, mudah-mudahan jodohnya. Mudah-mudahan jombloku segera berakhir. Pokoknya hampir setiap detik dari masa menunggu pulangnya Abi dan Umi ini kuisi dengan doa-doa, bahkan sssst… jampi-jampian.

Satu jam kemudian, bisul dibokongku serasa akan pecah, tegang, cekot-cekot, gimana Bi? Gimana, Mi? diteriama tidak? Untung saja pertanyaan-pertanyaan ini tak sampai terlontar dari bibirku. Jika jebol, mungkin kecewaku tak mudah kututupi saat menedengar mereka berkata dengan nada kecewa, kamu harus cari gadis lain.

Episode demi episode berlanjut. Entah sudah berapa kali kecewaku hingga akhirnya aku bertemu denagannya. Mungkin Allah sudah mulai kasihan padaku lalu mempertemukanku dengan gadis manis ini. Tatapannya lembut, hidungnya bangir, bibirnya wah…pokoknya begitulah. Hanya satu yang disayangkan,. Ia mengidap penyakit gila, GILA ILMU.

Tapi berhubung suka, aku pun memaksa diri ikuti gaya. Pakaian harus selalu nyantri alias pake sarung pake peci. Malam minggu tidak ada wakuncar. Karena putri seorang Kyai tak suka di wakuncarin, untuk mengimbangi obrolannya, aku harus rela berlama-lama duduk dengan kitab kuning meski kepala pusing.

Positif, pacaran dengan si Najma memamng banyak berkahnya, ledek si Poltak saat aku kedapatan memanggul kitab hendak berangkat ke majlis.Aku hanya balas senyum menutupi khawatir, setiap hal yang indah mesti menyimpan gelisah. Ya, satu tahun sudah aku dekat dengannya, tapi tanda-tanda aku disambut orang tuanya belum juga ada. Gamang, serasa dipersimpangan.

Puncaknya, saat semua sudah gamblang, kami saling cinta, sudah sama siap menjalin kata setia, aku dipanggil abahnya untuk mendengarkan satu rangkai kalimat saja. satu kalimat tanya yang menjebol mental yang susah payah kubangun, satu kalimat yang seakan ribuan tawon ngamuk dan membuatku sibuk menyelamatkan diri.

Dengan penuh kelembutan, kyai sepuh itu mengelus pundakku, kepalaku, seakan ia benar-benar memberikan perhatian. Pertanyaan darinya takan pernah kulupakan dan akan kujadikan sebagai pelecut bahwa memang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan kita butuh kesabaran, kekukuhan. Mungkin begini ulasannya jika aku husnudzzon atas jawaban dari pengajuanku kepadanya.

Jika tidak, maka pertanyaan tersebut ibarat pil tidur yang membuatku mendengkur hingga dengan mudahnya aku ia kubur. Enam kata itu telah cukup membuatku was-was dan harapan semakin tercampur cemas.

“Menurut Neng, itu bukan penolakan”, ucap Najma tak setuju pada tafsiranku atas jawaban abahnya.

“Lalu?”

“Terserah Kak Yahya, siap atau tidak menunggu Neng lima tahun lagi?”

Aku diam entah. Lima tahun menunggu bukanlah hal mudah. Disana, aku akan disuguhi rasa resah, gelisah oleh tak kunjung menikah.

Pertanyaan lembut, siapkah kamu menunggu lima tahun lagi?, kembali terngiang siang ini. Kemana harus kucari jawabannya jika bukan dalam kesiapan diri. Lima tahun, hanya lima tahun Yahya. Ya hanya lima tahun. Sebentar,sungguh waktu yang teramat sebentar untuk menjelajahi negeri impian arudlku. Negeri yang memiliki enam belas lautan terindah yang membuat wiastawan manapun selalu tergerak untuk datang lagi dan lagi. Negri yang kaya seni apalagi seni menyanyi. Negri yang di temukan oleh sang penjelajah, Imam Kholil bin Ahmad al-Farahidi.

Segera kuraih handphoneku, “najma aku siap menunggu”.

“Betulkah?”

“Tapi aku menunggumu disana.”

“dimana?”

“Di negeri arudl”.

Najma diam. Aku tahu apa penyebabnya meski aku tak mengusik diamnya. “Kak,” suaranya melemah, “Kakak tak mau mengajakku kesana?”

“Abah tak akan mengizinkanmu. Lagi pula perjalanan kesana tak mudah ditempuh.”

“Aku akan memaksamu untuk mengajakku.”

“Jangan, Najma. Abahmu bisa marah besar jika tahu anak gadisnya dibawa kabur oleh pemuda super nganggur begini.”

“Ya, kalau tidak boleh ikut, aku bisa berangkat kesana sendiri.”

“Sendiri? Memangnya berani?

“Memang takut apa?”

Weh, belum tahu. Negeri Arudl itu tingkat kesehatan penduduknya rendah. Boleh dibilang jorok-jorok, sehingga mudah terserang penyakit.”

“Wabah?”

“Tepat sekali. Disana, namanya penyakit sudah dianggap saudara. Zihaf Mufrod, Zihaf Muzdawij,’ Ilal Ziyadah,’ Ilal Naqis, sangat-sangat sulit dihindari.”

“Pokoknya, aku akan tetap kesana. Kalau boleh ikut, aku ikut. Kalau tidak boleh aku berangkat sendiri, titik.”

Aku diam sejenak, “begini saja” timpalku coba membujuk, “kamu jangan ikut, apalagi berangkat kesana sendiri. Aku janji akan membawakan 16 mutiara dari tiap lautnya.”

“Betul, Kak?” tanya Najma antusias.

“Ya”

“Kalau aku rindu?”

Aku diam sejenak, “kamu boleh telpon aku”

“Baiklah, terimaksih, Kak. Aku akan berusaha mempercepat masa penantianmu”

“Terimakasih juga. Tak usah dipercepat yang penting selamat, bukan?”

Kang Ahmad

Sesuai rencana, sore ini aku berangkat ke kediaman Kang Ahmad untuk memohon petunjuk tentang rute ke negeri Arudl.

“Benar nih, kamu mau kesana? Bukannya kemarin kamu bilnag mau ke Ciranjang?” singgung Kang Ahmad tentang rencana menikah yang pernah aku utarakan.

“Iya, kang. Saya ingin punya pengalaman di negeri asing.”

“Kamu siap bergaul dengan lingkungan yang maniak nyanyi?”

Siap tak siap, saya sudah nekad.”

Kang Ahmad tampak menarik nafas sebelum mengambil sebuah peta. “Jika kamu mampu memahami peta ini, kamu akan berhasil menjelajahi 16 lautan di negeri arudl,” janjinya yakin.




“Ada empat pintu masuk?” tanyaku setelah Kang Ahmad sedikit menjelaskan peta butanya.

“Yang saya punya Cuma empat ini. Sebetulnya masih banyak pintu lain, tapi saya tidak memiliki petanya.’

“Yang paling mudah lewat mana, Kang?”

“Lewat gua Kafi” telunjuk Kang Ahmad maju. “Jika kamu mendaki gunung Khozroji, kamu akan lelah, sementara jarak ke pulau Zihafat cukup jauh, belum lagi ke pulau Ilal. Apalgi jika lewat gerbang Melayu atau pintu Qibti,” ulas Kang Ahmad.

“Apakah akan ada yang memandu saya di gua Kafi?” tanyaku mulai tegang membayangkan suasana asing.

“Ada, begitu kamu memasuki gua itu, seorang tua bernama Mbah Qonai akan memandumu.”

“Aku tegang, Kang”, keluhku jujur.

“Ha..ha..ha.. tenang saja, sih. Di negeri Arudl tidak ada kesedihan, tak pernah ada kejahatan. Penduduk disana selalu riang berdendang. Hanya saja, kamu harus benar-benar lolos dari dua pulau penyakit, Zihafat dan Ilal. Meski penuh penyakit, penduduk disana saling peduli, sehingga, orang-orang sakit disana tak merasa sakit karena biaya pengobatan murah bahkan banyak yang gratis. Berbeda dengan negeri ini, disini, orang miskin dilarang sakit sebab orang-orang kayanya berhati sempit. Rumah Sakit tak lebih dari tempat penyembuhan yang timbulkan penyakit baru bagi masyarakat tak berduit. ”

“Kapan saya bisa kesana?”

“Terserah kamu, yang terpenting siapkan suara dan mental bernyanyi, itu saja.”

“Suaraku sumbang” keluhku

“Disana, banyak Doel-Doel Sumbang atau Iwan-Iwan Fals, jadi tak usah minder.”

Semangatku sedikit menyala dan ada sedikit rasa tak sabar ingin segera bertatap muka dengan juru kunci gua Kafi, Mbah Qonai. Seperti apakah beliau? Seramkah atau ramahkah?

“Apakah disana ada juga kaum hawa?” ups, aku kelepasan bertanya.

Tatapan Kang Ahmad menyelidik membuatku grogi menunggu di semprotnya.

“Jangan coba-coba bermain cinta disana,” nada Kang Ahmad serius, “gadis-gadis negri arudl manis-manis sekaligus bengis. Sekali kamu terjerat, kamu akan habis.”

“Habis?”batinku tak mengerti tapi terlanjur dibuat penasaran oleh larangannya.

“Sekarang, pulanglah. Persiapkan segalanya untuk berpetualang disana. Lebih cepat pulang, lebih baik.”

“Baik, Kang. Terimaksih banyak atas segal petunjuknya,”

“Tak usah berterimaksih. Ini adalah tugas saya.”

GUA KAFI




Dimulut sebuah gua aku terpaku, gelap. Tak ada siapa yang bisa kutanya. Apa aku harus masuk saja, tanyaku sendiri ragu-ragu. Tidak, aku khawatir didalam sana ada binatang buas, bisa mampus aku.

Aku membalikkan badan, tengok kanan kiri barangkali kutemukan tanda atau apapun yang bisa membantu. Sepi, aku hanya sendiri dihutan ini. Ah, berakhir sudah ceritaku hingga kebuntuan ini. Tidak. Aku tak boleh putus asa. Aku yakin inilah gua yang akan membawaku ke negeri impian, arudl’, negeri penuh keriangan, nyanyian, tak ada kegelisahan, cemberut.

“Hoi”

Aku terperanjat. Suara serak sekonyong-konyng muncul dari dalam gua.

“siapa?” tanyaku.

“Sedang apa sendirian di hutan arabi ini?”

“Aku mencari gua Kafi”, teriakku berharap ia bisa membantu.

“Mau apa?” nada tanyanya berganti menyelidik.

“Aku mau ke negeri arudl,” timpalku yakin.

Tak ada yang menyahut. Akupun celingukan lagi hingga suara itu kembali terdengar memberi perintah, “masuklah”

Aku coba mendekat, melongokkan wajah kedalam gua, “Masyaallah” bibirku spontan berkata saat benar-benar terpana oleh pemandangan di dalam sana yang tak sama sekali kuduga. “Masuklah,” sekali lagi suara itu memerintah.

Akupun menurut masuk.

“Duduklah” ucap si pemilik suara saat aku tiba didalam gua. Akupun bertawarruk dengan kepala tertunduk.

“Siapa namamu?” tanyanya tegas.

“Yahya,” jawabku lirih.

“Dua suku kata, terdiri dari dua sabab khofif.” timpalnya kemudian menyerahkan dua tambang pendek.

“Untuk apa?” tanyaku

“Ini simbol dari namamu, yah dan ya.”

“Simbol?’

“Ya, penduduk dinegeri arudl punya simbol masing-masing.”

“Aku belum mengerti.”

“Belum, nanti juga mengerti. Ayo ikut.”

Pak Tua itu masuk ke ruangan dalam dan aku membuntutinya dibelakang dengan penuh tanda tanya.

“Bersiap-siaplah,” ucapnya saat kami tiba diujung gua yang suguhkan pintu keluar.

“Inikah jalan menuju negeri arudl?”

“Betul, dan aku hanya boleh mengantarmu sampai di sini.”

“Lalu?”

“Setelah kamu keluar dari pintu ini bererti kamu telah memasuki negeri baru. Negeri yang tidak sama dengan negeri kita. Disana, kamu harus aktif, rajin bertanya jika ada yang tak dimengerti, bergaul dengan mereka penduduk negeri dan jangan pernah menyendiri.”

“Bagaimana jika aku tdak betah disana?”

“Kau akan pulang dengan tangan hampa. Disamping itu, sesalmu tiada terkira hingga suatu saat kamu akan merasa ingin kembali mengunjunginya.”

Pak tua menepuk-nepuk dadaku seakan berkata, kau harus bisa membawa pulang 16 mutiara dari 16 lautan di negeri sana. Lalu, “ keluar dan masuklah ke negeri arud”, teriaknya sambil mendorongku keluar pintu gua.

Aaaaaaaah…

YANG HIDUP DAN YANG MATI

Teriakanku mengundang perhatian penduduk di negri arudl. Mirip bayi yang baru terlahir, aku disambut hangat oleh mereka.

“Wah, ada bangsa manusia datang,” teriak salah satu dari mereka yang ternyata berupa kasur.

“Makhluk terbaik ciptaan Tuhan,” timpal yang lain yang ternyata berupa meja.
”Betul. Konon katanya mereka bisa lebih mulia dari bangsa malaikat,” bisik si Karpet pada Kursi yang menginjaknuya.

Hei, inikah penduduk negri arudl? Benda-benda mati di negeri ini bisa berkomunikasi layaknya manusia? Ah, absurd. Apakah aku sudah mulai gila? Tidak. Aku masih waras.

“Siapa namamu, manusia?” tanya lemari menghampiriku.

“Yahya” jawabku setengah hati.

“Jangan congkak, kau”, hardik si sapu sambil njenggung kepalaku. Kami memang benda mati, tapi kami bisa menghidupi yang hidup”, lanjutnya sewot.

“Betul. Disini kamu tak boleh sembarangan bicara meski hanya dalam hati saja. Sebab, kami lebih waspada dan bisa mendengar semuanya,” dukung si kardus besar.

“Karena kamu tergolong benda hidup,” kali ini si kasur bicara lagi, “kamu harus bisa bergaul dengan benda mati sekalipun, berbeda dengan kami. Kami sesama benda mati hanya bisa saling diam memandang. Tapi dengan benda hidup kami bisa bersuara,”lanjutnya.

Aku masih belum sanggup berkata apa-apa. Bagaimana ini semua bisa terjadi? Dinegeriku, orang bercakap-cakap dengan sesamanya saja masih sering dicurigai macam-macam. Apalagi dengan benda mati, jelas-jelas sinting bin gendheng bin edan.

“Heh”, hardik si sapu lagi, “kamu bisu?” lanjutnya kasar membuatku gemetar.

“Aku bingung,” jawabku jujur sambil menutup muka.

“Bingung?” serempak semua bertanya lalau terbahak, “ha..ha..ha..ha..ha..

“Manusia bodoh” hardik si sapu lagi tetap kasar.

“Ada berapa huruf mati dalam namamu? Satu bukan? ح . Apakah huruf mati tersebut bersuara tanpa ada huruf hidup? Atau berapa huruf konsonan pada namamu? Tiga bukan? Apakah ia bisa bersuara tanpa ada huruf vokal?”

Aku terhenyak. Benda mati = huruf mati. Benda hidup = huruf hidup.

“Kau?” tanyaku pada sapu tentang sebutannya.

“Dua huruf hidup atau dua konsonan dan dua vokal”

“Kau?” tanyaku pada lemari.

“Tiga huruf hidup atau tiga konsonan dan tiga vokal”

“Apa maksud ini semua?” teriakku mulai kesal pada keabsurdan ini.

“Ini negeri arudl, Yahya. Semua kata harus di timbang huruf hidup dan matinya,”jelas si kasur.

Sejenak aku diam. oooh, ucap batinku kemudian.

“Dua huruf, satu hidup satunya mati atau satu suku kata disebut sabab khofif. Dua huruf hidup atau dua suku kata disebut sabab tsaqil. Tiga huruf, dua hidup dan satu yang terakhir mati atau dua suku kata dengan tiga konsonan disebut watad majmuk. Tiga huruf, dua hidup dan satu yang ditengah mati atau dua suku kata dengan tiga konsonan disebut watad mafruq. Gabungan sabab tsaqil dan sabab khofif disebut fashilah sughro. Gabungan sabab tsaqil dan watad majmuk disebut fashilah kubro,” panjang lebar si lemari berceramah.

Oooh, jadi namaku, adalah dua sabab khofif.

“Lihat kemari,” teriak si Whiteboard padaku dari jauh lalu membusungkan dadanya yang tampak bertuliskan, لم ار علي ظهر جبل سمكة.

Apa maksudmu? tanyaku pada si Whiteboard.

“Inilah gambaran yang tadi diulas oleh temanku itu,” jawabnya sambil menunjuk si Lemari.

Sabab khofif, tsaqil, watad majmuk, mafruq, fasilah sugro dan kubro”, sahut si kasur dengan lembut menyebut secara urut nama dari gambar yang di busungkan si whiteboard.

“Berarti tanwin dihitung dua huruf?”, tanyaku setelah sejenak berpikir.

“Betul. Di negeri kami tidak ada tanwin, dan tasydid. Yang ada hanyalah huruf hidup dan huruf mati. Maka tanwin harus dianggap nun sukun dan tasydid dianggap dua huruf, satu mati satu hidup.”

“Lihat ini,” terdengar si Whiteboard kembali teriak sambil menunjukkan tulisan didadanya lagi, جبل dengan tanwin harus ditulis جبلن , dan محمد dengan tasydid mim harus ditulis dua mim,محممد mim pertama sukun dan yang kedua berharkat.

“Ini namanya potongan-potongan irama atau disebut تقطيع, di negeri kami huruf-huruf yang digunakan untuk ini berjumlah sepuluh,” tuturnya lalu menghapus tulisan didadanya dan menunjukkan tulisan yang baru, ل م ع ت س ي ف ن ا.

“Faham belum?” kali ini si Sapu mendekat dengan tanya kasarnya.

“Mudah-mudahan, Pu,” sahutku sedikit terpaksa takut di thuthu’.

Yo wis cukup, Rek”, komando si Kasur pada teman-temannya, “si Yahya ini kita izinkan untuk masuk ke pulau penyakit, Zihafat dan ‘Ilal,”lanjutnya disambut anggukan setuju.

Akupun diarak sepasukan benda mati aneh menuju pantai untuk kemudian diseberangkan ke pulau Zihafat dan ‘Ilal.




PULAU ZIHAFAT

Keteganganku dinegeri arudl sedikit berkurang. Bukan apa-apa, suasana asing disini ternyata tak terlalu membuatku pusing. Mereka penduduk majemuk negeri ini selalu bersikap ramah apalagi kepada para pelancong mancanegara. Buatlah semua orang senang bahagia, begitulah agaknya motto yang dicanangkan para pembesar negeri arudl ini. Bagaimana tidak? Sebelum diseberangkan ke pulau Zihafat, empat tokoh dari mereka berikut para putra mahkotanya mengantarkanku hingga naik ke kapal.

Dengan senyum selalu merekah Mrفعولن, Mrمفاعيلن, Mrمفاعلتن, dan Mr فاع لاتن menasehatiku, ingatlah pada kaidah asal biar hidupmu tidak asal-asalan. Kami berempat selalu memegang aturan untuk mengawali diri dengan watad. Makanya kami diangkat menjadi sesepuh disini.”

Begitu pula Mrلن فعو atau biasa disapa Abang فاعلن , anak tunggal Mr فعولن, Mr عيلن مفا atau biasa disapa Akangمستفعلن, anak pertama Mrمفاعيلن, Mrلن مفا عي, atau biasa di panggil Akangفاعلاتن anak kedua Mrمفاعيلن, Mr علتن مفا atau biasa disapa Aaمتفاعلن anak tunggal Mrمفاعلتن karena anak keduanya yang bernamaتن مفا عل meninggal dunia. Mrتن فاع لا, Mrلاتن فاع pun tak ketinggalan mengiringku bersama empat saudaranya yang lain.

Keramahan mereka berenam sungguh terkesan dalam, apalagi saat mereka memaksaku untuk menerima hadiah dari mereka. Padahal, siapa sih yang mau menolak hadiah? Sungguh solidaritas yang akan selamnya membekas. Di negeriku sendiri, solidaritas semacam ini telah lama memudar atau mungkin sekarang telah mencapai titik punahnya karena di serbu oleh spesies baru yang bernama MasingMasing, atau kadang bernama GueGueEloElo.

Sebelum berangkat sang ketua I, Mr فعولن berbisik, “di pulau Zihafat dan Ilal nanti kamu akan menemukan jelmaan-jelmaan kami dalam bentuk yang tak lagi sempurna.”

“Apakah mereka sama menjadi pemimpin seperti kalian?”

“Ya, dan tentunya karena mereka tak sempurna rakyatnya pun tak sempurna.”

Akhirnya setelah usai acara pelepasan, aku pun berangkat dengan kapal layar kuno menuju pulau yang membuatku bergidik membayangkannya, pulau penyakit, hih menakutkan.


Benarlah, jangan terlalu dalam membayangkan sesuatu yang belum terjadi, belum kita alami, belum kita singgahi. Biasa-biasa saja, tidak mengebu-gebu jika baru konon katanya menyenangkan atau tak usah terlampau cemas jika baru katanya menakutkan. Buktinya, apa yang kubayangkan tentang pulau Zihafat sama sekali tak terbukti. Bayangan pulau angker yang punya banyak binatang buas atau mungkin penyamun-penyamun tak kutemukan. Yang terjadi di sini adalah perasaan yang terliputi iba.

Bagaimana tidak? Pulau ini tak lebih dari sekedar penampungan makhluk-makhluk sakit. Meja, kursi, lemari, karpet, kasur, pohon apel, pohon jambu, kucing, kambing, anjing, semuanya mahkluk jenis apapun di sini tak ada yang sehat. Mereka cacat, sakit dengan berbagai macam penyakit. Si kursi di pojok ruangan ini pincang. Jika aku memaksa duduk maka pasti aku njengkang. Si meja di kantor banyak mengandung kuman-kuman aneh sehingga bila ada yang meletakkan sesuatu di atasnya, spontan sesuatu itu habis dalam sekejap. Si kucing tiga warna, cantik. Tapi waktu kulihat punggungnya, cih! menjijikkan. Korengan dengan jenis koreng yang super menyedihkan, belatungan.

“Di sini kita harus belajar peka,” kata dokter Mufrod, dokter spesialis zihaf yang biasa menangani delapan warna penyakit.

“Pasien saya,” lanjutnya, “kebanyakan orang-orang miskin yang tak punya biaya untuk berobat.

No

Penyakit

Gejala

1

خبن

Kehilangan huruf kedua yang sukun

2

اضمار

Matinya huruf kedua yang berharokat

3

وقص

Kehilangan huruf kedua yang berharokat

4

طي

Kehilangan huruf keempat yang sukun

5

قبض

Kehilangan huruf kelima yang sukun

6

عصب

Matinya huruf kelima yang berharokat

7

عقل

Hilangnya huruf kelima yang berharokat

8

كف

Kehilangan huruf ketujuh yang sukun

“Kalau boleh tahu, bagaimana cara anda menangani penyakit-penyakit ini?” tanyaku sopan.

“Setiap pasien akan kami deteksi lima hingga tujuh organnya, tapi bisa dipastikan hanya organ kedua, keempat, kelima dan ketujuh saja yang terkena penyakit. Barusan saya menangani anak ibu Alfiyyah yang mengeluh perutnya sakit. Saya deteksi sel-sel matinya atau yang masih hidup atau yang hilang. Ternyata قال محم = ○││ │○│, jelas ada sel mati yang lenyap akibat penyakit طي, maka saya mengambil obat sesuai dengan penyakitnya ○│││○│=مفتعلن . Sebetulnya jika anak ibu Alfiyah ini tidak sakit maka kondisinya adalah ○││○│○│=مستفعلن

“Kalau penyakit khoban?”

“Wah, kasihan mereka yang menderita ini, penglihatannya kurang. Lihat saja gaya jalan si munfarijah yang sering nabrak.

“Maksud saya pengobatannya, dok.”

“Sama saja. Kita deteksi dulu lalu kita beri dosis obat sesuai usia dan kondisi tubuhnya.”

“Neng Munfarijah tadi?”

Dia mestinya bertimbangan فاعلن =○││○│, karena ada penyakit khoban maka jadi فعلن = ○│││.

Apakah mungkin satu pasien mengidap lebih dari satu penyakit?”

Tentu saja. Banyak pasien saya yang saya kirimkan ke dokter Muzdawij untuk di rawat di sana.”

“dokter Muzdawij?”

“Ya, beliau dokter spesialis komplikasi”

“Di mana beliau praktek, dok?”

“Sama, di RS Zihaf juga. Cuma dia ada diruangan kedua, dibelakang ruangan saya ini.”

“Oh iya dok, kalau boleh, saya ingin melihat photo pasien yang anda tangani menderita delapan macam penyakit ini.”

“Boleh,” sahut dokter Mufrod seraya menyerahkan album berukuran besar.

Kuperhatikan satu persatunya.

1

خبن

مستفعلن = ○││○│○│ → متفعلن= ○││○││

فاعلاتن = ○│○││○│ →فعلاتن = ○│○│││

فاعلن = ○││○│ → فعلن = ○│││

مفعولات = │○│○│○│→ معولات =│○│○││

مستفع لن =○│ │○│○│→متفع لن =○│ │○││

2

اضمار

متفاعلن=○││○│││→ متفاعلن=○││○│○│

3

وقص

متفاعلن=○││○│││→مفاعلن=○││○││

4

طي

مستفعلن=○││○│○│ →مستعلن=○│││○│

مفعولات=│○│○│○│→ مفعلات=│○││○│

5

قبض

مفاعيلن = ○│○│○││ → مفاعلن= ○││○││

6

عصب

مفاعلتن = ○│││○││ → مفاعلتن= ○│○│○││

7

عقل

مفاعلتن = ○│││○││→ مفاعتن= ○││○││

8

كف

مستفعلن = ○││○│○│ → مستفعل= ││○│○│

“Kasihan mereka, dok”, air mataku menitik.

“Ya, inilah kehidupan. Kita yang sehat harus mau peduli pada mereka yang sakit. Saya merasa senang praktek di negeri ini, sebab, tanggung jawab saya selaku seorang dokter benar-benar dituntut.”

Kulihat dokter Mufrod sudah tampak lelah padahal sebetulnya masih banyak yang ingin kutanyakan. “Dok, saya rasa anda perlu istirahat. Terimakasih banyak atas bincang-bincangnya”, ucapku undur diri.

“Tidak apa-apa, saya senang ada pemuda yang peduli pada keadaan sekitar, apalagi mengenai kesehatan.”

DOKTER MUZDAWIJ

Sepulang dari Dokter Mufrod aku segera bertandang ke tempat praktek dokter Muzdawij. Singkat padat cepat, begitulah gaya beliau menjelaskan semua yang kutanyakan. Saat kutanyakan apakah penyakit-penyakit yang beliau tangani tergolong kategori berat. Beliau menjawab, asalkan kita sudah memahami praktek-praktek yang dilakukan dokter Mufrod maka mudah menangani penyakit saya. Jadi, tak termasuk berat bila di bandingkan dengan penyakit yang ditangani oleh dokter Ziyad dan dokter Naqs di RS ‘Ilal.

Mendengar ini, aku pun sekalian meminta penjelasan lebih jauh mengenai penyakit yang beliau sebutkan lebih berat tadi, biar tak repot datang ke RS ‘Ilal segala, pikirku. Dan dengan senang hati beliau membeberkan semua meski tak ada gambar-gambar pasiennya yang boleh kulihat, kasihan sama kamu, takut tidak tahan melihat penderitaan mereka, ujar beliau .

Penyakit Komplikasi Muzdawij

1

خبل

خبن + طي

2

خزل

اضمار + طي

3

شكل

خبن + كف

4

نقص

عصب + كف

3 Penyakit yang ditangani dokter Ziyad berikut gejalanya

ترفيل

Wazan yang yang berakhiran watad majmu’ akan punya tambahan sabab khofif

تذييل

Wazan yang berakhiran watad majmu’ akan punya tambahan satu huruf sukun

تسبيغ

Wazan yang berakhiran sabab khoflf akan punya tambahan satu huruf sukun

9 Penyakit yang ditangani dokter Naqsh berikut gejalanya

حذف

Hilangnya sabab khofif

قطف

Hilangnya sabab khofif disertai matinya huruf kelima yang hidup

قطع

Hilangnya huruf mati dari watad majmu’ disertai matinya huruf hidup sebelumnya

بتر

Hilangnya huruf mati dari watad majmu’ dan matinya huruf hidup sebelumnya disertai hilangnya sabab khofif terlebih dulu

قصر

Hilangnya huruf mati dari sabab khofif lalu matinya huruf hidup yang sebelumnya

حذذ

Hilangnya watad majmu’

صلم

Hilangnya watad mafruq

وقف

Matinya huruf ketujuh yang hidup

كف

Hilangnya huruf ketujuh yang hidup




PULAU ‘ILAL DAN DAWAIR

Inilah perjalanan berikutnya, tahapan kedua dari perjalanan menuju 16 lautan di negeri arudl. Perjalanan yang kubayangkan akan sama situasi dengan yang kualami di pulau Zihafat. Tapi lagi-lagi, jangan terpengaruh oleh bayangan semu, itulah yang terjadi padaku di pulau ‘Ilal ini.

Semula, pulau ‘Ilal kugambarkan lebih menyedihkan dari pulau Zihafat. Ternyata? Tidak sama sekali. Pulau ini begitu indah, penduduknya berwajah cerah-cerah. Kalian tahu kenapa? Orang-orang di pulau ini tunduk pada komando seorang yang mereka anggap suci. Mereka selalu sam’an wa thoatan pada apapun yang di petuahkan oleh sang sesepuh ini, mungkin setara dengan seorang mursyid bagi kalangan pelaku tarekat.

Di pulau ini tak kudapati kesedihan pula kesenangan. Semuanya terasa biasa, menengah, gak susah yo gak bungah, sedhengan. Tak ada yang dibicarakan oleh penduduknya selain persoalan penyakit hati. Karenanya pulau ini di sebut pulau ‘ilal, Mas, urai si tukang semir sepatu di pasar yang kusinggahi.

Andai tak sedang menjalankan tugas, ingin rasanya aku bermukim disini. Berkumpul dengan mereka yang berhati soleh solehah. Ikut-ikutan menjalankan laku-laku spiritual untuk menyembuhkan borok-borok hati. Damai, tentram. Sayangnya, aku harus segera menuju 16 lautan yang kucari di negeri arudl ini.

Bilang saja pada petugas disana, saya disuruh Pak Slamet untuk minta rute berpetualang ke lautan-lautan negeri ini, ujar sang sesepuh menjelaskan bahwa 16 lautan yang aku cari harus ditempuh melewati dawair, saat aku pamit dan minta doa.

Kulangkahkan kaki menuju dawair, pusat terkumpulnya 16 lautan yang kutuju, dengan semangat menyala. Aku sudah tak sabar untuk menikmati wisata laut ini seperti tak sabarnya para pelancong yang yang hendak menuju Whitehaven Beach di Utara Pulau Whitsunday Queensland, pantai paling indah dan terkenal di benua Australia.

Tiba di dawair, petugas dengan ramah menyambutku. Semua saran dari sang sesepuh kujalankan, dan si bapak petugas pun dengan senang hati memberi panduan.

Pertama, kamu harus menuju dairoh mukhtalif, perhatikan gambar ini!

Jika kamu mulai berselancar dari perairan فعو, menuju لن, lalu ke مفا, ke عي, keلن lagi dan terus begitu samapi empat kali memutar, maka itulah laut pertama, Thowil.

Jika kamu mulai berselancar dari لن menuju مفا terus ke عي, kemudian ke لن lalu ke فعو, dan memutar empat kali maka tibalah kamu di laut kedua, Madid.

tapi jika berawal dari عي menuju لن, lalu ke فعو, ke لن dan مفا kemudian memutar empat kali maka yang kamu temukan adalah laut ketiga, Basith.

Ingat di Dairoh ini jangan coba-coba mengambil permulaan berselancar dari perairan مفا atau dari لن yang terdapat sebelum فعو. Aku tak bertanggung jawab jika kamu tersesat di laut Muhmal.

Ini dairoh kedua, Mu’talif. Jika permulaan berselancarmu dari perairan مفا menuju dua perairan lainnya sesuai tanda panah, dan memutar enam kali, maka kamu akan menemukan laut ke empat, Wafir. Jika dari عل menuju dua perairan lain searah tanda panah kemudian memutar enam kali maka yang kau temukan adalah keindahan laut Kamil.

Jangan coba-coba memulai dari perairan تن, ombaknya sangat ganas.

Dairoh ketiga bernama Mujtalab. Dari perairan مفا berselancarlah menuju عي lalu ke لن, memutar tiga kali lalu buang satu wazan dari tiap syathrnya agar kamu bisa tiba di laut Hazaj.Atau berselancarlah dari perairan عي menuju لن dan berakhir di مفا kemudian berputar tiga kali untuk menemukan laut Rojaz. Atau mulailah berselancaar dari perairan لن menuju مفا dan berakhir di عي agar tiba di laut kedelapan, Romal.

Inilah dairoh keempat, Musytabih. Jika kamu ambil start dari perairanلا menuju تن terus ke مفا, عي, لن, مفا lagi, عي, kemudian لن dan فاع berputar dua kali maka kamu akan tiba di laut Sari’. Jika memulai dari عيmenuju لن lalu مفا, lalu عي, لن, فاع, lalu لا, تن,dan مفا, maka kamu akan tiba dilaut Munsarih. Ikuti alur ini dari kanan, لن مفا عي لن فاع لا تن مفا عي maka kamu akan tiba dilaut khofif setelah memutar dua kali. Atau ikuti jalur ini dari kanan, لن مفا عي لن فاع لا تن مفا عيmemutar dua kali sambil membuang satu wazan dari tiap putarannya, maka kamu akan tiba di laut Mudlori’. Jika kamu memilih عي sebagai permulaan lalu menuju jalur ini dari kanan, لن فاع لا تن مفا عي, lalu ke لن مفا عي maka kamu akan tiba di laut Mujtats.

Hati-hatilah dairoh keempat ini terkenal dengan badai dan ombaknya yang menggunung.

Dairoh terakhir ini bernama Muttafiq. Hanya punya dua lautan dengan ombak yang sangat menyenangkan. Mulailah berselancar dari فعو menuju لن agar tiba di laut mutaqorob setelah berputar delapan kali. Jika rutenya dibalik dengan putaran tetap sama maka yang kamu temukan adalah laut mutadarik, laut bungsu di negeri arudl.

Si Bapak petugas mengakhiri panduannya padaku dengan senyum menantang, Beranikah kamu? Atau mungkin bermakna mengejek, cemen lo! Nggak berani? Pulang aja sono.

Cisetu 5 Syawal 1431H

Chikal FaZa

1 komentar:

  1. alhamdulillah..... mengesankan. terima kasih atas penjelasannya. kebetulanlagi bingung masalah zihafat wal 'ilal, tentang fungsi dan sebab2nya. sekali lagi matur tengkyu sanget.

    BalasHapus